Lukman Abunawas Khutbah Beber Makna Salat Iduladha di Hadapan Jemaah di Konawe
KENDARI, DETIKSULTRA.COM – Bakal Calon (Balon) Gubernur Sulawesi Tenggara (Sultra), Lukman Abunawas melaksanakan salat Iduladha 1445 H bersama warga di Masjid Nur Hayati Kabupaten Konawe, Senin (17/6/2024).
Tak hanya itu, Lukman Abunawas yang juga mantan Wakil Gubernur Sultra periode 2018-2023 itu juga mengisi khutbah Iduladha di mesjid tersebut.
Dalam kesempatan itu, Lukman Abunawas menyampaikan salat Iduladha memiliki pesan filosofis dan makna yang terdapat di dalamnya. Salat Iduladha memiliki tujuh kali takbir pada rakaat pertama dan lima kali takbir pada rakaat kedua, sehingga jumlah keseluruhannya adalah 12 kali takbir.
“Angka 12 ini menunjukan jumlah
bulan di dalam setahun yang bermakna bahwa sebagai umat muslim harus senantiasa bertakbir kepada Allah dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu yang lain secara terus menerus, tanpa mengenal ruang dan waktu,” ungkapnya.
Pelaksanaan salat Iduladha, lanjut dia, memiliki keterkaitan erat dengan ritual ibadah haji yang dilakukan oleh kaum muslimin. Ibadah haji memiliki pesan-pesan moral yang menarik untuk dipahami.
Ibadah haji merupakan ritual bernuansa psiko-feminis sekaligus ritual psikotetri dan ginekologis yang memperkenalkan proses prenatal manusia, yakni masa ketika bayi masih berada di dalam kandungan ibu dan pascanatal, yakni ketika bayi setelah dilahirkan.
Adapun pakaian ihram berwarna putih merupakan simbol kesucian. Hal ini adalah isyarat bahwa bayi yang dilahirkan masih dalam keadaan suci, bersih tanpa noda, seperti pakaian ihram yang berwarna putih.
Ketika memakai pakaian ihram, jamaah haji tidak boleh mengenakan pakaian dalam. Sebagai suratan bahwa manusia sejak lahir tidak membawa sesuatu apapun, termasuk pakaian di badan dan harta benda lainnya.
Sementara itu, tawaf dilakukan dengan berputar mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali. Ini merupakan suatu gambaran di mana bayi juga berputar sebanyak tujuh kali selama tujuh bulan, setelah dua bulan
sebelumnya ia menjadi janin di dalam kandungan ibunya.
“Sa’i adalah berlari-lari kecil antara Bukit Shafa dan Bukit Marwah, yang melukiskan peristiwa Hajar bergerak dinamis mencari air untuk mengobati dahaga anaknya Ismail AS. Hal ini menggambarkan keadaan bahwa bayi ketika berada dalam kandungan selalu bergerak secara dinamis dan menangis setelah dilahirkan untuk segera disusui oleh ibunya agar terobati rasa hausnya,” jelasnya.
Selanjutnya, Lukman Abunawas menyampaikan bahwa pada dinding Ka’bah terdapat pula Hajar Aswad yakni batu hitam yang berbentuk bulat lonjong yang selalu ingin dihampiri setiap saat oleh para jamaah haji, baik laki-laki maupun perempuan. Hajar Aswad
tersebut merupakan simbol reproduksi wanita.
Sementara itu, melempar jumrah adalah simbol doa dan ikhtiar yang dilakukan oleh ayah dan ibu agar anak yang dilahirkan adalah anak saleh atau salehah yang kelak dapat ‘melempar’ jauh-jauh kenistaan dan berharap sebaliknya mendapatkan rezeki, jodoh, dan kebaikan hidup dunia dan akhirat, serta menghiasi diri dengan sifat dan perilaku yang baik.
Sedangkan Tahallul adalah rukun haji, di mana para jamah calon haji wajib untuk menjatuhkan sebagian atau keseluruhan rambut yang ada di kepala. Hal ini mengingatkan kembali pada peristiwa masa lalu, di mana bayi yang baru lahir harus diaqiqah, yaitu mencukur sebagian atau keseluruhan rambut bayi oleh tokoh agama atau tokoh adat. Setelah itu diberikan nama dan disembelihkan kambing dua ekor bila anaknya laki-laki
dan satu ekor bila anaknya perempuan.
“Dengan Tahallul ini, sesungguhnya
sudah menitip pesan kepada kita bahwa kita sudah pernah berkurban untuk yang pertama kalinya, yaitu ketika kita baru dilahirkan. Namun kemudian harus dibuktikan secara hakiki pada saat Idul Adha tiba dengan berkurban untuk yang kedua kalinya ketika kita sudah dewasa dan memiliki
harta,” bebernya.
Mengapa harus dua kali, Lukman Abunawas sebut, karena yang kedua itulah menjadi ukuran pembuktian yang hakiki. Bukankah Alquran memberikan analogi bahwa manusia itu dua kali mati dan dua kali hidup serta 2 kali bersyahadat. Kematian, kehidupan, dan syahadat kedua itulah yang menjadi ukuran pembuktian di dunia sebagai bekal menuju negeri akhirat.
Selanjutnya para jamaah calon haji melaksanakan Wuquf. Wuquf adalah rukun haji yang bermakna berhenti atau diam sejenak, di mana lautan manusia dari berbagai belahan dunia berkumpul pada satu tempat yang dinamai Arafah. Wuquf dikenal sebagai puncak ibadah haji dan pelantikan untuk menjadi seorang haji yang paripurna.
Demikian pula dengan mabit di mina dan muzdalifah adalah kewajiban haji yang dilakukan dengan cara bermalam di wilayah Mina dan Muzdalifah. Hal ini menggambarkan situasi bayi ketika berada dalam rahim ibunya seolah-olah ia berada pada keadaan malam yang gelap gulita, tanpa membuka matanya untuk melihat keadaan di sekitarnya.
“Dengan demikian, maka secara subtantif, ibadah Haji dan ibadah kurban merupakan bentuk penghargaan yang amat tinggi terhadap keberadaan perempuan dan proses kelahiran anak manusia di dunia ini,” tandas Lukman Abunawas. (*)
Reporter: Sunarto
Editor: Biyan