Fenomena Pilkada 2020, Dulu Berkawan Kini Melawan
KENDARI, DETIKSULTRA.COM – Aroma pecah kongsi antara kepala daerah (Kada) dan wakil kepala daerah (Wakada) di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tahun 2020 tak terelakkan lagi.
Isu pecah kongsi ini, terang benderang dipertontonkan oleh para bupati dan wakil bupati. Salah satunya Bupati Konawe Selatan (Konsel) dan Wakil Bupati Konsel Selatan (Surunuddin Dangga – Arsalim).
Arsalim dengan sigap menyatakan siap maju tarung di Pilkada Konsel 2020, melawan Surunuddin Dangga.
Demikian pula Bupati Kolaka Timur (Koltim) dan Wakil Bupati Koltim (Tony Herbiansyah – Andi Merya Nur), di pastikan pisah di Pilkada Koltim 2020.
Melihat fenomena pecah kongsi bupati dan wakil bupati, sudah jelas di dalamnya telah terjadi masalah internal antara keduanya.
[artikel number=3 tag=”Pilkada,Sultra”]
Pengamat Politik Sultra, Najib Husain memandang fenomena ini karena tidak adanya pembagian tugas yang jelas antara bupati dan wakil bupati. Terlebih kata dia, biasanya banyak merugikan wakil bupati
“Sebenarnya dalam pembagian tugas bisa saja dilakukan jika ada kemauan politik 01. Misalnya kasus Konsel 01 bisa fokus di investasi dan 02 di pemerintahan, tapi karena semua tugas dikerjakan sendiri oleh 01 sehingga 02 akan merasa ditinggalkan yang kemudian menimbulkan perpecahan,” ujar Najib saat dihubungi Detiksultra.com melalui sambungan telepon seluler, Selasa (2/7/2019).
Kemudian, lanjut Dosen Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Halu Oleo (UHO), faktor lain sehingga terjadinya perpecahan juga disebabkan oleh pembagian “kue” yang tidak seimbang dimana semua posisi straegis di SKPD diisi oleh orang-orang dari bupati.
Akibat perpecahan tersebut, hal itu dapat dimanfaatkan oleh wakil bupati jika maju tarung di Pilkada berikutnya.
“Konflik ini jika dikelola dengan baik oleh 02 bisa menguntungkan ke depan, jika akan bertarung lagi dengan memposisikan diri sebagai orang yang “terzalimi” dan akan dapat dukungan yang besar dari pemilih seperti kasus SBY pada masa Megawati,” cetusnya.
Namun terlepas dari pecah kongsi antara bupati dan wakil bupati, harusnya keduanya sadar akan posisi mereka. Sebab aturannya sudah jelas dalam Undang-undang (UU) Nomor 23 Tahun 2014 dengan perubahannya UU Nomor 9 Tahun 2015, dimana keberadaan mereka di masyarakat tidak lain untuk menjalankan tugas dan fokus membangun daerah.
“Keduanya harus menjalankan tugas sebagai duet kepemimpinan yang lebih fokus dalam bekerja untuk pembangunan daerah dan bentuk pengbdian kepada masyarakat,” imbuhnya.
Olehnya itu, dirinya berpendapat, ke depan sudah saatnya diadakan perubahan dalam model kepemimpinan daerah, dimana bupati dan wakil bupati tidak perlu satu paket.
“Saat pilkada cukup yang dipilih adalah bupati. Setelah bupati terpilih nanti bupati yang memilih siapa wakilnya agar tidak terjadi pecah kongsi. Karena saat mereka berpasangan akan banyak kontribusi dalam biaya politik termasuk partai yang mengusung. Model ini sudah diusulkan juga oleh pemerhati dan kementrian,” tukasnya.
Reporter: Sunarto
Editor: Rani