Dampak Sosial ”Perilaku Pemilih” Terhadap Pilkada Langsung
Oleh : Ismail More, SE
Salah satu contoh azas demokrasi di Indonesia, yaitu rakyat mempunyai hak untuk memilih para wakilnya yang terhimpun dalam partai politik untuk duduk di parlemen, memilih pemimpin yang bertanggung jawab terhadap kelangsungan hidup suatu daerah dan atau sebuah negara. Demikian halnya dengan hak untuk terlibat aktif dalam kontestan politik itu sendiri (hak pilih).
Hak memilih dan dipilih ini merupakan salah satu indikator pembeda antara sistem demokratis dan sistem lain yang di anggap non-demokratis.
Menurut firmanzah, Marketing politik Yayasan Obor Indonesia, pengertian perilaku pemilih adalah pemilih diartikan sebagai semua pihak yang menjadi tujuan utama para kontestan untuk mereka pengaruhi dan yakinkan agar mendukung dan kemudian memberikan hak suaranya kepada kontestan yang bersangkutan.
Pemberian suara dalam pilkada secara langsung diwujudkan dengan memberikan suara pada pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang didukungnya atau ditujukan dengan perilaku masyarakat dalam memilih pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah. Keputusan untuk memberikan dukungan dan suara tidak akan terjadi apabila tidak terdapat loyalitas pemilih yang cukup tinggi terhadap calon pemimpin Jagoan nya. Begitu juga sebaliknya, pemilih tidak akan memberikan suaranya kalau mereka menganggap bahwa calon pemimpin tidak loyal serta tidak konsisten dengan janji dan harapan yang mereka sampaikan pada saat kampanye.
Perilaku pemilih juga erat kaitannya dengan ideologi antara pemilih dan kontestan yang akan dipilih. Masing-masing dari mereka membawa ideologi selama berinteraksi dalam periode kampanye, akan muncul proses kristalisasi dan pengelompokan sesama ideologi. Di masyarakat akan tercipta kelompok-kelompok, ada kawan dan ada lawan. Hal tersebut merupakan dampak negatif bagi kelangsungan demokrasi di negeri ini.
Berkaca pada pilkada di Konawe Selatan November 2015, Badan Pengawas Pemilu menerima laporan atas sejumlah pelanggaran yang dilakukan oleh sejumlah calon di antaranya pelanggaran praktek politik uang yang mana pelanggaran praktek politik uang ini merupakan cerminan sinisme pemilih yang tidak mampu berbuat apapun terhadap integritas kandidat sehingga harus rela menjual suara mereka.
Para kontestan dalam berkampanye banyak memberikan janji-janji politik tetapi tak banyak konstituen yang memahami bahkan mempercayai dengan janji-janji politik tersebut. Sinisme pemilih ini akibat kurang baiknya proses seleksi kepemimpinan dalam tubuh partai politik yang tidak diharapkan namun proses ini tidak dapat ditolak masyarakat dalam upaya mewujudkan Pilkada yang bersih dan berkualitas.
Lain halnya pada Pilkada serentak Juni 2018 yang baru dilaksanakan, terkhusus pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara ada kecenderungan terhadap perilaku masyarakat dalam memilih calon pemimpinnya dengan melihat etnisnya. Hal ini harus dicermati dan diwaspadai dalam Pilkada agar isu-isu SARA tidak terjadi dan muncul dalam pesta demokrasi. Isu-isu SARA yang dikapitalisasi dalam Pilkada sebagai bahan propaganda dan agitasi akan merusak nilai-nilai demokrasi. Maka pemerintah, tokoh masyarakat, tokoh agama dan elit politik harus bersatu padu untuk mengajak masyarakat agar cerdas dan rasional dalam berdemokrasi. Isu-isu dalam pemilu Pilkada harus mengedepankan program kerja yang di peruntukkan bagi seluruh lapisan masyarakat.
Bila demikian, maka pemilih akan lebih bebas menyalurkan suaranya tanpa terikat oleh identitas SARA karena pada dasarnya penyelengaraan pemilu telah disandarkan pada prinsip-prinsip pelaksanaan pemilu sebaimana diatur dalam pasal 3 Undang-undang nomor 7 tahun 2017 dengan tegas memberikan mandat bahwa penyelengaraan pemilu harus memenuhi prinsip kemandirian, kejujuran, keadilan, kepastian hukum, tertib, terbuka, proporsional, akuntabel, serta efektif dan efisien.
Pada akhirnya pemilu yang menjadi sarana perwujudan partisipasi politik masyarakat dan partai politik dapat diwujudkan manakala hasil pemilu dapat diterima oleh semua pihak. ***