kesbangpol sultra   kesbangpol sultra
Opini

PSI, Ahistoris Soal Perda Syariah

Dengarkan

Oleh: Laode M. Hasmin, SH., MH

Penulisan ini akan dimulai dengan kutipan pada media online Tribun News mengenai pidato Ketua Partai Solidaritas Indonesia (PSI), Grace Natalie, pada peringatan hari ulang tahun partai tersebut yang menyatakan, PSI akan mencegah lahirnya ketidakadilan, diskriminasi dan seluruh intoleransi di negeri ini, tidak akan pernah mendukung Perda-Perda injil dan syariah.

Pernyataan tentang tidak akan pernah didukungnya Perda-Perda yang berbau agama, menarik untuk dielaborasi lebih jauh dari perspektif antinomi negara dan agama.

Dalam kepustakaan bahasa Indonesia, antinomi dapat diartikan sebagai dua keadaan yang saling bertentangan, namun tidak dapat saling menegasikan. Misalnya antara individualisme dan kolektivisme, duniawi dan surgawi, negara dan agama. Pembicaraan tentang perhubungan negara dan agama secara historis dapat ditemui misalnya pada zaman Nabi Muhammad, yang praktek bernegaranya diatur dalam piagam madinah dengan sistem islami walaupun dengan agama dan kepercayaan yang berbeda.

Selain itu, pada zaman abad pertengahan dimana Soehino dalam buku Ilmu Negara membagi kutub pemikiran yang saling bertentangan antara negara dan agama.

Pertentangan ini diawali dengan pemikiran siapakah yang memiliki kedaulatan atau wakil tuhan di dunia? Pertama, apakah raja (negara) yang diwakili oleh kaum legist dengan mengatakan tidak hanya gereja saja yang mempunyai tugas dan tujuan etik, memelihara keadilan dan ketertiban hukum tetapi negara mempunyai juga. Kedua, Paus (gereja) diwakili kaum canonist mengatakan, kekuasaan asli di dunia adalah Paus, dan raja hanya mendapatkan kekuasaan dari Paus yang diibaratkan seperti matahari dan bulan bahwa Pauslah matahari dan raja adalah bulan. Pertentangan ini pada akhirnya menghasilkan dua macam hukum yakni hukum yang mengatur soal-soal kenegaraan dan soal keagamaan.

Posisi Agama di Negara Modern

Perkembangan pemikiran negara modern telah memunculkan berbagai istilah misalnya negara agama dan sekuler. Secara ringkas dapat dijelaskan, negara agama adalah suatu konsep bernegara yang praktek penyelenggaraan pemerintahannya menggunakan hukum agama tertentu. Sedangkan sekuler adalah suatu konsep dimana negara menjadi netral dalam permasalahan agama atau dengan kata lain, negara tidak mengurus kehidupan pribadi warganya mengenai agama. Dari dua konsep bernegara diatas, dimanakah posisi Indonesia?

Indonesia merupakan negara pancasila, konsep ini lahir dari pergumulan panjang para the founding people yang menurut Fred W. Ringga menganut konsep prismatik, yakni suatu konsep yang menyerap unsur-unsur terbaik dari konsep-konsep yang beberapa elemen pokoknya saling bertentangan. Pancasila mengayomi semua unsur bangsa yang majemuk yang kemudian didalam sistem hukum melahirkan kaidah-kaidah penuntun yang jelas. Penerapan konsep prismatik ini misalnya pengakuan negara terhadap agama resmi, libur nasional hari-hari besar keagamaan termasuk pembuatan beberapa produk hukum misalnya UU Perbankan Syariah, UU Halal dan UU Perkawinan.

Fakta di atas menunjukkan bahwa Indonesia telah mengantinomi negara dan agama karena pada prinsipnya setiap produk hukum dengan landasan agama diyakini hasilnya tidak hanya akan dituai di dunia namun juga di akhirat kelak.

