Opini

Rayuan Elit Politik Indonesia, Boleh “Kawin” Dilarang “Menikah”

Dengarkan

Ketegaran hati, doa, mimpi rakyat terus berharap agar para elit memastikan Kawal Warga Indonesia (Kawin).

KawiN dari aspek kesejahteraan, keadilan hukum dan kebebasan demokrasi harus menjadi naluri elit untuk terus memperjuangkan aspirasi rakyat sesuai regulasi yang ada.

Elit dilarang menikah (melakukan niatan ingkar karena ambisi harta) dalam memanfaatkan jabatan-posisi tertentu untuk kepentingan pribadi dan kelompok yang muaranya merugikan rakyat (terutama rakyat marginal- disabilitas) dan jauh dari amanat konstitusi. Rakyat tidak butuh rayuan elit di media, saat kampanye di podium, orasi di mimbar, pada forum diskusi dan visi- misi di selebaran kertas/spanduk tentang kesejahteraaan, namun rakyat membutuhkan kepastian implementasi seluruh kebijakan bermuara pada kenyataan di seluruh rakyat Indonesia (walau belum maksimal).

Perbincangan tentang elit yang terus heboh yakni Dr. Anwar Usman (Ketua Mahkamah Konstitusi RI) yang akan menikah dengan Idayati (adik Presiden Joko Widodo) merupakan kegembiraan kedua insan dan sebagian rakyat Indonesia. Rakyat tentu berharap profesionalitas ketua MK terkait pernikahan tersebut semoga tidak tidak menjadi tangga untuk menikah (melakukan niatan ingkar karena ambisi harta).

Harta (jabatan) yang diemban Ketua Mahkamah Konstitusi memastikan tupoksi beliau sesuai konstitusi demi kepentingan rakyat. Menikah merupakan hak individu dan suratan takdir Tuhan, rakyat dan semua pihak harus terus mengawal kinerja MK sehingga tidak mengedepankan keinginan lingkaran istana.

Kehawatiran sebagian rakyat Indonesia akan adanya konflik kepentingan merupakan hal lumrah yang dialamatkan kepada ketua MK, walaupun tidak ada regulasi hakim yang melarang menikah dengan keluarga lingkaran istana. Di sisi lain, Hakim MK berjumlah 9 orang yang setara dianggap bisa menguji perkara secara benar dan adil.

Hal lain posisi pemerintah, DPR RI, judicial review hanya memberikan keterangan saja, serta pengujian perkara di MK berbeda dengan logika pengadilan negeri yang mengadili seorang terdakwa.

Melalui Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik memberikan kewajiban terhadap seluruh elit (penyelenggara) pelayanan baik penyelenggara negara, BUMN, BUMD, BHMN, hingga swasta maupun perseorangan menyelenggarakan pelayanan yang terstandarisasi.

Para elit eksekutif, yudikatif, legislatif, dan lembaga lainnya harus melakukan fungsinya tanpa tujuan menikah (melakukan niatan ingkar karena ambisi harta) agar keinginan- keinginan rakyat secara perlahan diwujudkan.

Keinginan rakyat (sembako terjangkau harga, kesehatan, keadilan hukum, air bersih, listrik memadai, tempat tingal sederhana yang sejuk, penghormatan-perlindungan hak disabilitas yang hampir 21 juta jiwa- perempuan marginal, ketersediaan lahan pertanian, area perikanan yang nyaman, lahan adat yang tetap ada, perlindungan UKM- UMKM, keamanan dan yang lainnya) harus menjadi prioritas para elit untuk dikawal diseluruh instansi yang ada.

Kawal Rakyat Indonesia (Kawin) bertujuan mengawal seluruh keinginan rakyat yang prioritas untuk diwujudkan. Rakyat hanya membutuhkan pelayanan berkualitas, kasih sayang, keteladanan, rencana program partisipatif dan kepastian implementasi program nyata yang tidak bertele- tele.
Kasus sederhana yang nuansanya cenderung “menikah” (misal: fakta tanggal 31 Agustus 2021 Bupati Probolinggo Jawa Timur Puput Tantriana Sari dan suaminya Hasan Aminuddin (anggota DPR RI) yang seharusnya mereka berdua (elit) menjadi harapan untuk memperjuangkan keinginan rakyat justru menghambat dan mengabaikan kepentingan rakyat dengan cara korupsi.

Wawan Ahdiyat (53) warga Kelurahan Karangpamulang Jecamatan Mandalajati Kota Bandung, Jawa Barat, selama 5 bulan 8 hari mengurus KTP tidak pernah selesai dengan berbagai alasan (positif) dari dinas catatan sipil tidak tercatat pada database, padahal seluruh persyaratan dari RT, kelurahan dan keterangan dari camat disertai tanda tangan bermaterai telah ada, bahkan pernyataan tertulis dari camat bahwa yang bersangkutan berkasnya telah lengkap. Hal ini sangat merugikan warga dari sisi waktu, pikiran, tenaga, uang transportasi akibat oknum pelayanan birokrasi yang tidak empati.

