Opini

“Menakar Yurisdiksi Pra-Peradilan & Konsep “Rechter Commissaris” Dalam RUU KUHAP

Dengarkan

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum acara Pidana (selanjutnya disebut KUHAP) sebagai “Strafprocesrecht”, pada fase Pra ajudikasi (vooronderzoek) memberikan ruang yang sangat besar terhadap penyidik untuk dapat melakukan tindakan upaya paksa (dwang middelen) terhadap terduga pelaku tindak pidana apabila telah memenuhi syarat yuridis dan syarat nesesitas. Akan tetapi keputusan penentuan “probable cause” dan “reasonablesness-nya” sudah dipenuhi atau tidak pada kedua syarat tersebut secara absolutisme diletakkan pada subjektif diskresional Penyidik.

 “Probable cause” dalam KUHAP dimaknai sebagai ekuivalensi dari bukti permulaan yang cukup untuk sekira menduga adanya tindak pidana. Sayangnya tidak dirumuskan secara jelas. terang dan konkret apa bukti permulaan yang cukup (probable cause) itu dan bagaimana hal itu ditetapkan. Pendefinisiannya-pun secara absolute merupakan diskresional penyidik. Sedangkan “Reasonablesness” dalam berbagai doktrin dimaknai sebagai “sensible, rational and justifiable serta information are sufficient (J. scott Harr cs)”.

“Reasonablesness” dilakukan atas dasar alasan keperluan dalam memenuhi standarisasi syarat yuridis untuk melakukan upaya paksa (dwang middelen), akan tetapi syarat ini tidak masuk didalam ruang lingkup yurisdiksi Pra-peradilan yang diatur didalam KUHAP (Pasal 1 angka 10, Bab X Bagian Kesatu dari Pasal 77 sampai dengan Pasal 83), padahal secara konseptual Pra-peradilan dimaksudkan sebagai pelindung kekuasaan penyidik,perlindungan terhadap korban maupun pelaku tindak pidana.

[artikel number=3 tag=”opini,kuhp”]

Secara “de facto”, pada prakteknya “probable cause” maupun “reasonablesness” dipahami sekedar sebagai “ at the heart of the interpretation”, sehingga terbuka ruang dan peluang yang sangat besar bagi penyidik untuk menyalahgunakannya (misbruik van gezag),  apalagi problem lain pada fase ini yaitu hakim hanya ditempatkan sebagai “Post Vacum” atau “Post Facto” dimana hakim sama sekali tidak bisa menilai bagaimana penyidikan dilakukan sampai perkara dilimpahkan ke pengadilan, kendatipun dilimpahkan ke zona lingkup Pra-peradian maka yurisdiksi penilaianya-pun tidak lebih dari uji secara formal administrative belaka.

Mekanisme pengujian atas kedua syarat a quo hanya ada pada lembaga Pra-Peradilan, dimana korban. tersangka. terdakwa maupun instansi yang relevan diberikan Hak untuk melakukan pengawasan atas dilakukannya Upaya Paksa (Dwang Middelen) terhadap dirinya. Tujuan diadakannya hal demikian karena sejatinya lembaga Pra-Peradilan merupakan Transplantasi dan Terjemahan dari konsep “Habeas Corpus” sebagaimana yang berlaku pada Negara dengan system hukum Common Law/Anglo Saxon yang diadaptasi dari substansi Hukum HAM Internasional (International Human Rights) dan konsep “Rechstaat” (Negara Hukum) yang sejatinya telah menjadi “International Customary Law”.

Akan tetapi harus diakui bahwa upaya penerjemahan konsep “Habeas Corpus” kedalam KUHAP tidak sepenuhnya berhasil disebabkan karena konsep Pra-Peradilan yang dimaktub dalam KUHAP lebih cenderung kepada proses uji Administratif belaka. Lembaga Pra-Peradilan tidak mampu menjangkau ruang uji terkait keabsahan asas yuridis dan asas nesesitas secara materiil serta tidak mampu menguji apakah bukti permulaan yang cukup sebagai dasar penetapan status tersangka guna melakukan upaya paksa (dwang middelen) itu sah secara materill, diperoleh dari mana maupun dengan cara seperti apa, lembaga ini tidak didesain untuk menjangkau dan menjawab hal demikian, tentu hal ini sangat jauh berbeda dengan konsep awalnya yaitu “Habeas Corpus”. Artinya Lembaga Pra-Peradilan dengan segala bentuk keterbatasannya dalam regulasi KUHAP masih sangat memerlukan Peninjauan secara Signifikan, Holistik bahkan Evaluatif yang cenderung Eksessif disebabkan peran lembaga Pra-Peradilan dalam proses pidana (Strafproces) sangatlah pasif (Lijdelijkheid).

