Opini

Pilkada Serentak Merobek Kebinekaan Sumpah Pemuda Tahun 2024?

Dengarkan

Pilkada Serentak Merobek Kebinekaan
Sumpah Pemuda Tahun 2024?
Oleh Amijaya Kamaluddin

Hari ini tanggal 28 Oktober 2024 bertepatan dengan hari Sumpah pemuda yang di cetuskan oleh para pemuda ditahun 1928, dimana saat itu para pemuda bertemunya tokoh tokoh para organisatoris pemuda dari berbagai asli daerah seperti Jon Java, Jon Sumatra, jon Celebes dan tidak lupa juga para pemuda yang tergabung dalam Jon Islami bond dan lainnya.

Setelah 45 tahun kemudian, kembali para tokoh pemuda bertemu seolah mendapat spririt yang sama ditahun 1973 bertemu kembali para organisatoris pemuda yang saat ini banyak diwarnai olehdari mahasiswa yang tergabung dalam organisasi ekstra kampus seperti HMI, GMNI, PMKRI, PMII, IMM, dan organisasi mahasiswa lainnya yang bertemu di puncak Bogor di daerah Cipayung yang selanjutnya di sebut namanya “Kelompok Cipayung”.

Pertemuan para pemuda saat itu dengan memiliki semangat dan keprihatinan yang sama dengan tahun 1928, dimana perjuangan pemuda selalu mewarnai setiap peristiwa bersejarah maka dengan ini melahirkan organisasi baru yang bertujuan menghimpun kaum muda intelektual pewaris generasi yang tergabung dalam organisasi mahasiswa maupun primodial kedaerahan yang berbentuk organisasi pemuda dengan nama “Komite Nasional Pemuda Indonesia dan kemudian disingkat KNPI”, sebagai mana yang kita kenal disetiap provinsi daerah kabupaten kota seluruh indonesia.

Ada hal yang menarik untuk mencermati perihal “Primordialisme” yang hadir disaat ini ditengah maraknya dipahami sebagai ancaman pembelahan disaat pilkada serentak saat ini, di tengah upaya merajut persatuan kebangsaan dalam semangat kebangkitan sumpah pemuda 28 Oktober 2024, dalam kekinian, sehingga makna pribumi asli daerah masih sangat relevan dalam bingkai penguatan kebangsaan dan integritas bangsa di tengah polarisasi sebagai effek langsung maupun tidak sebagai buah pilkada langsung yang menggerus rasa keakraban bermasayarakat. Bilah kita mesingkronisasi dengan anggapan atau pemahaman “cross cutting culture” (C3)yang mengesampingkan keakbraban sosial sebagai warga masyarakat akan menjadi sentimen dan pembelahan di masyarakat apabila penanganannya tidak hati hati dan akan tidak berkesudahan, tentu hal diatas harus dihindari.

Dalam konteks memperkuat integritas dan rasa kebangsaan dan menjadikan momentum pilkada ini sebagai bentuk aktualisasi memupuk semangat Sumpah Pemuda, maka penting untuk menyadari dan memahami bagaimana primordialisme dan persatuan dapat berjalan beriringan. Primordialisme dalam kontek putra daerah asli C3, merujuk pada ikatan-ikatan yang kuat berdasarkan identitas asal, seperti suku, agama, atau budaya.

Meskipun ikatan ini dapat memperkuat rasa kebersamaan di dalam kelompok tertentu, dan perlu diwaspadai karena bisa menjadi arus balik (back fire) yang akan menimbulkan dan menyebabkan perpecahan antara masyarakat putra daerah asli dengan masyarakat yang merantau ke bumi Anoa, dan hal seperti ini harus terus terjaga jika tidak akan menimbulkan permasalahan baru bila tidak dikelola dengan baik.

Di tengah dinamika politik pilkada serentak, seperti pemilihan kepala daerah (pilkada), seringkali muncul polarisasi yang dapat memecah belah masyarakat. Polarisasi ini terjadi ketika orang-orang lebih mengutamakan identitas kelompoknya daripada persatuan sebagai warga bangsa. Misalnya, dalam pilkada serentak pemilihan Gubernur sultra ada calon yang berasal bukan sebaga putra daerah asli, kondisi ini apabila KPU dan Bawaslu tidak menjadi panitia penyelenggara dan pengawasan netral atau berat sebelah, apalagi keberpihakan KPU dan Bawaslu akan menguntungkan figure dan bukan dari Putra daerah asli sultra maka dukungan terhadap calon berdasarkan suku bisa merobek, menggerus yang berujung pada pecahnya rasa persaudaraan dan keakraban di masyarakat sultra.

Untuk menghindari hal tersebut, kita perlu mengedepankan pemahaman bahwa meskipun kita memiliki latar belakang yang berbeda, kita semua adalah bagian dari satu bangsa satu nusa dan satu semangat tana air dalam spectrum yang lebih makro. Konsep “cross-cutting culture” mengajak kita untuk melihat bahwa identitas kita tidak hanya ditentukan oleh suku atau agama, tetapi juga oleh kesamaan sebagai warga negara yang memiliki tujuan dan cita-cita yang sama sebagai warga bangsa.

Kita perlu membangun dialog dan saling menghormati antar kelompok, serta mengedepankan nilai-nilai kebersamaan dan persatuan. Dengan cara ini, kita dapat memperkuat integritas bangsa dan menciptakan masyarakat yang harmonis, meskipun ada perbedaan. Mari kita ingat kembali semangat Sumpah Pemuda yang mengajak kita untuk bersatu dalam keragaman demi kemajuan bangsa.LAK

Baca Juga

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button