Hari Guru Nasional, Antara Euforia Peringatan dan Harapan Kesejahteraan
KENDARI, DETIKSULTRA.COM – Hari Guru Nasional (HGN) diperingati setiap tanggal 25 November. Hari spesial ini menjadi momen yang tepat untuk mengapresiasi pengabdian para tenaga pendidik atau para guru. Tak hanya mengapresiasi, reward juga diperlukan sebagai bentuk penghargaan profesi. Sebab dalam UUD 1945 tertuang bahwa salah satu tujuan negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa.
Mengutip kalimat mencerdaskan kehidupan bangsa tentunya melibatkan berbagai faktor penunjang. Tak luput soal kesejahteraan tenaga pengajar. Hak atas kesejahteraan ini bahkan termuat di dalam Pasal 14 ayat (1) bagian a Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang menyebut bahwa guru berhak untuk memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial.
Namun, realita yang terjadi belum demikian. Guru di Indonesia dapat dikatakan masih jauh dari kata sejahtera. Sebab, masih banyak tenaga pengajar di negara kita yang belum mendapatkan perhatian yang layak, terutama para guru honorer yang berada jauh di desa maupun daerah. Hal itu juga dirasakan oleh salah satu guru honorer, Djumiyati Yaddi (45) pada sesi wawancara via telepon, Sabtu (24/11/2023).
Djumiyanti adalah guru yang aktif di salah satu sekolah di kota Raha, Kabupaten Muna, Provinsi Sulawesi Tenggara. Walaupun honornya masih jauh dari kata cukup, lantas tak membuatnya berhenti dari profesi yang dimuliakan ini.
Kata dia sehari-harinya, upah para guru honorer masih diklasifikasikan berdasarkan durasi mengajar. Bagi guru honorer biasa, itu Rp20 ribu untuk satu jam pelajaran, atau tergantung dari kebijakan sekolah dalam membiayai.
“Jadi biasanya diakumulasi jam mengajarnya setelah tiga bulan,” kata Djumiyanti.
Dalam hal ini berbeda ketika berbicara guru yang telah mendapatkan sertifikasi atau SK Gubernur. Bagi guru yang telah mendapatkan sertifikasi, akan mendapat tunjangan profesi sebesar Rp9,2 juta untuk tiga bulan. Sedangkan yang mendapatkan SK Gubernur akan memperoleh Rp3 juta per enam bulan mengajar, yang berlaku di luar honor jam mengajar mereka.
Kendati demikian belumlah cukup ketika berbicara soal membludaknya tenaga kerja guru. Belum lagi kapasitas pemerintah yang terbatas dalam mengcover seluruh guru honorer di daerah.
Salah satu hal yang membuatnya menekuni profesi ini adalah rasa empati. Sebab, menurutnya guru adalah pilar terdepan dalam memajukan bangsa.
Walau kata sejahtera masih terlalu dini, profesi guru tak hanya berbicara soal materi saja. Namun ada tanggung jawab moral di dalamnya. Oleh karena itu ia menganggap guru mulia. Karena tak semua orang bisa menjalankan profesi tersebut.
Dalam rangka menyambut Hari Guru Nasional ini, ia berharap kedepannya pemerintah lebih memperhatikan lagi nasib para guru honorer. Selain itu, ia juga merasa senang menjadi seorang guru karena dengan pekerjaannya itu ia dapat bertemu dan berinteraksi dengan berbagai tipe karakter siswa.
“Sangat bahagia karena diperingati terus hari guru, semoga kedepannya pemerintah lebih memperhatikan nasib para guru honorer dan semoga tidak ada lagi perbedaan antara guru honorer dan guru PNS. Saya harap sih kedepannya pengangkatan guru honorer lebih di tingkatkan lagi. Saya juga merasa beruntung bisa bertemu dan saling kenal dengan berbagai macam karekter para murid-murid dan juga dapat berbagi ilmu,” ungkapnya.
Selain Djumiyanti, peringatan Hari Guru Nasional juga diapresiasi oleh salah satu guru, Siti Alfisyahr (39) yang mengajar di salah satu sekolah di Raha. Ia mengaku sangat bahagia dengan adanya peringatan hari guru setiap tahunnya.
“Kita jadi guru, semakin banyak ilmu setiap hari yang didapat. Karena guru setiap hari menghadapi siswa-siswi yang memiliki aneka karakter, jadi kita semakin kreatif dalam menghadapi siswa sehingga berbagai karakter itu dapat dirangkul dan dibimbing dengan baik. Semoga kita para guru tidak terlalu dituntut untuk selalu menyediakan tuntutan pemerintah, kalau bisa tuntutan itu di sesuaikan dengan kemampuan para siswa yang berbeda-beda,” bebernya.
Sementara itu, secara terpisah, Pengamat Pendidikan, Andreas Tambah mengatakan, bila dilihat dari tingkat kesejahteraannya, guru pada umumnya terbagi menjadi empat kelompok utama.
Kelompok pertama adalah guru yang kesejahteraannya cukup baik, khususnya guru berstatus ASN berada di kota besar yang mendapatkan Tunjangan Kinerja Daerah (TKD). Kelompok kedua adalah guru honorer di negeri yang gajinya hanya sebesar upah minimum provinsi dan belum mendapatkan sertifikasi. Tentunya menjadi beban tersendiri, karena sulit untuk meningkatkan kompetensi dan kinerjanya.
Kelompok ketiga adalah guru tetap yayasan yang biasanya sudah mendapat gaji tetap dan sertifikasi, tapi tanpa TKD.
Terakhir adalah kelompok guru honorer di swasta. Kelompok inilah yang harus benar-benar diperhatikan oleh pemerintah. Mereka hanya mendapat honor dari yayasan yang besarannya tidak seberapa. (ads)
Reporter: Geraldy Rakasiwi
Editor: Wulan