Produk Hukum Berbasis Agama Sebagai Pilihan Hukum

Secara prinsipil, penyelenggaraan pemerintahan di suatu negara ditujukan agar setiap kebijakan yang dihasilkan mampu mensejahterakan rakyat. Secara konseptual, ada yang dikenal dengan istilah politik hukum. Mengutip pendapat Soedarto bahwa politik hukum adalah kebijakan negara melalui badan-badan negara yang berwenang untuk menetapkan suatu peraturan perundang-undangan yang dikehendaki dan digunakan untuk mengekspresikan suatu hal yang terkandung di dalam masyarakat dan untuk mencapai cita-citanya.

Wilayah Indonesia yang luas dengan keragaman agama, budaya, suku dan adat- istiadat tentu memiliki nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Hal ini sangat memungkinkan adanya tuntutan yang berbeda-beda. Adanya kondisi kemudian negara telah menerapkan kebijakan otonomi daerah yakni suatu konsep yang memberikan hak, wewenang serta kewajiban kepada daerah dalam  mengatur serta mengurus rumah tangganya sendiri yang dijalankan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kini diatur dengan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Penjelasan umum pada UU a quo, daerah diberi kewenangan untuk membuat peraturan daerah sebagai dasar hukum bagi daerah dalam menyelenggarakan otonomi sesuai dengan kondisi dan aspirasi masyarakat serta kekhasan dari daerah tersebut. Namun peraturan daerah yang dibuat tidak boleh bertentangan dengan perundang-undangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum.

Adanya hak daerah untuk membuat Perda, maka untuk saat ini telah banyak Perda yang berbasis agama, hal ini sebagai kosekuensi logis adanya kondisi dan aspirasi masyarakat. Berdasarkan penelusuran misalnya di Aceh, Bandung, Sidoarjo, Sukabumi, Maros tentang pengelolaan zakat. Selain itu, Kabupaten Padang Pariaman, Probolinggo dan Malang tentang pencegahan, penindakan dan pemberantasan maksiat, di Kendari tentang bebas buta aksara Alquran pada usia sekolah dan bagi masyarakat Islam di Kota Kendari serta Perda berbasis injil di Manokwari Papua Barat yang secara spesifik menjelaskan mengenai pelarangan penggunaan minuman beralkohol dan kegiatan prostitusi (http://wikipedia.org/wiki), maka pada prinsipnya kehadiran Perda berbasis agama merupakan pilihan hukum yang mengekspresikan kepentingan masyarakat untuk mencapai tujuan atau tatanan yang dicita-citakan.

Tanggung Jawab Partai Politik dan Sikap PSI

Pada prinsipnya, partai politik berdiri pada dua sisi. Pertama, akan bertindak sebagai infranstruktur politik dalam suatu pranata sosial yang berupaya mencitrakan diri dengan berbagai macam program. Pada konteks ini, partai politik akan mengakumulasi agendanya dalam bentuk visi dan misi sehingga akan dikonkritkan tatkala anggota partai tersebut telah duduk pada lembaga negara. Kedua, melalui Pemilu. Jika kandidat dari suatu partai politik terpilih, maka akan menjadi bagian dari suprastruktur politik yang memungkinkan mereka menjadi penentu kebijakan negara. Partai politiklah yang paling bertanggungjawab atas setiap produk hukum tatkala mereka telah berada dalam kelembagaan negara, apakah mereka akan membentuk hukum yang berbasis agama atau tidak.

Produk hukum yang tercipta akan tergantung pada pilihan-pilihan hukum mana berdasarkan konfigurasi politik yang mereka ciptakan sendiri namun sebagai panduan kiranya penting untuk mengajukan pendapat Bagir Manan yang membagi politik hukum dalam dua hal yakni politik hukum yang bersifat tetap dalam hal ini Pancasila dan politik hukum tetap bagi bangsa Indonesia dengan mengkolaborasi tiga sistem hukum yang ada yakni hukum Islam (yang dimasukkan adalah asas-asasnya), hukum adat (yang dimasukkan asas-asasnya), hukum barat (yang dimasukkan sistematikanya).