Sebagaimana yang kita ketahui bahwa Upaya Paksa (Dwang Middelen) baik itu penangkapan, penahanan dan penyitaan sejatinya berhubungan dengan Kemerdekaan atau Kebebasan, harga diri, kehormatan setiap orang, penghormatan hak hukum (Legal Rights) atas barang-barang dan sebagainya, dimana sifatnya sangatlah fundamental (mendasar). Dikarenkan sifatnya yang demikian, maka sudah selayaknya aparat penegak hukum yang relevan ketika menggunakannya harus secara cermat, tepat, hati-hati dan professional, apalagi penggunaan upaya paksa (Dwang Middelen) dilakukan dengan prinsip Legalitas secara Absolut sebagaimana KUHAP menganut demikian. Maka selayaknya penindakan terhadap terduga pelaku tindak pidana Kejahatan dilakukan oleh aparat penegak hukum tanpa harus terjerumus kedalam Kejahatan baru dan dilakukan secara “due process of law” and “due to law”, karena faktanya (de facto) banyak tindakan Upaya Paksa (Dwang Middelen) yang dilakukan oleh Aparat penegak hukum yang relevan, misalnya Penangakapan dan penahanan dilakukan secara melawan hukum (Wederrechtelijkheid) dan atau bertentangan dengan hukum (in stirjd met het recht) serta tanpa alasan yang sah (zonder geldige reden), baik itu dengan unsur Kekerasan, Ancaman dan Paksaan, padahal secara hukum kita telah meninggalkan konsep “Inkuisitorial-Non Adverserial System” menuju konsep yang “Akusatorial-Adverserial System” sebagai perwujudan dari azas praduga tak bersalah (Persumption of Innocence), maka dengan demikian pemeriksaannya haruslah beorientasi pada “Human Dignity” and “Individual Protection” serta harus dipahami pula bahwa proses peradilan yang adil  (fair trail) bukan hanya menjadi Hak Mutlak korban akan tetapi juga merupakan Hak Mutlak bagi tersangka (verdachte) dan terdakwa (beklaagde).

Upaya Paksa (Dwang Middelen) sejatinya merupakan bentuk perampasan kemerdekaan (melawan hukum) layaknya rumusan Pasal 333 KUHP, hanya saja ketika dilakukan oleh aparat penegak hukum atas perintah Undang-undang maka sifat melawan hukumnya atau sifat dapat dipidananya menjadi hapus dan menjadi “Straffeloos”, yang dalam Teori Hukum Pidana disebut dengan istilah “Rechtvaardigingsgrond” atau “Fait Justificatief” sehingga pada saat yang sama berlaku azas hukum pidana “Afwezigheid van alle materiale wederechtelijkheid” dan juga azas “no liability without unlawfulness”.

Problemnya sekarang yaitu bagaimana jika upaya paksa (Dwang Middelen) baik itu Penangkapan, Penahanan ataupun Penyitaan dilakukan dengan cara Melawan Hukum (Wederrechtelijkheid) dan bertentangan dengan hukum yang berlaku (in stirjd met het recht) ? Bagaimana jika upaya paksa (dwang middelen) dilakukan dengan tindakan yang bertentangan dengan HAM (Hak Asasi Manusia) ? Bagaimana jika Upaya Paksa (Dwang Middelen) dilakukan dengan Penganiayaan bahkan sampai pada penghilangan nyawa ataupun tindakan-tindakan lain yang tidak dibenarkan secara hukum dan tanpa alasan yang sah (zonder geldige reden) ? Apakah Yurisdiksi Lembaga Pra-peradilan yang lahir atas terjemahan “Habeas Corpus” dan sebagai konkretisasi Perlindungan Hak Asasi Manusia sudah mampu menjangkau ranah persoalan tersebut?

Dalam fase Pra-Ajudikasi (Vooronderzoek) Negara dengan system hukum Anglo Saxon/Common Law mengenal Doktrin “ Fruit of the Poisoneous Tree”, Doktrin ini mengajarkan bahwa melakukan sesuatu yang Baik dengan cara yang Salah/Buruk merupakan sesuatu yang sangat Tidak dapat diterima. Di asalnya doktrin ini menjadi  “The Exclutionary Rule” sebagaimana dikemukakan oleh Gordon Van Kessel bahwa  “The Exclutionary Rule” dimaknai sebagai mata rantai awal pemeriksaan suatu perkara pidana. Berbeda hal tentunya dengan KUHAP yang hanya menyebutkan syarat Penangkapan dan Penahanan cukup dengan dua alat bukti tanpa mempertimbangkan “ Fruit of the Poisoneous Tree”-nya.

