Jatam Sebut Menambang di Area Pemukiman Menabrak Undang-Undang
KENDARI, DETIKSULTRA.COM – Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) angkat bicara soal polemik penambangan nikel PT Wijaya Inti Nusantara (WIN) di area pemukiman warga di Desa Torobulu, Kecamatan Laeya, Kabupaten Konawe Selatan (Konsel), Sulawesi Tenggara (Sultra). Organisasi yang berpusat di Jakarta itu 1mempertanyakan perihal aktifitas PT WIN.
Namun jauh sebelum membahas soal aktifitas PT WIN, Devisi Hukum Jatam, Muh. Djamil menjelaskan, secara prinsip izin tambang hanya dapat diberikan pada wilayah-wilayah yang secara aturan tata ruang diperuntukan bagi tambang. Lalu, apakah hal ini mengakomodir alokasi ruang tambang PT WIN di wilayah pemukiman? Jika tidak, maka konsekuensinya pada tindakan administratif dan pidana.
“Pelanggaran administrasinya si pemberi izin harus melakukan pencabutan izin, konsekuensi pidana si pemberi izin, ternyata menerbitkan izin secara melawan hukum, bisa dibilang itu korupsi kewenangan dan kebijakan, tapi kita belum pastikan melanggar atau tidak,” katanya saat dihubungi awak media ini, Rabu (4/10/2023).
Selanjutnya, Muh. Djamil menuturkan penting juga membaca Undang-Undang (UU) Minerba yang menyatakan bahwa izin tambang bukan izin kepemilikan lahan permukaan. Izin tambang nikel hanya diberikan izin oleh pemerintah untuk menambang nikel di bawah tanah, di permukaan tetap milik masyarakat yang mendiami lokasi itu.
Dalam prosesnya, ketika ingin menambang wajib untuk melakukan beberapa hal secara hukum. Pertama, karena sudah ada manusia tinggal, pasti ada kehidupan yang bergantung pada lokasi itu, sehingga perusahaan wajib memiliki analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal), dan perlu melibatkan masyarakat yang memadai pada saat penyusunan.
“Jangan dibikin diam-diam, Amdal itu adalah alat ukur untuk melihat apakah wilayah itu wajar ditambamg atau tidak, kalau dari hasil kajian mengatakan tidak, ya jangan nambang, itukan secara hukum kan,” katanya.
Menurutnya, di Amdal ada aturan jarak atau radius menambang di area pemukiman masyarakat. Misal di Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 4 Tahun 2012, diatur soal jarak minimal 500 meter menambang dari area pemukiman, sehingga itu tidak ada alasan pembenar secara hukum dan logika lingkungan untuk menambang di area pemukiman. Karena proses penambangan nikel meninggalkan lubang.
“Harusnya ini sudah masuk situasi ekstrem, penghentian sementara. Penghentian sementara bukan hanya dihentikan saja tapi dilakukan konsep perbaikan lahan, lalu perusahaan dipaksa harus bertanggung jawab dan yang bisa memaksa itu adalah pihak Menteri ESDM atau ESDM Provinsi lewat inspektur tambang,” katanya.
Olehnya itu, Jatam meminta pemerintah dalam hal ini Penegak Hukum (Gakkum) Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Sultra serta Inspektur Tambang untuk segera melakukan pengkajian dan penyelidikan mengenai kasus penambangan PT WIN di area pemukiman warga. Gakkum LHK dan Inspektur Tambang mesti lebih tegas lagi menindak perusahaan yang tidak taat pada aturan penambangan nikel. Kerena mereka juga punya kewenangan, Jatam kembali meminta agar perusahaan didesak segera melakukan reklamasi di lokasi penambangan.
“Kalau dari Jatam, pemberi izin berwenang untuk memberikan sanksi dan upaya paksa kepada perusahaan yang tidak taat aturan, dan jelas melanggar, kalau itu menganggu kehidupan masyarakat itu melanggar, artinya harus dihentikan dan mundur tidak bisa lagi, sanski terberat pencabutan izin Amdal, kalau itu tidak bisa juga beroperasi,” jelasnya.
Ditambahkannya, dalam prinsip hukum jelas pelanggarannya meskipun perbaikan dan tanggung jawab perusahaan sudah dilakukan. Tetapi tidak dapat menghilangkan dan menghapus perbuatan pidananya.
Sebelumnya, beredar sebuah video yang mempertontokan sejumlah emak-emak menghadang alat berat yang sedang melakukan aktifitas penambangan di lokasi IUP PT WIN. Emak-emak itu datang dan meminta aktifitas dihentikan, karena menyangkut dampak yang akan ditimbulkan. (bds)
Reporter: Sunarto
Editor: Wulan