Pilkada Serentak 2020 dan Kegaduhan
Sisa menghitung bulan Pilkada Serentak akan dihelat. Tepatnya 9 Desember 2020, adalah hari dimana masyarakat akan menyalurkan hak pilihnya di bilik suara. Terhitung ada 270 daerah yang akan menyelenggarakan Pilkada. Untuk di Sulawesi Tenggara (Sultra) sendiri ada tujuh daerah yang akan turut serta menghadapi pesta lima tahunan tersebut, yakni Kabupaten Muna, Wakatobi, Konawe Utara, Kolaka Timur, Konawe Selatan, Konawe Kepulauan dan Buton Utara. Berbagai persiapan dari para Bakal Calon untuk turun dalam arena kontestasi juga sudah dipersiapkan.
Upaya bakal calon untuk merebut simpati warga bahkan telah dilakukan dari tahun-tahun sebelumnya. Mulai dari maraknya pemasangan baliho di sudut-sudut jalan dengan beragam taglinenya, sampai agenda turun langsung kerumah-rumah warga dengan segudang kata-kata dan berbagai obralan janji yang menggemah ditelinga-telinga masyarakat yang mendengarnya. Kini, dari banyaknya bakal calon, tinggal menyisahkan beberapa saja yang masih menunjukan eksistensinya. Sisanya lambat laun mulai tenggelam dan hilang dari ketatnya seleksi alam.
Semakin mendekati hari penetapan di Komisi Pemilihan Umum (KPU), konstalasi politikpun kian hari kian menarik, sengit dan memanas. Walau belum ada yang bisa dipastikan siapa yang akan jadi bertarung, tetapi masing-masing kubu sudah saling serang menyerang, bukan hanya para bakal calon, tetapi para pendukung juga begitu antusiasnya mempromisikan calon jagoannya kepada khalayak. Alhasil yang kita temukan adalah rentetan-rentetan kegaduhan. Baik yang sengaja diciptakan dan tidak disengaja.
Tahun politik memang adalah momen dimana segala bentuk kegaduhan akan kita jumpai. Kegaduhan yang paling mendasari adalah soal perbedaan pilihan politik. Perbedaan yang seharusnya dimaknai sebagai proses pendewasaan malah berubah jadi petaka yang berakhir dengan pertikaian. Imbasnya renggangnya silaturahmi antar sesama, karena telah terpolarisasinya masyarakat ke dalam berbagai kubu.
Aktivitas saling hujat dan menjatuhkan akhirnya tak dapat terelakan dari para pendukung. Ranah privasipun dibawah kedalam perdebatan, sangat sedikit edukasi yang dipertontonkan kepada masyarakat, yang terlihat kebanyakan hanyalah menantang calon lain dengan celaan. Sehingga tidak jarang diberbagai kasus sampai terjadi adu fisik antara pendukung. Hanya karena mempertahankan dukungan masing-masing.
Tidak hanya didunia nyata, media sosial seperti facebook, grub-grub whatsapp, twitter, instagram dan platform medsos lainnya hanya, diramaikan dengan konten-konten pembelaan dan penghujatan. Sangat sedikit konten yang dibagikan berbicara soal program. Yang ada hanya informasi palsu, ujaran kebencian, dan kampanye hitam. Ironisnya sampai hal-hal intimpun dipertontonkan di sosial media. Batasan-batasan kemanusiaan sudah hilang hanya karena berbeda pilihan dimomentum Pilkada.
Bukan hanya silaturahmi yang renggang menjelang Pilkada. Ruang demokrasi kita juga menjadi cacat. Saat ini segala bentuk perkataan, gesture dan tindakan memang dinilai politis. Segala yang kita lakukan akan dinilai semata kepentingan politik. Kegiatan-kegiatan keagamaan pun jika dilakukan ditahun politik akan dipandang politis pula. Sehingga kegaduhan adalah hal yang pasti terjadi.
Cacatnya demokrasi bisa kita lihat dari berbagai kejadian di daerah. Dimana penyampaian aspirasi, kritik dan berbagai saran untuk pemerintah, selalu dinilai ada aktor dibelakang yang menumpangi. Selalu dipandang sebagai aktivitas yang sengaja dilakukan untuk menjatuhkan citra kepala daerah dihadapan masyarakat. Hal yang seperti ini biasanya terjadi pada daerah yang kepala daerahnya akan kembali bertarung untuk periode kedua kalinya.
Aspirasi, kritik dan saran yang sejatinya berangkat bukan dari kepentingan politik, malah menjadi kekacauan karena telah dinilai politis dari awal. Dampaknya terjadi kegaduhan dimana-mana. Seperti misalnya aksi demonstrasi yang berangkat dari niat yang tulus semata untuk kepentingan umum, karena dianggap sebagai langkah provokasi, terjadilah benturan dilapangan dengan masa pendukung Bakal Calon. Alhasil aspirasi yang seharusnya bisa berjalan mulus menjadi terhambat. Sama pula halnya jika ada kritik dari masyarakat terhadap kinerja kepala daerah atau anggota legislatif selalu dianggap sebagai bentuk kesengajaan untuk menjatuhkan.
Kegaduhan lain yang tercipta menjelang Pilkada yaitu, yang sengaja diciptakan oleh bakal calon dan para tim sukses. Memprofokasi masyarakat dengan berbagai macam label buruk tentang calon lain. Dan mengkampanyekan dirinya seolah lebih baik dan bersih. Ada begitu banyak bentuk profokasi yang dengan sengaja dilakukan, para bakal calon sampai rela-rela mengeluarkan uang yang tidak sedikit, hanya untuk membuat keadaan terlihat gaduh. Lagi-lagi masyarakat dikorbankan untuk kepentingan politik.
Belum lagi pemberitaan media massa yang tidak berimbang menjelang Pilkada. Saling singgung melalui pemberitaan akan terus mengisi berita-berita utama. Ditambah kehadiran media-media partisan juga semakin ramai. Media yang seharusnya bisa menjadi sumber informasi yang aktual bagi para pembaca, malah menjadi media yang turut memprofokasi dan memperkeruh keadaan di tengah-tengah kegaduhan. Keadaan yang serupa juga terjadi dengan munculnya komentar-komentar pengamat politik dari kalangan akademisi yang cenderung memihak kepada salah satu bakal calon.
Kegaduhan-kegaduhan yang sedang kita saksikan akhir-akhir ini hanyalah bagian terkecil dari imbas Pilkada. Setelah nantinya diumumkan siapa bakal calon yang akan ikut bertarung oleh KPU, kegaduhan yang lebih besar di tengah-tengah masyarakat mungkin akan terjadi. Maka menjadi penting bagi kita semua untuk tidak mudah terprofokasi dengan sebuah keadaan. Soal pilihan adalah hak setiap inidividu, tapi kita semua memiliki kewajiban yang sama untuk menjaga kondusifitas agar potensi kegaduhan yang lebih besar tidak terjadi.
Tak jadi soal jika berbeda pilihan politik, karena masing-masing orang punya alasan kenapa harus memilih ini bukan itu, semua itu hanyalah semata ekspresi dukungan. Yang terpenting dari itu semua kita bertanggung jawab mengawal proses demokrasi ini berakhir dengan damai tanpa cacat, masyarakat tetap rukun dan masih saling berjabat.
Penulis merupakan mahasiswa Program Studi Ilmu Politik UHO, Ahmad Sadikin.