DPP NasDem Sebut Surat Edaran Mendagri Bertentangan dengan UU ASN
KENDARI, DETIKSULTRA.COM – Ketua Bidang Hubungan Legislatif Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai NasDem, Atang Irawan mengatakan, Surat Edaran (SE) tentang Persetujuan Menteri Dalam Negeri Seluruh Indonesia kepada pelaksana tugas/penjabat sementara kepala faerah dalam aspek kepegawaian perangkat daerah bertentangan dengan Undang-undang ASN.
Menurutnya, dalam surat edaran dinyatakan tidak diperlukan permohonan persetujuan, sehingga kurang tepat. Seharusnya persetujuan Mendagri terkait dengan Pasal 71 ayat (2) dan Pasal 162 ayat (3) UU No 10 Tahun 2016, harus didasarkan pada permohonan dari pejabat gubernur, bupati atau wali kota sebagai pembina kepegawaian di pemerintahan daerah.
“SE ini berbahaya karena telah menyimpangi atau bertentangan dengan UU ASN dan secara khusus UU Pilkada,” ucapnya dalam rilis yang diterima media ini, Kamis (22/9/2022).
Apalagi, sambung Atang, jika Plt, Pj dan Pjs mengundurkan diri pada saat pendaftaran pilkada dan mendaftar sebagai pasangan calon (Paslon). Artinya menabrak ketentuan enam bulan sebelum pencoblosan dilarang melakukan pergantian pejabat. Sehingga dapat lepas dari ancaman sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU provinsi, kabupaten/kota.
Dengan demikian, SE ini memberikan peluang kepada Plt, Pj, Pjs, melakukan pergantian jabatan di lingkungannya meskipun Plt, Pj dan Pjs berpeluang menjadi calon dengan syarat mengundurkan diri sebelum pendaftaran sebagai paslon, dan tidak dikenakan sanksi diskualifikasi karena pada saat pergantian pejabat kedudukannya masih sebagai Plt, Pj, Pjs.
“Maka, perpotensi bagi Plt, Pj dan Pjs sebelum mendaftarkan diri sebagai paslon, melakukan konsolidasi dilingkungan ASN di daerah dengan pengganti jabatan-jabatan strategis di pemda, dan bahkan menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon baik di daerah sendiri maupun di daerah lain dalam waktu enam bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan penetapan pasangan calon terpilih,” tuturnya.
Dijelaskannya, SE merupakan peraturan kebijaksanaan, bukan sebuah keputusan ataupun peraturan perundang-undangan, sehingga tidak dapat memuat norma hukum dan tidak dapat menyimpangi peraturan perundang-undangan. SE sebagai bagian dari kebebasan bertindak pemerintan atas inisiatifnya sendiri, seharusnya dipergunakan dalam hal ketidaksempurnaan, keterbatasan, ketidakjelasan aturan atau bahkan tidak adanya aturan.
Tetapi dengan demikian SE tersebut malah menyimpangi aturan yang bersifat tegas dan memaksa yang diatur dalam Pasal 71 ayat (2) dan Pasal 162 ayat (3) UU No 10 Tahun 2016 terait dengan larangan gubernur atau wakil gubernur, bupati atau wakil bupati, dan wali kota atau wakil wali kota melakukan penggantian pejabat enam bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri.
Bahkan, larangan tersebut juga diatur dalam UU No 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, karena Plt, PJ dan Pjs mendapatkan kewenangan dari mandat, bukan delegasi atau bahkan atribusi, maka tidak berwenang mengambil keputusan atau tindakan yang bersifat strategis yang berdampak pada perubahan status hukum pada aspek organisasi, kepegawaian, dan alokasi anggaran.
Sedangkan menurut SE Badan Kepegawaian Negara No 1/SE/1/2021 tentang Plh dan Plt bahwa yang dimaksud dengan keputusan strategis adalah keputusan dan atau tindakan yang bersifat strategis, keputusan dan atau tindakan yang memiliki dampak besar seperti penetapan perubahan rencana strategis dan rencana kerja pemerintah.
“Yang dimaksud dengan perubahan status hukum kepegawaian adalah melakukan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pegawai,” jelasnya. (bds)
Reporter: Sunarto
Editor: Wulan