Opini

Reintegrasi Sosial dan Konsep Pemasyarakatan

Dengarkan

Bertolak dari pandangan tentang hukum sebagai pengayoman. Hal ini membuka jalan perlakuan terhadap narapidana dengan cara pemasyarakatan sebagai tujuan pidana penjara dan konsep pemasyarakatan.

Pidana penjara atau pemasyarakatan merupakan salah satu bagian dari hukuman yang dapat dijatuhkan kepada seorang terpidana yang telah divonis dengan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap (inkrah). Fungsi pemidanaan pada saat ini tidak lagi sekadar penjeraan, tetapi pemidanaan dimaksudkan sebagai tempat atau sarana pembinaan, rehabilitasi dan reintegrasi warga binaan lembaga pemasyarakatan.

Pelaksanaan pembinaan pemasyarakatan didasarkan atas prinsip-prinsip sistem pemasyarakatan untuk merawat, membina, mendidik, dan membimbing narapidana dengan tujuan agar menjadi warga yang baik dan berguna. Pembinaan yang terbaik bagi keberhasilan narapidana dalam menjalani pidana dan dapat kembali ke masyarakat serta tidak mengulangi lagi perbuatannya adalah pembinaan yang berasal dari dalam diri narapidana itu sendiri.

Namun yang terlebih penting adalah perlunya penghayatan asas proporsionalitas dalam penjatuhan pidana, yakni proporsionalitas atas kepentingan masyarakat, kepentingan negara, kepentingan si pelaku tindak pidana dan kepentingan korban tindak pidana.

Fungsi pemidanaan tersebut mengarahkan supaya narapidana tidak melakukan perbuatan pidana dan menyadarkan serta mengembalikan warga binaan pemasyarakatan tersebut ke dalam lingkungan masyarakat, menjadikan ia bertanggung jawab terhadap dirinya, keluarga dan masyarakat sekitar atau lingkungannya.

Pemidanaan pada saat ini lebih ditujukan sebagai pemulihan konflik atau menyatukan terpidana dengan masyarakat. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, dalam penjelasan umumnya memuat pernyataan bahwa tujuan pemidanaan adalah upaya untuk menyadarkan narapidana dan anak pidana untuk menyesali perbuatannya, dan mengembalikannya menjadi warga masyarakat yang baik, taat kepada hukum, menjunjung tinggi nilai-nilai moral, sosial dan keagamaan, sehingga tercapai kehidupan masyarakat yang aman, tertib dan damai.

Mencermati penjelasan di atas, maka pembebasan bersyarat merupakan tahap dari pembinaan narapidana yang diarahkan agar menyadari kesalahannya, memperbaiki diri dan tidak melakukan tindak pidana lagi.

Menurut penjelasan Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, pembebasan bersyarat adalah bebasnya narapidana setelah menjalani sekurang-kurangnya dua pertiga masa pidananya dengan ketentuan dua pertiga tersebut tidak kurang dari sembilan bulan.

Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa dalam pembinaan narapidana salah satu perwujudannya berupa proses pembebasan bersyarat, yaitu pengembalian narapidana kepada masyarakat ( pembebasan narapidana) agar menjadi orang yang baik dan berguna asalkan memenuhi syarat-syarat tertentu sebelum ia selesai menjalani masa pidananya.

Bagi narapidana yang diberikan pembebasan bersyarat menurut ketentuan Kitab Undang-undang Hukum Pidana( KUHP ) harus telah memenuhi syarat-syarat tertentu, baru kemudian dilepas ke masyarakat yang telah menyatakan siap menerimanya. Masyarakat diharapkan turut berperan dalam memberikan pembinaan dan pendidikan bagi narapidana.

Istilah kebijakan berasal dari bahasa Inggris yakni policy atau dalam bahasa Belanda Politiek yang secara umum dapat diartikan sebagai prinsip-prinsip umum yang berfungsi untuk mengarahkan pemerintah (dalam arti luas), termasuk pula aparat penegak hukum dalam mengelola, mengatur, atau menyelesaikan urusan-urusan publik, masalah-masalah masyarakat atau bidang-bidang penyusunan peraturan perundang-undangan dan pengaplikasian hukum/peraturan, dengan tujuan (umum) yang mengarah pada upaya mewujudkan kesejahteraan atau kemakmuran masyarakat (warga negara).

Bertolak dari kedua istilah asing tersebut, maka istilah kebijakan hukum pidana dapat pula disebut dengan istilah politik hukum pidana.Dalam kepustakaan asing istilah politik hukum pidana ini sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain penal policy, criminal law policy atau staftrechtspolitiek.

Tujuan pemidanaan yang dianut dewasa ini sebenarnya bukan merupakan pemikiran baru, melainkan sedikit banyak telah mendapat pengaruh dari pemikir-pemikir atau para penulis beberapa abad yang lalu yaitu tentang dasar pembenaran (Rechts Vaardigings Grond) dari suatu pemidanaan sebagaimana akan diuraikan kemudian.

Pada dasarnya terdapat tiga pokok pemikiran tentang tujuan yang ingin dicapai dengan suatu pemidanaan, yaitu mencakup hal-hal sebagai berikut :
a. Memperbaiki pribadi dari penjahatnya itu sendiri.
b. Membuat orang menjadi jera melakukan kejahatan-kejahatan.M
c. Membuat penjahat-penjahat tertentu menjadi tidak mampu untuk melakukan kejahatan-kejahatan yang lain, yakni penjahat-penjahat yang dengan cara-cara lain sudah tidak dapat diperbaiki kembali

Restorative justice atau keadila restorative merupakan suatu konsep upaya baru dalam penyelesaian tindak pidana. Sampai saat ini, restorative justice sebagai suatu konsep penyelesaian belum diatur secara khusus dalam Hukum Acara pidana. Hanya terdapat beberapa aturan yang secara subtansi bisa dimaknai sebagai restorative justice, antara lain dalam Undang-Undang No.11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak, yang mengedapan pendekatan Diversi dalam penanganan kasus anak serta dalam Surat Edaran Kapolri Nomor 8 tahun 2018 tentang Penerapan Restorative Justice dalam Penyelesaian Perkara Pidana.

Beberapa hak-hak yang tercantum dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia PBB ini, juga telah dirumuskan secara singkat dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yaitu sebagai berikut:
“Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran, dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah HAM yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”.

Rehabilitasi dilakukan melalui pembinaan narapidana terorisme meliputi fasilitas olahraga.Fasilitas pembinaan mental dilakukan melalui siraman rohani oleh petugas lembaga pemasyarakatan setiap 2-3 kali seminggu. Pembinaan non fisik juga berupa pelaksanaan hak dari narapidana yakni hak mengunjungi keluarga, cuti menjelang bebas dan cuti bersyarat.

Program rehabilitasi dan reintegrasi sosial bagi napidana bertujuan untuk memutus mata rantai kejahatan melalui internalisasi nilai nilai yang dilakukan di dalam lembaga pemasyarakatan. Sehingga ketika kembali ke masyarakat, mantan narapidana tidak lagi tergabung dalam jaringannya dan melakukan aksi aksi kejahatan kembali.Tujuan ini sejalan dengan tujuan dari pemidanaan.

Penulis: Rusnadi Dwi S. (Pembimbing Kemasyarakatan Pertama di Bapas Kelas II Kendari, Kantor Kementrian Hukum dan HAM Sulawesi Tenggara)

Baca Juga

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button