KENDARI, DETIKSULTRA.COM – Parameter Strategi Indonesia (PSI) baru-baru ini merilis hasil survei persentase elektabilitas calon legislatif.
Dalam survei itu, dipublikasikan angka persentase caleg tertinggi lengkap dengan nama caleg bersangkutan.
Namun, publikasi survei tersebut menuai tanggapan beberapa pihak yang menyebut bahwa survei tersebut tak berkualitas.
Salah satu tanggapan miring soal survey PSI, datang dari LSM Peran Masyarakat (Prankat) Sultra. Ketua Prankat Sultra, Dahris Al Djuddawie, menyatakan lembaga PSI sudah membuat opini berlebihan, subyektif, dan menjadi alat politik caleg tertentu dalam kontestasi dipemilu.
Dahris, awalnya enggan mengomentari hasil survey PSI tersebut. Namun karena disinyalir ada penyesatan opini, maka ia pun tergerak menyikapinya, agar publik tak terkecoh dengan eksistensi survei lembaga yang kuat dugaan mengabaikan prinsip-prinsip metodologi riset yang akuntabel.
Lebih lanjut, Dahris mengatakan, awalnya ia tak pernah mengenal ada lembaga survei yang bernama Parameter Strategis Indonesia yang disingkat PSI. Selain namanya masih asing dalam panggung riset politik Indonesia, profil lembaga tersebut juga diduga cenderung tertutup dan tidak terpublis.
“Kita tidak tau siapa pendirinya, tahun berapa berdirinya, para penelitinya yang kompeten sehingga Track Recordnya diragukan. Mungkin ini lembaga musiman yang memang hadir untuk menjadi lembaga penyalur bagi siapa yang memakainya,” ucapnya, Sabtu (6/4/2019).
PSI baru berinteraksi pada Pilgub Sulsel 2018 yang rilisnya jauh dari batas-batas toleransi metode ilmiah yang dipakai, bahkan hasilnya jauh melenceng.
“Saya tentunya meragukan kredibilitas lembaga ini yang prediksinya cenderung tidak tepat,” tandasnya.
Selain itu, PSI juga tidak tercatat sebagai anggota Persatuan Survei Opini Publik Indonesia (Persepi). Data ini menunjukkan bahwa kredibilitas PSI dipertanyakan.
Olehnya itu, lanjut Dahris, publik kota Kendari jangan mudah terpengaruh dengan survei PSI.
Terkait dengan hasil survei yang dilakukan di Sultra, Dahris mengingatkan kepada PSI untuk tidak merusak nama baik lembaga survei dan tidak menjadi alat politik yang berlebihan. Tak kalah penting, PSI harus menjelaskan pengambilan sampelnya secara ilmiah, khususnya Multistage Random Sampling yang digunakan terkait sejauhmana sampel acak bertingkat itu diterapkan pada unit-unit populasi yang homogen.
“Saya memperhatikan riset ini dilakukan dengan dua subyek sekaligus yaitu tentang capres dan tentang caleg DPRD Sultra di Kendari diwaktu dan tanggal yang sama yakni 20-30 maret 2019 dengan area 10 Kecamatan dan 64 kelurahan serta 440 responden. Coba bayangkan tim surveyornya membawa dua daftar pertanyaan yang berbeda, sekali jalan dua substansi terlampui. Hal ini juga harus dijelaskan kepada publik yang tidak hanya pada hasil-hasil akhirnya agar public mengetahui kredibilitas lembaga ini,” paparnya.
Lanjut staf ahli DPRD Sultra ini, PSI dalam rilisnya cenderung mengomentari pribadi-pribadi yang secara tekstur kalimatnya dapat dikatakan sebagai tim sukses. Hanya ingin membangun opini dan tim PSI membuat narasi tentang prototype caleg New Comer (Pendatang baru) berhadap-hadapan dengan caleg incumbent dengan standar yang sangat sederhana dan cenderung ke kanak-kanakan.
“Padahal caleg New Comer yang didewakan belum memiliki investasi politik sama sekali di daerah ini, kecuali provokasi yang tidak membangun. Harusnya PSI melalukan riset di DPRD Provinsi jika ingin mengetahui sejauhmana peran politik incumbent itu di daerah ini, ketimbang membuat statemen yang akan dicibir publik,” tutupnya.
Reporter: Musdar
Editor: Dahlan