Mengapa Kedisiplinan Aparatur Sipil Negara (ASN) Tak Kunjung Mendarah Daging?

Mengapa Kedisiplinan Aparatur Sipil Negara (ASN)
Tak Kunjung Mendarah Daging?
Oleh: Dr. Arwin, S.P., M.Si
Analis Kebijakan Ahli Muda
Menjelang pukul 07.30 pagi, jalanan kota tampak dipenuhi lalu lalang kendaraan. Sebagian ASN berpacu dengan waktu sambil mengantar anak ke sekolah, sebagian lainnya bergegas menuju kantor, mengejar batas waktu presensi. Di layar sistem kehadiran digital, daftar hadir pun segera terisi. Namun, ironi muncul: pelayanan publik belum sepenuhnya bergerak, koordinasi belum terjalin, dan aktivitas kerja belum menunjukkan denyut produktivitas. Apakah ini yang disebut disiplin?
Fenomena semacam ini bukan cerita baru. Di berbagai instansi pemerintah, presensi digital telah menjadi standar. Sistem GPS berbasis aplikasi kini mampu memantau lokasi dan jam masuk ASN secara real time. Namun, teknologi itu ternyata belum mampu menghadirkan disiplin dalam makna yang sesungguhnya: kesungguhan bekerja, komitmen terhadap tugas, dan tanggung jawab terhadap hasil.
Di sinilah letak persoalan fundamental kita: kedisiplinan ASN masih dipahami secara sempit sebagai urusan kehadiran administratif, bukan sebagai refleksi nilai, budaya kerja, dan profesionalisme. Padahal, justru di sinilah disiplin birokrasi diuji: bukan pada absensi, melainkan pada daya tahan etika kerja di tengah rutinitas, tekanan politik, dan kompleksitas pelayanan publik.
Bukan Sekadar Absen: Menata Ulang Makna Disiplin
Perlu diakui bahwa disiplin sejati tidak dibentuk oleh sanksi dan presensi semata, melainkan melalui sistem birokrasi yang mendorong internalisasi nilai. Ketika tolok ukur disiplin hanya diletakkan pada kehadiran fisik, maka ASN akan “hadir secara administratif, namun absen secara fungsional”. Ini adalah kegagalan desain kebijakan, di mana indikator yang diukur bukanlah indikator yang sesungguhnya penting untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik.
Dari perspektif analis kebijakan, realitas ini menunjukkan adanya reduksi makna dalam regulasi kedisiplinan. Kita terlalu fokus pada aspek kepatuhan (compliance), namun melupakan bahwa perilaku ASN adalah hasil dari kombinasi sistem, norma, dan konteks organisasi.
Tiga Masalah Utama dalam Desain Kebijakan Disiplin ASN
Pertama, regulasi yang ada cenderung menekankan sanksi administratif dan absen dari pendekatan pembentukan nilai. Kedisiplinan direduksi menjadi pelaporan harian, bukan integritas kerja.
Kedua, budaya organisasi birokrasi belum sepenuhnya mendukung nilai disiplin sebagai norma dominan. Banyak ASN yang bekerja dengan baik justru merasa asing di lingkungan yang permisif terhadap keterlambatan, ketidakhadiran, atau sikap apatis. Tanpa keteladanan pimpinan, tanpa budaya saling menjaga mutu kerja, disiplin akan gagal menjadi kebiasaan.
Ketiga, sistem penilaian kinerja ASN belum mendorong perilaku produktif. Jika kehadiran fisik menjadi indikator utama, maka ASN akan berorientasi pada “penampakan”, bukan hasil. Yang penting terlihat sibuk, bukan bekerja efektif. Padahal dalam era birokrasi digital dan kerja berbasis kinerja, ukuran keberhasilan tidak bisa lagi didasarkan pada waktu hadir semata.
Rancang Bangun Solusi: Perspektif Analis Kebijakan
Dalam kerangka kerja analis kebijakan, solusi terhadap lemahnya kedisiplinan ASN tidak cukup hanya dengan pengetatan aturan. Yang diperlukan adalah reformulasi kebijakan berbasis perubahan perilaku dan pembentukan budaya kerja yang sehat. Setidaknya ada tiga pendekatan yang layak dipertimbangkan:
- Reformulasi indikator kinerja ASN
Indikator evaluasi ASN harus mencerminkan nilai-nilai produktivitas dan integritas. Selain kehadiran, perlu diukur pula kecepatan penyelesaian tugas, ketepatan laporan, kemampuan kolaboratif, dan dampak hasil kerja. Dengan demikian, kehadiran menjadi prasyarat, bukan tujuan akhir.
- Integrasi pendekatan behavioral dalam desain kebijakan internal
ASN adalah manusia yang dipengaruhi oleh norma sosial, contoh atasan, dan sistem insentif. Maka, intervensi seperti nudging, penguatan positif, pengaturan ruang kerja yang kondusif, serta pemanfaatan teknologi untuk mempermudah kolaborasi bisa mendorong terbentuknya kedisiplinan sebagai kebiasaan.
- Penguatan peran pimpinan sebagai agen perubahan nilai
Keteladanan menjadi elemen krusial. Pimpinan unit kerja harus dievaluasi bukan hanya dari capaian kinerja unit, tapi juga dari keberhasilan membentuk kultur kerja yang etis dan disiplin. Perlu disiapkan pelatihan kepemimpinan berbasis nilai dan mekanisme pembinaan lintas jenjang.
Dengan pendekatan ini, disiplin tidak lagi dipaksakan, tapi tumbuh dari dalam. ASN tidak lagi bekerja karena takut pada sanksi, tetapi karena merasa memiliki tanggung jawab profesional dan etos kerja.
Disiplin yang Berakar, Bukan Dipaksa
Pertanyaan “Mengapa kedisiplinan ASN tak kunjung mendarah daging?” seharusnya dijawab bukan semata-mata dengan memperketat presensi atau menambah sanksi, melainkan dengan mendesain ulang sistem birokrasi agar nilai-nilai disiplin tumbuh sebagai budaya, bukan sebagai beban.
Pada akhirnya, disiplin ASN bukan sekadar soal jam masuk atau absensi daring. Ia adalah cerminan dari kebijakan yang mampu membentuk karakter, bukan hanya mengatur perilaku. Jika kebijakan mampu menyentuh ranah nilai, memperkuat budaya kerja, dan mendorong pemimpin menjadi contoh nyata, maka disiplin tidak akan lagi menjadi narasi kosong, melainkan menjadi napas birokrasi yang hidup dan berdampak.