[artikel number=3 tag=”demo,penembakan”]

Untuk mengkonkritkan doktrin tersebut, secara fungsional Negara dengan system hukum common law/Anglo Saxon membentuk Hakim “Magistrate” atau “Justices of The Piece”. Kedudukan Hakim “Magistrate” dalam fase Pra- ajudikasi jauh lebih luas dan lebih sentral dibanding kedudukan hakim Pra-peradilan, “Magistrate” berfungsi sebagai Controler dan Supervisor atas tindakan penyidik yang demikian besar agar tidak terjadi Abuse of Power, disebabkan karena penyidik mungkin saja keliru secara “detournement de procedure”, sewenang-wenang (Detournement de pouvoir), melawan hukum (Wederrechtelijkheid), maupun tidak objektif pada saat menentukan “Probabble Cause” dan “Reasonablesness” secara Diskresioner (Subjektif) dalam menjalankan tugasnya. Artinya “Magistrate” dalam fase Pra-ajudikasi tidak hanya menilai pada aspek formal tetapi juga pada aspek materiil, tidak hanya menilai pada hasil tetapi juga proses dan yang paling urgent “Magistrate” akan menilai alat bukti sampai pada tingkatan yang “Beyond Reasonable Doubt”. Setiap tindakan yang dilakukan oleh penyidik tanpa memenuhi syarat penetapan “Magistrate” akan dipandang “Adventegous” dengan konsekuensi yang jauh lebih reaktif dan tegas secara pidana, jadi tidak hanya didasarkan semata-mata dan sekonyong-konyong pada subjektifitas diskresi penyidik layaknya KUHAP yang berlaku saat ini (ius constitutum)

Sebagai Negara dengan system hukum Civil Law/Eropa Continental, Belanda, Perancis dan Germany memiliki Hakim dengan kewenangan yang serupa dengan “Magistrate”. Belanda mengenal “Rechter Commissaris”, Perancis mengenal “Juge d’instructed/ an investigating magistrates” dan Germany “Unschungsrichter” yang kesemuanya lahir dengan konsep penyeimbang atas kekuasaan penyidik dan jaksa penuntut umum yang perannya sangat dominan pada fase Pra-ajudikasi sebagai “Master of the Procedure” dalam “Criminal Justice System”. Pada fase ini Hakim sebagai bagian dari “Criminal Justice System” ditempatkan sebagai titik simpul untuk ikut mengontrol serta menilai tindakan kepolisian dan kejaksaan.

Jangkauan “Rechter Commissaris”, Juge d’instruction” dan “Unschungsrichter” jauh lebih luas dan lebih sentral, tidak hanya bertindak pada fase Pra-Ajudikasi tetapi juga pada fase Ajudikasi maupun Purna Ajudikasi, hal ini tentu jauh berbeda jika dikomparasikan dengan Hakim Pra-Peradilan yang hanya berada pada Yurisdiksi Post Vacum atau Post Facto sehingga Hakim Pra-peradilan sama sekali tidak memiliki pengetahuan pada fase pra ajudikasi terkecuali sangat terbatas pada surat yang diterbitkan oleh Penyidik, itupun terhadap surat a quo, proses diterbitkanya dengan cara seperti apa dan bagaimana, entah dengan cara melawan hukum maupun dengan cara yang tidak dibenarkan secara hukum, maka Hakim Pra-peradilan sama sekali tidak akan tahu-menahu hal tersebut, karena tidak berada pada yurisdiksinya dan tidak pula terlibat langsung pada fase itu. Ketidaktahauan Hakim Pra-Peradilan akan hal tersebut bukanlah merupakan hal yang remeh-temeh, Ketidaktahuan Hakim akan hal tersebut sangatlah berbahaya dan akan berdampak pada ketidakadilan dan kerugian bagi pihak yang tidak bersalah pada proses tersebut sebagaimana azasnya “Ignorantia judicis est calanaitax innocentis”.

Dengan jangkauan yang sangat terbatas ini. Lembaga Pra-Peradilan tidaklah berhasil menempatkan posisinya sebagai lembaga yang menjadi Representasi atas perlindungan Hukum dan Hak Asasi Manusia, khususnya terhadap tersangka, terdakwa bahkan saksi yang sering mengalami proses penyimpangan baik dalam bentuk penyiksaan, intimidasi, kekerasan bahkan penghilangan nyawa pada “Initial Phases Investigation” bahkan juga terkadang dilakukan oleh aparat secara “de wil om te doen lets wat” dan “de wil om te misdoen” yangtentu hal demikian merupakan tindakan inkonstutisonal yang sangat bertentangan dengan ketentuan Pasal 28 D ayat 1 Undang-undang Dasar 1945 yang berbunyi bahwa “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakukan yang sama di hadapan hukum.” Juga bertentangan dengan ketentuan Pasal 34 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang berbunyi bahwa “setiap orang tidak boleh ditangkap, ditahan, disiksa, dikucilkan, diasingkan atau dibuang secara sewenang-wenang.” Serta bertentangan dengan Konvensi Internasional yaitu “Convention Against Turture and Other Cruel, Inhuman, Degrading Treatment and Punishment” yang telah diratifikasi oleh Indonesia pada tanggal 23 Oktober 1985.

