KENDARI, DETIKSULTRA.COM – Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) mencatat sebanyak 140 titik panas kategori tinggi terdeteksi di wilayah Sultra. Titik panas ini perlu diperhatikan mengingat Sultra memiliki luas kawasan hutan sekitar 2,3 juta hektare yang meliputi hutan konservasi, hutan lindung, maupun hutan produksi.
Sekretaris Daerah (Sekda) Sultra, Asrun Lio mengatakan, kawasan hutan tersebut memiliki peran penting bagi kehidupan masyarakat di Sultra, baik secara sosial, ekologis, maupun sebagai sumber ekonomi masyarakat.
“Salah satu konsekuensi peran hutan, bagi pemenuhan kepentingan sosial, ekonomi yakni penutupan hutan yang cenderung, semakin menyusut,” katanya, Jumat (06/09/2024).
Ancaman penyusutan tutupan kawasan hutan, diantaranya disebabkan perambahan hutan ilegal logging, serta kebakaran hutan dan lahan yang terjadi berulang setiap tahun pada musim kemarau.
Anomali iklim dan cuaca di Sultra dalam tiga tahun terakhir, sejak 2020 hingga 2022 terjadi La Nina yang menyebabkan kemarau basah. Namun pada 2023 terjadi El Nino dan kemarau panjang.
Selain itu juga, BMKG beberapa kali mengeluarkan peringatan dini potensi kekeringan dan Gubernur Sultra mengeluarkan status tanggap darurat kekeringan pada beberapa wilayah kabupaten.
“Kondisi tersebut mengakibatkan peningkatan jumlah titik hostpot dan luas kebakaran hutan dan lahan di Sultra,” terangnya.
Berdasarkan data Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Kementerian LHK pada 2023, Sultra merupakan peringkat ke 11 tertinggi luas areal kebakaran hutan dan lahan dengan luas 18.736.46 hektare dan jumlah titik hotspot yang terdeteksi.
“Berdasarkan satelit Nasa modis yaitu kategori high sebanyak 140 titik dan kategori medium sebanyak 1.053 titik,” ungkapnya.
Lebih lanjut, peningkatakan luas areal kebakaran hutan dan lahan tersebut, tersebar pada beberapa kabupaten yakni, Bombana seluas 10.217.32 hektare Konawe Selatan seluas 2.227.39 hektare, Konawe Utara seluar 1.225.10 hektare Kolaka seluars 1.219.08 hektare, Konawe seluas 969.19 hektare.
Kolaka TImur seluas 933.58 hektare, Buton seluas 844.86 hektare, Muna seluas 396.06 hektare, Buton Selatan seluas 239.42 hektare, Muna Barat seluas 184.12 hektare , Kolaka Utara seluas 167.87 hektare, Wakatobi seluas 71.62 hektare, Baubau seluas 99 hektare, Buton Tengah seluas 57.35 hektare.
“Sedangkan luas areal kebakaran hutan dan lahan sampai dengan 31 Juli 2024 seluas 215.37 hektare,” ucapnya.
Olehnya itu, Sekda mengimbau agar wilayah yang sering terjadi kebakaran hutan dan lahan tersebut, agar menjadi perhatian bagi semua pihak dalam melakukan antisipasi.
Selain itu juga antisipasi tersebut juga perlu adanya penanggulangan kebakaran hutan dan lahan mengingat prediksi BMKG, puncak musim kemarau terjadi pada Agustus dan September.
Adapun kebakaran tersebut disebabkan faktor alam dan faktor manusia, pertanian, perkebunan, serta kecorobohan manusia dalam memperlakukan api, seperti kelalaian dalam membuang puntung rokok.
“Sehingga kebakaran hutan dan lahan tersebut berdampak terhadap menurunnya keanekaragaman hayati,” ungkapnya.
“Selain itu menurunnya produktivitas tanah, hilangnya habitat dan populasi berbagai jenis tumbuhan dan satwa, bahkan terancam meningkatkan bencana alam seperti erosi, banjir, tanah longsor, dan kekeringan,” tutupnya. (bds)
Reporter: Muh Ridwan Kadir
Editor: Wulan