Sultra Raya

Soroti Besarnya Gaji TKA Cina Dibanding Pekerja Lokal, Akademisi: Di mana Asas Keadilannya?

Dengarkan

KENDARI, DETIKSULTRA.COM – Kehadiran PT Virtue Dragon Nickel Industri (VDNI) dan Obsidian Stainlees Stell (OSS) di Morosi, Kabupaten Konawe, Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) tentu membawa banyak dampak positif bagi perekonomian.

Khususnya menarik puluhan ribu pekerja atau tenaga kerja lokal yang berada di Provinsi Sultra pada umumnya. Meski begitu, hal lainnya yang perlu digarisbawahi soal ketidakberimbangan gaji.

Pasalnya, perbedaan gaji antara tenaga lokal dan tenaga kerja asing (TKA) Cina begitu besar. Pekerja Cina dinilai gajinya lebih besar dibanding tenaga lokal.

Tak sedikit dari pekerja lokal mengeluhkan persoalan perbedaan gaji yang begitu jauh selisihnya, walaupun divisi pekerjaannya sama.

Akan hal ini, Akademisi asal Universitas Sulawesi Tenggara (Unsultra) yang juga Direktur Pascasarjana Hukum Unsultra, La Ode Muhamad Bariun turut menyorotinya.

Menurut Bariun, perbedaannya berada di standar penggajian di Cina bagi TKA. Sementara tenaga kerja lokal menggunakan standar penggajian Indonesia.

Harusnya standar penggajian TKA Cina itu merujuk pada standar penggajian di negara ini. Karena objek pekerjaannya ada di Indonesia, begitu pula sebaliknya.

“Pekerja Indonesia kalau bekerja di Cina pasti mengacu penggajian di sana juga kan. Berdasarkan UU Ini jelas melanggar,” katanya saat ditemui di Kendari, Kamis (27/1/2022) kemarin.

Hanya memang lanjut Bariun, setelah ditelusuri ihwal penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara pemerintah Indonesia dan Cina, ada sejumlah klausul atau ketentuan yang disepakati kedua belah pihak.

Disebutkannya, pemerintah Cina bersiap berinvestasi di Indonesia asalkan masyarakat dipekerjakan dan gajinya mengikuti standar di negara Cina.

Secara tidak langsung UU tak menjadi soal lagi, karena adanya diskresi atau kebebasan mengambil keputusan dari kepala negara/presiden.

“Menurut Pak Jokowi ini bukan pelanggaran. Tapi sebuah strategi untuk menarik investasi masuk di Indonesia karena alasan ekonomi tengah terpuruk,” ujarnya.

Padahal sangat jelas dalam UU Otonomi Daerah (Otda) jika ada perusahaan besar masuk ke Indonesia, yang diuntungkan masyarakat lokal dan disejahterakan.

Sebab mengapa demikian, karena sumber daya alam (SDA)-nya yang dipakai untuk meraup keuntungan. Tapi faktanya tidak seperti yang diharapkan.

“Nah masa SDA-nya dipakai, masyarakat lokal tidak sejahtera kan logikanya begitu, itulah yang terjadi di sana (PT VDNI-OSS). Makanya jangan disalahkan jika masyarakat maupun pekerja keberatan akan hal itu,” bebernya.

Di sinilah, tambah Bariun harus ada ketegasan dari pemerintah pusat untuk mendorong pihak perusahaan agar memberikan keseimbangan penggajian.

Bukan berarti adil dalam hal ini gaji tenaga lokal dan TKA China harus sama. Tetapi minimal mendekati dari gaji TKA China di PT VDNI dan OSS.

“Asas keadilannya dimana?, nah selain tenaga ahli juga ada pekerja kasarnya. Harusnya ada faktor keadilan di sini, minimal mendekati gaji TKA ini, supaya ada faktor keadilannya,” tukasnya.

Dihubungi terpisah, manajemen PT VDNI saat dikonfirmasi melalui pesan Whatsapp  mengenai persoalan ini, hingga saat ini tidak ditanggapi. (bds*)

 

Reporter: Sunarto
Editor: J. Saki

Baca Juga

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button