Opini

Memilih Upaya Hukum yang Tepat Atas Produk Hukum Pemeriksaan Pajak

Dengarkan

Perkembangan dunia usaha yang semakin kompleks baik dari bentuk usaha, kerjasama, jenis komoditas bahkan metode bertransaksi dari pihak yang terlibat mengakibatkan peraturan perundang-undangan perpajakan menjadi tertinggal, sehingga menyebabkan basis pemajakan mengalami stagnasi.
Melihat hal ini Kementerian Keuangan dengan sigap kemudian menginovasi peraturan perpajakan mengikuti pergeseran model usaha dan bentuk transaksi melalui diterbitkannya ketentuan pemungutan PPN PMSE tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 48/PMK.03/2020 yang telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 60/PMK.03/2022.

Kementerian Keuangan melalui data yang dirilis Januari 2023, berhasil mengantongi dana senilai Rp10,11 triliun dari Pajak Pertambahan Nilai (PPN) melalui perdagangan yang menggunakan sistem elektronik (PMSE) sejak diberlakukan sampai 2022. Khususnya sepanjang Januari-Desember 2022 tercatat pemerintah sudah mengantongi PPN PMSE sebesar Rp5,48 triliun.

Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pemerintah juga telah menunjuk sebanyak 134 penyelenggara PMSE untuk memungut dan menyetorkan PPN ke kas negara.

Seiring dengan peningkatan jumlah penerimaan pajak dan meluasnya basis pemajakan, tindakan masif kemudian dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk menindaklanjuti basis data yang bertambah. Bisa dibayangkan apabila data dari 134 pihak penyelenggara PMSE sebagai pemotong/pemungut kemudian dikumpulkan dan ditindaklanjuti dalam bentuk permintaan klarifikasi atas data dan/atau keterangan (SP2DK).

Terkait SP2DK, tanggapan dari wajib pajak bisa saja beranekaragam, dari yang menanggapi dengan baik dengan melakukan klarifikasi dan menyetorkan kurang bayar pajaknya. Ada juga menolak untuk memberikan klarifikasi dan melaksanakan kewajiban perpajakannya.

Bagi wajib pajak yang kemudian tidak melaksanakan kewajibannya kemudian seyogyanya dilakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan kewajiban perpajakan oleh Pemeriksa Pajak. Berdasarkan hasil pemeriksaan pajak yang dilakukan, kemudian diterbitkanlah produk hukum berupa Surat Ketetapan Pajak. Surat ketetapan pajak terdiri dari, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar (SKPLB), dan Surat Ketatapan Pajak Nihil (SKPN).

Produk hukum khususnya yang diterbitkan dari hasil penelitian atau pemeriksaan pajak, dapat diajukan upaya hukum apabila terdapat sengketa perhitungan antara Pemeriksa Pajak (Fiskus) dan wajib pajak. Adapun upaya hukum yang dimaksud sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007 tentang KUP sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, diatur dalam beberapa bentuk diantaranya, mekanisme permohonan pembetulan diatur di Pasal 16, Permohonan Pengurangan/pembatalan sanksi administrasi, SKP, STP dan SKPKB yang diterbitkan dengan benar diatur di Pasal 36 ayat (1) huruf a,b,c dan d dan yang terakhir diatur pada Pasal 25. Dimana selanjutnya apabila upaya hukum yang disebutkan di atas kemudian belum memenuhi rasa keadilan wajib pajak, kemudian dapat ditindaklanjuti dengan mengajukan gugatan pajak sebagaimana diatur di Pasal 23 dan Banding Pajak sebagaimana diatur di Pasal 27 di Undang-Undang yang sama.

Memilih upaya hukum perpajakan harus dilakukan dengan tepat dengan mempertimbangkan beberapa hal yang menjadi indikator, diantaranya kelengkapan dokumentasi/arsip/surat menyurat selama pemeriksaan, tanda terima surat korespondensi dengan pemeriksa dan Berita Acara Permintaan Keterangan. Dokumen tersebut di atas diharapan bisa menggambarkan aspek formil pemeriksaan pajak yang kemudian akan diuji apakah telah sesuai dengan peraturan terkait tata cara pemeriksaan. Dari data yang ada, kemudian dapat ditarik kesimpulan apakah unsur formil dapat dijadikan alasan yang kuat pada saat mengajukan upaya hukum. Mekanisme yang dapat digunakan tentu saja masih terpengaruh unsur materiil yang ada. Dengan adanya penilaian sendiri wajib pajak terkait kebenaran pelaporan pajak yang dilakukan, kemudian akan memperkuat argumen pada upaya hukum yang akan dijadikan pilihan.