Secara Historis konsep “Rechter Commissaris” bukan merupakan konsep baru. Konsep inipernah berlaku di Negara Indonesia semasa Negara ini masih bernama Hindia Belanda (Nederlandsch Indie) yang diatur dalam ”Reglement op de Strafvordering” pada Title ke dua tentang “ Van de Regter- Commissaris en van de Voorloopge Information”. Akan tetapi setelah berlakunya HIR “ Het Herziene Inlandsch Reglement” yang dimuat dalam Staatblad  No. 44 tahun 1941 dengan judul lengkapnya “Reglement op de uit oefening van de politie, de Burgelijke rechtspleging en de Strafvordering onder de Indlanders en de Vremde Oosterlingen op Java en Madura” maka konsep “Rechter Commissaris” inipun sekaligus hilang dalam Hukum Acara Pidana Indonesia. Konsep Hakim Komisaris “Rechter Commissaris” kembali menguat dan mencuat menjadi sebuah gagasan setelah “ International Convenant for Civil and Political Rights (ICCPR)” diratifikasi oleh Negara Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005, dimana dalam International Convenant for Civil and  Political Rights (ICCPR) mengisyaratkan bahwa Hakim Komisaris sangat diperlukan untuk mengurangi tindakan sewenang-wenang (Misbruik Van Gezag) yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dalam melakukan upaya paksa (dwang middlen).

Konsep “Rechter Commissaris”-punkembali muncul didalam Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (selanjutnya disebut RUU KUHAP) sebagai “ius constituendum” dengan Yurisdiksi yang jauh lebih luas dari Hakim Pra-Peradilan, “Rechter Commissaris” tidak hanya bertindak sebagai sebagai “Examinating Judge” tetapi juga sebagai “Investigating Judge”, Tidak hanya bertindak untuk mencari Kebenaran Formil (Formele Waarheid) akan tetapi juga mencari Kebenaran Materiil ( Materiele Waarheid ) sebagaimana fungsi dan tujuan Hukum acara pidana itu sendiri yaitu untuk mencari dan menemukan Kebenaran Materiil (Materiele Waarheid). Kebenaran Materiil (Materiele Waarheid) dimaksudkan untuk mewujudkan Keadilan yang Substansial (Substantial Justice), dan Keadilan Substansial (Substantial Justice)  akansangat bergantung pada Keadilan Prosedural (Procedural Justice), Prosedur yang tidak adil tentu tidak akan dapat melahirkan Keadilan Substansial sebab Hasil itu sangatlah dipengaruhi oleh Proses, dan seharusnya proses peradilan yang dilakukan  tidak menurut hukum (tidak Parsial pada Undang-undang), maka menjadi batal demi hukum sebagaimana Azasnya “ van rechtswege nietigheid ; null and void “.

Walaupun Konsep “Rechter Commissaris” pada RUU KUHAP masih belum Final, masih menuai Polemik, Diskursus dan masih bersifat Debatable, akan tetapi setidaknya kedepan ide dan gagasan ini diharapkan mampu menutupi kelemahan Pra-Peradilan yang sesungguhnya tidak berhasil menerjemahkan konsep “Habeas Corpus” sebagai ide perlindungan Hak Asasi Manusia ke dalam KUHAP yang berlaku saat ini (ius constitutum). But never ending process untuk menata,membangun,membina dan menghasilkan Hukum Nasioanal yang berkeadilan.

Pada akhirnya dilain sisi, Mendikotomikansystem hukum “Common Law System” dengan “Civil Law System” sebagai suatu identitas dengan karakteristik Criminal Justice System bahkan Hukum Substantifnya dewasa ini sesungguhnya sudah tidak lagi Relevan, sebab ada kecenderungan keduanya saling Berosmose dan Berkonvergensi.

PENULIS : ALVAN KHARIS ANEBOA,S.H.,M.H.,CLAPenulis Adalah  Pengacara, Dosen & Ketua Pusat Studi Anti Korupsi (Pusdak)

Baca Juga

One Comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button