Sang “Fajar” yang selalu Dinanti
MUNA BARAT, DETIKSULTRA.COM – Awan menebal nan hitam, angin tak lagi bertiup semilir. Berhembus menderu tak bersahabat. Sepertinya akan hujan. Tak melewati puluh menit, hujan lebat turun membasahi bumi. Hawa dingin ikut menyeruak menembus kulit. Tapi musim penghujan ini tak cukup mendinginkan situasi, ada variabel lain yang membuat iklim memanas dalam situasi hujan seperti ini.
Iklim Politik adalah variabel utama itu, membuat situasi panas dan dingin, manis dan pahit. Situasi pelik bagi rakyat. Diperhadapkan pada takaran ideologis atau pragmatis. Namun dalam situasi saat ini mencari alasan ideologis rasanya sudah semakin sulit seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami. Berbilang jari yang masih menyandarkan alasannya pada hal hal ideologis. Ukuran rakyat saat ini semakin pragmatis, “anda jual, saya beli”. “Ada uang, ada suara”.
Rakyat tak dapat disalahkan sepenuhnya mengapa ini terjadi? Karena para politisi tak lagi melakukan pendidikan politik, memberi jalan ideologis bagi konstituennya, membuka cakrawala berpikir mereka bahwa politik itu mendahulukan etika, bukan menempatkannya dalam sudut yang terpencil. Menempatkannya dalam kotak tak bercahaya.
Pasca reformasi diskursus politik tak semakin baik. Muncul generasi abai, generasi tak melek politik. Literasi digital menjadi yang utama, literasi politik semakin terpinggirkan. Apa lacur, dogma politik itu kotor terlanjur masuk dalam pikiran generasi muda. Seolah politik tak lagi menjadi jalan bagi pengabdian membangun bangsa. Cukup pertebal uang, tak perlu pertebal literasi. Jangan heran banyak politisi yang tak bersandar pada visi misi politik. Visi Misi hanya sekedar syarat formil. Jalan pintas diambil, money politic adalah jurus utama.
Bagi rakyat, alasan memilih tak lagi pada kecakapan politisi tapi pada kemapanan mereka. Ukuran mapan itu juga tak cukup, perlu mengalir ke bawah. Siapa yang kuat berbagi itu lah yang terpilih. Dalam urusan politik kekinian jejaring keluarga dan pertemanan tak cukup diperkuat hanya dengan pertemuan silaturahmi namun dengan “berbagi rezki lima tahunan”.
Teori politik menempatkan money politic sebagai tindakan tak etis tapi rakyat dihadapkan oleh pilihan pilihan yang sulit. Situasi ekonomi mereka yang tak baik-baik saja ditambah oleh adanya kepercayaan masyarakat bahwa urusan mereka dengan para politisi hanya sampai dibilik suara. Setelah itu sangat jarang mereka diperhatikan, bahkan lebih banyak diabaikan.
Pemilih tradisional masih banyak yang sehari-hari bergelut dengan masalah domestik mereka, yang masih belum selesai dengan urusan perut, urusan pendidikan anak, dan urusan jaminan kesehatannya. Dan jumlah pemilih tradisional itu lebih banyak jumlahnya dari pemilih rasional. Pemilih rasional hanya sekitar 5-10 persen dari jumlah pemilih di Indonesia.
Abrahan Lincoln mengajarkan bahwa Demokrasi adalah dari Rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Sejatinya rakyat adalah pemilik kekuasaan itu. Hanya dimandatkan pada sebagian elit politik untuk menjalankannya. Dalam frasa lain, menyamakan suara rakyat sebagai suara tuhan. Vox populi, vox dei. Dimana rakyat memberikan kewibawaannya, harkat dan martabatnya kepada penguasa untuk mencapai kesejahteraan.
Tapi itu adalah ruang lingkup teoritis. Sekalipun sekelompok orang diparlemen berlabelkan “wakil rakyat”. Namun pada kenyataannya posisi rakyat tak lebih kuat dari para wakil mereka. Rakyat tak berdaya karena secara ekonomi masih sangat rentan dan kerentanan itu menjadi celah adanya praktek transaksional (jual beli suara). Budaya transaksional itu tumbuh subur karena tidak adanya fundamen ideologis yang matang. Benih ideologis tak disemai di akar rumput. Celakanya situasi seperti ini sepertinya dirawat secara sadar, mendorong pada apa yang disebut politik klient, yang memberi karpet merah pada praktik jual beli suara.
Situasi ini entah kapan berubah, 26 tahun sudah kita berdemokrasi pasca reformasi. Saat ini bagi rakyat “Sang Fajar” yang selalu dinanti.
Penulis: Surachman, ST., MT.
Penulis Merupakan Dekan Fakultas Teknik ITBKM Muna Barat