Perlu diketahui, unsur formil yang tidak dipenuhi selama berjalannya pemeriksaan dapat mengakibatkan Surat Ketetapan Pajak menjadi batal demi hukum. Sehingga implikasinya terhadap utang pajak yang disengketakan akan mengalami pengurangan sesuai jumlah ketetapan pajak yang dibatalkan.

Dari kronologis di atas kemudian dapat disimpulkan apabila unsur materiil dari suatu ketetapan pajak dinilai kuat, maka disarankan untuk tidak melakukan permohonan keberatan sebagaimana diatur pada Pasal 25 UU KUP. Karena ditolaknya keberatan dapat mengakibatkan bertambahnya pajak yang masih harus dibayar berupa penerbitan STP sebesar 30% dari selisih jumlah yg disetujui dalam pembahasan akhir  dan dibayarkan pada saat akan diajukan keberatan, dengan jumlah dalam Surat Keputusan Keberatan. Mengenai upaya hukum banding yang diatur di Pasal 27, yang merupakan alternatif setelah Surat Keputusan Keberatan tidak sesuai dengan harapan wajib pajak juga memiliki risiko menambah jumlah pajak yang masih harus dibayar berupa penerbitan STP sebesar 60% dari selisih jumlah yg disetujui dalam pembahasan akhir  dan dibayarkan pada saat akan diajukan keberatan, dengan jumlah dalam putusan banding pengadilan pajak. Untuk mengakomodir sengketa pajak yang secara formil lebih menguntungkan wajib pajak, dapat dilakukan dengan mengajukan permohonan pembatalan / pengurangan SKPKB yang tidak benar sebagaimana diatur pada Pasal 36 ayat 1b UU KUP s.t.t.d dengan UU HPP.

Hal mendasar yang kemudian hari akan menjadi perhatian bersama apabila ternyata atas putusan pengadilan yang membatalkan SKPKB pada masa atau tahun pajak, mengakibatkan pembatalan SKPKB menjadi inkrah dan tidak dapat dilakukan pemeriksaan lagi untuk menerbitkan ketetapan pajak yang baru. Mengingat dengan terbitnya ketetapan pajak yang baru membuka peluang sengketa pajak yang baru di kemudian hari, oleh karena itu perlu untuk diketahui di dalam hukum ada asas ne bis in idem yang diatur dalam ketentuan pasal 1917 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang berbunyi “Kekuatan sesuatu putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan mutlak tidaklah lebih luas dari pada sekadar mengenai soal putusannya. Untuk dapat memajukan kekuatan itu, perlulah bahwa soal yang dituntut adalah sama, bahwa tuntutan didasarkan atas alasan yang sama, lagi pula dimajukan oleh dan terhadap pihak-pihak yang sama di dalam hubungan yang sama pula”. Artinya bahwa suatu perkara yang telah diputus oleh hakim terdahulu dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap tidak dapat digugat kembali dengan subyek dan objek yang sama. Karena tidak ada satu perkara yang akan diperhadapkan ke pengadilan pajak untuk kedua kalinya. Dapat diinterpretasikan bahwasanya atas perkara/sengketa pajak yang telah diputus oleh pengadilan pajak apabila menyangkit obyek yang sama dimasa/tahun pajak yang sama, agar tidak lagi diperiksa, sehingga tidak menjadi sengketa pajak yang baru dengan materi yang sama.

Upaya hukum merupakan hak perpajakan Wajib Pajak yang sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan perpajakan. Untuk memastikan hak tersebut terpenuhi dan pemanfaatannya berjalan secara maksimal diperlukan tinjauan komprehensif, dalam hal ini mengingat minimnya pengetahuan wajib pajak diperlukan sosialisasi oleh pihak-pihak terkait baik dari pihak DJP dan asosiasi konsultan pajak/kuasa pajak. No taxation without representation, tidak ada pemajakan tanpa adanya peraturan perundang-undangan. Sehingga penting kiranya agar aturan-aturan tersebut sampai ke wajib pajak, sehingga bisa terlaksana kewajiban perpajakan self assesment yang bermartabat.

Oleh Azwar Amiruddin, S.E., M.H., M.Ak.,CLI., ACPA.,Ak (Kuasa Hukum Pajak)

Baca Juga

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button