Kasus lain terjadi Februari 2019 yang dialami HS, selaku warga Kecamatan Bina Widya Kota Pekanbaru Riau yang mendapatkan pemerasan dari sekretaris camat sejumlah uang Rp500 ribu hingga Rp3 juta untuk pengurusan surat keterangan ganti rugi (SKGR) tanah dan kasus tersebut telah diakui oleh Kapolda Riau.

Kasus elit (oknum) di atas terjadi mungkin bukan penegakkan hukum yang lemah, pengawasan internal atau kurangnya insentif dari instansi tersebut namun cenderung (versi penulis) akibat pribadi yang tidak empati, moralitas buruk, cinta harta dunia serta pengamalan nilai agama yang tidak kokoh. Sikap tersebut melupakan sumpah politik (etika kepegawaian) atas janjinya dalam melayani rakyat.

Dua nilai moral (nonregulasi) yang harus dimiliki para elit agar tulus merencanakan, mengawal, memperjuangkan dan melayani semua orang di instansi manapun elit beraktivitas:

1. Elit harus memiliki sifat belas kasih. Elit ibarat seorang ibu dan rakyat ibarat seorang anak. Ikon ibu dan anak merupakan ekspresi arketipal cinta manusia. Ikon ini membangkitkan tentang kasih sayang yang cenderung mendorong timbulnya kapasitas kita (elit) untuk altruisme tanpa syarat yang tidak mementingkan diri sendiri. Cinta ibu melibatkan cinta afektif, tulus ikhlas. Ia memiliki basis hormonal yang kuat tetapi juga membutuhkan tindakan berdedikasi tanpa egois setiap saat.

2. Memiliki tokoh keteladanan hidup.
Elit beragama Islam, Kristen, Budha, Konghucu, dan elit agama lainnya harus dengan sungguh- sunguh mempelajari- meneladani sikap-perilaku nabi sesuai ajaran masing-masing dengan keyakinan bahwa berbuat baik kepada semua orang dengan tulus merupakan investasi ahirat.

Negeri membutuhkan elit yang memiliki kemurahan hati dalam menjalankan amanat, seluruh sikap dan perilaku dalam menjalankan tanggung jawab pekerjaan untuk rakyat dilandasi dengan ketulusan, jujur, memiliki integritas, profesional dalam pelayanan sesuai regulasi.

Ada beberapa sifat jahil, pemerasan, korupsi, intimidasi, ketidakadilan, dan kejahatan lainnya yang dilakukan sebagian elit (oknum) dialamatkan pada rakyat. Kita masih meyakini kelak masih banyak elit yang memiliki kemurahan hati, jejujuran, integritas, ketulusan untuk tidak”MeNiKAH” dalam bekerja untuk rakyat. Cukuplah mengambil hikmah dari Kapolri ke-5 RI Jenderal Hoegeng Imam Santoso yang menolak upeti, sogok dalam bertugas dan melayani dengan jujur, sederhana, tulus terhadap semua orang.

Bangsa ini harus menghindari narasi ‘rakyat gampang didustai dan polisi hakim mudah diatur. Rakyat memerlukan penghormatan yang tidak berlebihan pada elit (level RT, desa- pusat) di semua instansi negara- swasta, cukup yang menjadi hak fundamental warga bisa dipertimbangkan oleh elit untuk mencarikan solusi nyata demi kelangsungan hidup-kenyamanan rakyat atas pajak yang telah mereka bayar atas keringat mereka.

Patut menjadi kehati- hatian bagi warga agar kelak memilih elit harus mendasarkan pada pertimbangan moralitas dan pengamalan nilai agama terhadap calon elit tersebut sebagai pelayan publik di semua jenjang dan instansi. Belum cukup kekuatan penegakan hukum untuk seseorang menghianati rakyat tanpa moralitas yang melekat pada individu (elit) tersebut.

Elit, calon elit dan kita semua yang kelak akan menjadi pelayan rakyat-pejuang aspirasi rakyat sebaiknya kembali menggingat pesan konfusius “Zhi and Ren” tentang kaidah politik yakni bekerjalah- bantulah orang lain dengan bijaksana dan dengan cara yang benar-tulus.

Filsuf Islam Muiz ibn Al Din- Al Arabi (1165-1240) menyatakan bahwa tidak boleh membangun kekayaan pribadi dengan merugikan umat manusia. Serta keteladanan Santo Agustinus (354-430) seorang teolog formatif Kristen barat yang mengajarkan kemurahan hati, empati, tulus kepada siapa pun.

Pesan menyejukkan juga dari Waode Ila Zulaiha Tonaga, S.Kep NS (alumni kampus kesehatan/Stikes Nani Hasanudin Makasar) untuk semua orang yang bersentuhan dengan pelayanan yakni silakan elit berjanji, ingkari janji, menepati janji” KAMI NakEs,PuTiH tetap MEDiS ( MElayani Dengan Iringan Senyum).

 

Penulis : Jadusin, S.Sos, S.IP, M.Si
(Dosen Unidar Ambon)

Baca Juga

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button