Opini

Jelang PILKADA 2020 Menuju (Lokal) Demokrasi Radikal

Dengarkan

Penulis : Kia
Email : [email protected]
Aktivitas : Pegiat Media – Pecinta Literasi

“Apa yang senantiasa menarik saya tentang fenomena umum suatu ruang publik yang sudah ada dengan interaksi-interaksi yang sederhana adalah kuasa misterius intersubyektivitas untuk mempersatukan unsur-unsur tanpa melenyapkan diferensiasi-diferensiasi”(Jurgen Habermas_2002).

Tradisi demokrasi radikal itu, tumbuh berkembang dalam sejarah Revolusi Prancis. Namun kita tidak perlu membahas tentang revolusi, karena demokrasi dapat diradikalisasi melalui konsep komunikasi khusunya dalam sudut pandang peran media massa. Dengan demikian demokrasi tidak cukup dibatasi dengan kesuksesan Pemilu saja.

Pada diskursus politik tahun 1990-an, pandangan klasik yang menyatakan negara sebagai pusat masyarakat sudah tidak relevan lagi. Kompleksitas sosial dewasa ini, tidak lagi dapat dijelaskan dengan kehadiran negara sebagai satu-satunya institusi pusat masyarakat. Contohnya sistem Pemilihan Umum Daerah (Pilkada).                   

Di Sulawesi Tenggara, Komisi Pemilihan umum (KPU) Sultra telah merilis jadwal tahapan Pilkada Serentak tahun 2020, di 7 Kabupaten yakni : Kabupaten Muna, Buton Utara, Konawe Kepulauan, Wakatobi, Konawe Selatan, Kolaka Timur dan Kabupaten Konawe Utara.

Berbagai headline, lead, tajuk utama media massa dipenuhi dengan informasi/berita tentang “pemanasan” jelang Pilkada tahun 2020. Membangun argumen, pembentukan opini hingga pemaparan hasil survei sementara dari beberapa pihak sudah “bikin sibuk” ruang redaksi.

Jika sebuah demokrasi dimaknai “dari, oleh, untuk rakyat“ maka konsekuensinya, masyarakat hanya berpandangan demokrasi hanya berlangsung pada tahapan Pilkada/Pemilu saja.

Pandangan seperti ini cendrung “sempit” seakan-akan demokrasi hanya berarti dalam keikut-sertaan masyarakat dalam Pilkada. Tentu saja makna Pilkada tidak bolek diperkecil karena Pilkada adalah “locus” warga Sulawesi Tenggara dalam menentukan diri mereka. Akan tetapi Pilkada bukanlah “locus” satu-satunya.

Jika sistem Pilkada berlangsung tiap 5 tahun sekali, dan memang demikian, Ini berarti ada “ruang-antara” Pilkada yang satu ke Pilkada yang lain. Keberadaan ruang-antara ini harus dianggap sebagai bagian dari proses demokratis, karena diantara kedua Pilkada tersebut, dapat terjadi berbagai hal yang dapat berpengaruh langsung maupun tidak-langsung dalam proses demokratisasi.

Jika ruang-antara ini, dilabeli dengan atribut “waktu”, maka dalam bentuk fisikal ia berupa “ruang publik”, yang mana warga secara egaliter, inklusif, dan bebas dari dominasi tertentu bisa mengungkapkan pendapatnya sendiri secara umum.

Dengan rekonstruksi ini, makna Pilkada/Pemilu adalah hasil pemakaian publik atas hak-hak komunikatifnya secara terus menerus dalam “ruang-antara” (demokrasi ruang publik).

Keberadaan ruang publik ini bersifat politis, karena berisi hakekat kondisi-kondisi komunikasi dengan sebuah formasi opini dan aspirasi diskursif dari publik sebagai warga negara. Dengan kondisi demikian memungkinkan seluruh warga negara untuk bebas menyatakan sikap dan pendapatnya dengan kekuatan argumen, bukan dengan sentimen.

Ruang publik ini bukan hanya merujuk pada partai politik, organisasi, asosiasi dengan aturan tertentu yang mengatas-namakan kepentingan rakyat, namun bersifat umum dan dapat diakses oleh semua warga negara sebagai bentuk kedaulatan tertinggi. Jadi pencarian konsep volonte generale dari Jean Jacques Reassueau dapat dijelaskan, yakni memiliki ciri diskursif yang terjadi dalam deliberasi publik yang berbentuk diskursus.

Sejauh itu pula keberadaan ruang publik ini harus bisa tumbuh berkembang dari hubungan-hubungan intersubyektif antara warga dalam bahasa-komunikasi sehari-hari.

Karena sifat ruang publik ini merupakan kondisi komunikasi untuk solidaritas masyarakat dalam perlawanan terhadap uang (kapitalis) dan kekuasaan (birokrasi), maka ia harus memiliki prasyarat yang pluralis dan publisitas (media massa).

Lantas bagaimana peran media massa dalam radikalisasi demokratis ini?

Media massa memegang peranan penting dalam demokrasi (watch dog). Keberadaan media massa seharusnya menjadi “pisau” atau “papan-pantul” untuk melihat berbagai masalah dan peringatan-peringatan sensitif dari masyarakat lokal.

Ibarat media massa itu sendiri, artinya ruang publik dapat dikuasai, diduduki, dan dipakai oleh kekuatan-kekuatan tertentu sesuai dengan agenda/kepentingan masing-masing.

Dalam catatan “Ruang Publik dan Deliberatif” – Etika Politik (Jurgen Habermas) esai F. Budi Hardiman, menyatakan bahwa keberadaan ruang publik dapat menghasilkan aktor yang berperan dalam instrumen demokrasi. Layaknya aktor tayangan sinetron yang membanjiri layar kaca kita hari ini,  Para aktor ini memegang naskah dan peran masing-masing, baik sebagai tokoh protagonis atau antagonis.

Pertama, aktor yang asalnya dari ruang publik itu sendiri, yakni aktor yang lahir untuk memperjuangkan hak-hak kolektif mereka. Seperti gerakan kaum minoritas, perwakilan buruh, organisasi rakyat, agama, dan sebagainya. Kedua, aktor yang “menumpang” depan ruang publik. Mereka ini biasanya menggunakan seragam Parpol, asosiasi dagang, kelompok profesi dan sebagainya.

Kedua jenis aktor ini memenuhi ruang publik yang ada, dengan demikian yang tersisa sebagai medium presentase yang netral adalah media massa.

Jadi sebagai “pemegang mandat publik yang tercerahkan” media massa harus bebas dari dominasi negara, pasar, sekaligus dari aktor-aktor dalam ruang publik.

Fungsi media massa bukan lagi sebagai alat kepentingan/propaganda kalangan tertentu. Namun sebagai mediasi proses-proses pembelajaran dalam ruang publik dengan cara menyaring atau menetralisir pengaruh-pengaruh kekuasaan pada ruang publik.

Demokrasi radikal di Sulawesi Tenggara hanya bisa dicapai, jika media massa lokal mampu bersikap “utuh”, bukan terobang-ambing (planga-plongo) danikut terlibat dalam berbagai kepentingan politik golongan tertentu.

Utuh maksudnya sebagai ruang publik, media massa harus berlandaskan prinsip kesetaraan dan keadilan. Karena pada akhirnya “menulis atau menyampaikan berita adalah sebuah laku-moral” (Goenawan Mohammad).

Salam lestari.

Baca Juga

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button