LASUSUA, DETIKSULTRA.COM – Program revitalisasi kakao, yang juga merupakan program unggulan Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Kolaka Utara (Kolut) berpotensi gagal.
Hal tersebut dikemukakan Anggota Komisi I DPRD Kolaka Utara, Nasrullah, S.Ag kepada Detiksultra.com, Senin (8/7/2019). Menurutnya, program revitalisasi kakao sangat berpotensi untuk gagal dibandingkan berhasil. Hal ini disebabkan sistem dan proses pelaksanaannya yang tidak sinkron antara Calon Petani dan Lahan (CPL), penyedia bibit dan pupuk, serta Pemda.
“Kami melihat ada yang tidak sinkron antara calon petani sebagai penyedia lahan, penyedia bibit, pupuk dan Pemda. Dari sisi Petani dan penyediaan lahan, kami melihat berdasarkan fakta di lapangan ada lahan yang terdata sebagai peserta program revitalisasi tapi setelah bibit datang justru petani tersebut menolak. Begitu juga dengan Kecamatan Tolala yang terdata, sementara kita ketahui tidak ada lahan yang bisa ditanami di Tolala,” kata Nasrullah.
[artikel number=3 tag=”kakao,petani”]
“Berdasarkan pengalaman saya selaku pelaksana Gernas 2009-2011 lalu, saya pernah sampaikan kepada Pemda bahwa idealnya lahan yang kita sentuh untuk revitalisasi adalah lahan yang betul-betul dikerjakan dan terdata secara benar bukan lahan yang hanya didata di atas meja sehingga menghasilkan data fiktif. Laporan masuk dua hektar sementara faktanya cuman 1 hektar. Ini penting karena tanpa pendataan maksimal maka berapapun bibit yang diserahkan ke petani itu tidak akan berjalan secara maksimal. Dan itulah yang terjadi sekarang,” jelasnya.
“Untuk pendistribusian pupuk dan bibit juga kami lihat ada yang tidak sinkron. Pupuk sudah datang sementara lahan petani belum siap akhirnya pupuk digudangkan. Untung kalau terlindungi. Kalau tidak, pasti hancur percuma, dan fakta di lapangan menunjukkan banyak pupuk kompos yang rusak dan tidak terpakai. Bibit juga datang disaat lahan belum siap akhirnya bibit hanya ditampung di samping rumah,” lanjutnya.
Dari sisi kualitas bibit, kata Nasrullah, baik yang masuk dari Kolaka Timur maupun dari Luwu, bisa dijamin karena tidak semua orang bisa memiliki sertifikat bibit.
“Yang perlu kita kritisi itu proses pegangkutan bibit, yang bertumpuk. Seharusnya bibit yang diantar ke desa itu tidak boleh langsung diserahkan ke petani, tapi ditampung dulu oleh pihak kontraktor kemudia dirawat beberapa hari sampai betul-betul bibit sehat kembali baru diserahkan ke petani atau kepala desa,” bebernya.
“Kita juga tidak bisa menyalahkan sepenuhnya pihak ketiga karena terkadang sebuah program yang didesain oleh Pemda baik itu APBD maupun APBN perencanaannya tidak sesuai dengan kondisi lapangan. Jadi banyak juga pihak kontraktor yang mengeluh. Jadi saya belum bisa mengatakan revitalisasi ini gagal karena ini baru mulai berjalan, nanti bisa dikatakan gagal kalau program ini sudah berjalan 2 sampai 3 tahun. Tapi saya berani katakan bahwa potensi gagalnya tinggi kalau kita lihat sistem dan prosesnya selama ini,” pungkasnya.
Reporter: Muh. Risal
Editor: Rani