Jika konstruksi politik hukum kita demikian, maka partai politik harus merujuk pada pancasila sebagai staatsfundamentalnorm dalam penyusunan produk hukum dengan mendasarkan pada asas-asas hukum agama dan adat sebagai nilai-nilai yang hidup serta berkembang dalam kehidupan masyarakat dengan sistematika yang telah ditentukan.

Apabila Pidato Grace Natalie sebagai pernyataan sikap dan kehendak (politik hukum) PSI, maka seharusnya dapat menyampaikan alasan-alasan logis yang menunjukkan partai tersebut mengklaim diri Pancasilais seperti halnya kaum legist di zaman abad pertengahan tatkala raja dan paus memperebutkan soal kedaulatan. Mungkin saya, Grace Natalie dan PSI harus kembali melihat postulasi Mahfud MD yang menempatkan Pancasila sebagai kaidah penuntun dalam pembentukan produk hukum maupun kebijakan umum termasuk dalam konteks pembentukan Perda berbasis agama.

Pertama, Setiap produk hukum dan kebijakan umum harus tetap menjaga integrasi dan keutuhan baik secara ideologi maupun secara teritori negara Indonesia. Kedua, harus didasarkan bahwa setiap produk hukum dan kebijakan umum harus diarahkan pada upaya membangun demokrasi dan hukum sekaligus, dalam artian bahwa prinsip negara hukum dan demokrasi berjalan secara bersama yang apabila demokrasi hanya mendasarkan pada pertarungan kalah dan menang maka pada titik tertentu produk hukum yang dihasilkan dapat saja dibatalkan melalui rewiew baik melalui eksekutif, legislatif maupun judicial. Ketiga, setiap produk hukum dan kebijakan umum harus didasarkan pada upaya membangun keadilan sosial bagi seluruh rakyat.

Pada prinsipnya, Indonesia bukanlah penganut liberalisme. Tetapi secara ideologis menganut prismatika antara individualisme dan kolektivisme dengan titik berat pada kesejahteraan umum dan keadilan sosial. Keempat, setiap produk hukum dan kebijakan umum haruslah didasarkan pada prinsip toleransi beragama yang berkeadaban. Pada prinsipnya, kita bukanlah negara agama dan sekuler namun setiap produk hukum harus menjiwai berbagai ajaran agama yang bertujuan mulia bagi kemanusiaan.

Dengan mendasarkan pemikiran pada kaidah penuntun di atas, akan menghantarkan kita pada cara bernegara yang baik. Cara pandang tersebut akan menjadikan kita semua tidak kelihatan amatiran dan anti produk hukum berbasis agama dalam mengelola negara. Namun jika hal ini tidak menjadi pilihan, maka PSI harus bekerja ekstra untuk merebut kursi-kursi DPRD agar dapat menghalau/tidak mendukung produk-produk hukum yang berbasis agama menjadi hukum positif.

Mengakhiri diskursus perhubungan negara dan agama, maka fenomena ini akan terus mewarnai era milenial. Namun keduanya merupakan antinomi, tentu kita berharap setiap warga bangsa termasuk anggota partai politik tidak menjadi apatis terhadap nilai agama dan menjadikannya kontraprestasi mengingat suatu negara diadakan untuk menciptakan kedamaian dan kebahagiaan yang sejalan dengan ajaran agama sebagai jalan penyelamat bagi pemeluknya. Sehingga dapat disimpulkan, negara adalah fasilitator bagi rakyat untuk mencapai kedamaian dan kebahagiaan.

Di akhir tulisan ini, saya kutipkan perdebatan antara Soekarno dan Natsir semoga dapat menjadi renungan.
“Soekarno : apabila agama dipakai buat memerintah, ia selalu dipakai sebagai alat penghukum di tangan raja-raja, orang zalim dan orang-orang tangan besi;
Natsir : seseorang yang melemparkan tuduhan yang begitu berat, sekurang-kurangnya mempunyai kewajiban untuk menunjukkan bukti. Manakah ajaran-ajaran Islam yang mungkin dipakai menjadi alat oleh orang-orang zalim“. **

Baca Juga

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button