Dari Ponggok ke Sultra: Membangun Desa Melalui Kepemimpinan dan Tata Kelola

Dari Ponggok ke Sultra: Membangun Desa Melalui Kepemimpinan dan Tata Kelola
Oleh: Dr. Arwin, S.P., M.Si
Analis Kebijakan Ahli Muda
Ketika membincangkan pembangunan desa, terlalu sering fokus kita tersandera oleh logika ketergantungan: menunggu program dari pusat, berharap hibah dari luar, atau menggantungkan masa depan pada skema proyek yang bersifat temporer. Namun, kisah Desa Ponggok di Klaten, Jawa Tengah, menghadirkan narasi baru, sebuah transformasi berbasis inisiatif lokal, dengan kepemimpinan yang berani dan tata kelola yang berpihak pada pemberdayaan masyarakat.
Dulu, Ponggok bukanlah desa yang menonjol. Tetapi keputusan kepala desanya kala itu, Junaedi Mulyono, untuk tidak menyerahkan aset sumber mata air Umbul Ponggok kepada investor luar, melainkan mengelolanya melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Tirta Mandiri, mengubah segalanya. Dalam waktu singkat, desa ini menjelma menjadi ikon wisata air berkelas nasional, sekaligus lokomotif pertumbuhan ekonomi lokal.
Transformasi Ponggok menegaskan satu hal bahwa kemajuan desa tidak semata ditentukan oleh besarnya anggaran, melainkan oleh keberanian dan kemampuan desa mengelola potensi yang telah dimiliki.
Saya melihat bahwa banyak desa di Sulawesi Tenggara memiliki potensi setara Ponggok, baik dari sisi alam, budaya, maupun hasil pertanian. Namun, sebagian besar potensi tersebut masih belum tergarap secara strategis dan terpadu. Di hampir semua kabupaten, terdapat desa dengan sumber daya alam berupa danau, sungai, hingga perairan pesisir yang menjanjikan untuk dikembangkan sebagai destinasi wisata berbasis agroekologi. Selain itu, terdapat pula desa penghasil komoditi perkebunan dan hortikultura yang memiliki peluang besar untuk dikemas menjadi agrowisata edukatif dan ekonomi kreatif desa.
Tantangannya bukan pada apa yang dimiliki, tetapi bagaimana memulainya, dan di sinilah peran kebijakan menjadi kunci. Transformasi ala Ponggok tidak bisa terjadi hanya dengan semangat lokal semata. Ia lahir dari kombinasi kepemimpinan desa yang progresif dan strategi kelembagaan ekonomi yang jelas.
Pelajaran dari Ponggok menunjukkan bahwa keberhasilan semacam ini bertumpu pada tiga hal mendasar:
Pertama, keberanian mengidentifikasi dan memetakan potensi lokal secara terfokus, seperti Umbul Ponggok sebagai sumber air alami, yang sebelumnya kurang dimanfaatkan secara optimal.
Kedua, pengelolaan aset desa melalui kelembagaan ekonomi masyarakat, dalam hal ini BUMDes sebagai instrumen yang menjalankan fungsi usaha, reinvestasi sosial, dan pemberdayaan tenaga kerja lokal. Bagi desa-desa di Sulawesi Tenggara yang telah memiliki Lembaga Ekonomi Masyarakat (LEM), kolaborasi keduanya bisa menjadi ekosistem kewirausahaan sosial yang tangguh.
Ketiga, penguatan peran kepala desa sebagai pemimpin inovatif, yang berani mengambil risiko kebijakan dan menolak ketergantungan pada investor eksternal demi menjaga kontrol aset tetap di tangan warga. Di Ponggok, masyarakat dilibatkan sejak tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga pengelolaan, menciptakan rasa memiliki yang kuat terhadap hasil pembangunan.
Berangkat dari pembelajaran tersebut, pemerintah daerah dapat mengambil langkah strategis melalui:
- Pembangunan dan penguatan kelembagaan ekonomi desa seperti BUMDes dan LEM berbasis model bisnis nyata, bukan sekadar formalitas administrasi.
- Penyusunan skema insentif daerah berbasis inovasi dan kemandirian desa agar desa-desa pelopor tidak merasa berjalan sendiri.
- Penguatan kolaborasi lintas perangkat daerah dan perguruan tinggi, untuk memastikan proses pendampingan desa dilakukan secara berkelanjutan dan berbasis data potensi lokal yang akurat.
Sudah waktunya paradigma pembangunan desa digeser dari pendekatan “proyek” menuju pendekatan pemberdayaan berkelanjutan. Desa bukan sekadar obyek penerima, melainkan pelaku utama pembangunan. Dalam konteks ini, kepala desa bukan hanya pemimpin administratif, tetapi agen perubahan sosial dan ekonomi.
Model Desa Ponggok membuktikan bahwa dengan keberanian, kepercayaan, dan dukungan kebijakan yang tepat, desa bisa berdiri tegak, tidak di belakang kota, tetapi sejajar. Kisah Ponggok seharusnya tidak berhenti menjadi inspirasi. Ia perlu dijadikan model kebijakan replikasi adaptif, yang diterjemahkan sesuai karakteristik wilayah.
Di Sulawesi Tenggara, desa-desa dengan potensi serupa sedang menanti satu hal: Keberanian memulai. Dan keberanian itu harus dibingkai oleh arah kebijakan yang jelas, lintas sektor, dan berpihak pada kepemimpinan lokal.