Analisis Teori Kuda Mati Dalam Permasalahan Pemagaran Pesisir Laut Di PIK Utara Jakarta

Analisis Teori Kuda Mati Dalam Permasalahan
Pemagaran Pesisir Laut Di PIK Utara Jakarta
Oleh: DRLAK| Amijaya Kamaluddin
Tetiba kita di perhadapkan dengan berita besar di awal tahun 2025 dimana berita tersebut sesungguhnya sudah terlalu sering di suarakan oleh seorang figure yang popular dengan menyebutkan dirinya “Manusia Merdeka”. Ya pemagaran pesisir laut di daerah Pantai Indah Kapuk (PIK) di utara Jakarta telah menjadi isu yang pelik dan kompleks. Permasalahan ini melibatkan berbagai pihak, mulai dari pemerintah, penegak hukum, pengusaha, hingga masyarakat, terutama nelayan yang bergantung pada laut untuk mencari nafkah. Dalam konteks ini, teori “Kuda Mati” dapat digunakan sebagai metafora untuk menggambarkan bagaimana semua pihak terjebak dalam penyangkalan dan ketidakmampuan untuk menghadapi kenyataan yang ada. Masalah ini bukan hanya tentang pemagaran fisik, tetapi juga tentang dampak sosial, ekonomi, dan lingkungan yang lebih luas.
Sekilas saya ingin sampaikan bahwa terkait teori kuda mati yang kebetulan sohib saya (HMN) kemarin mempostingnya, masih terkait PIK2 di salah satu GWA, memaparkan secara singkat “Teori Kuda Mati” (dead horse theory). Teori kuda mati adalah sebuah metafora satire yang menggambarkan bagaimana beberapa orang, lembaga, atau bahkan suatu bangsa menghadapi masalah yang sudah jelas, tetapi mereka justru bersikap seolah-olah masalah itu tidak ada atau tidak dipahami. Alih-alih mengakui kenyataan, mereka justru mengabaikannya dan berusaha mencari pembenaran.
Inti dari teori ini sederhana: “Jika kamu sadar bahwa kamu sedang menunggangi kuda yang sudah mati, solusi terbaik dan paling sederhana adalah turun dari kuda itu dan meninggalkannya. Namun, dalam kenyataan, banyak orang, organisasi, atau bangsa yang justru mengambil langkah – langkah lain yang tidak masuk akal”, seperti:
- Membeli pelana baru untuk kuda mati tersebut.
- Memberinya makan dengan harapan ia akan kembali hidup.
- Mengganti penunggangnya dengan orang lain.
- Memecat orang yang bertanggung jawab merawat kuda dan menggantinya dengan orang baru.
- Mengadakan pertemuan untuk membahas strategi meningkatkan kecepatan kuda.
- Membentuk tim dan komite khusus untuk meneliti kuda mati tersebut dari berbagai aspek. Mereka bekerja berbulan-bulan, menyusun laporan, dan akhirnya mengusulkan solusi—padahal sudah jelas sejak awal bahwa kudanya mati.
- Setelah sekian lama, tim akhirnya mencapai kesimpulan yang sudah diketahui sejak awal: “Kuda ini memang mati.”
- Namun, karena sudah banyak tenaga, waktu, dan sumber daya yang terbuang, mereka tetap enggan mengakui kenyataan. Untuk mencari pembenaran, mereka mulai membandingkan kuda mereka dengan kuda mati lainnya dan berargumen bahwa kuda ini tidak benar-benar mati, hanya kurang latihan dan perlu pelatihan khusus.
- Lalu, mereka mengajukan anggaran tambahan untuk “melatih” kuda mati tersebut.
- Pada akhirnya, mereka mengubah definisi kata “mati” agar dapat meyakinkan diri sendiri bahwa kuda itu masih hidup.
Pelajaran dari Teori Ini adalah ia menggambarkan bagaimana banyak orang lebih memilih hidup dalam penyangkalan, membuang waktu dan tenaga dalam usaha yang sia-sia, daripada menerima kenyataan dan segera mencari solusi yang tepat sejak awal.
Dalam konteks teori kuda mati ini menggambarkan permasalahan yang jelas tentang bagaimana penyangkalan dan ketidakmampuan untuk menghadapi kenyataan dapat menghambat solusi yang efektif terhadap setiap permasalah. Dalam kasus pemagaran pesisir laut di PIK, jelas bahwa semua pihak terjebak dalam pola pikir yang tidak produktif. Alih-alih mengakui dampak negatif dari pemagaran, mereka lebih memilih untuk mencari pembenaran dan solusi yang tidak relevan.
Penting bagi pemerintah dan pengusaha untuk menyadari bahwa keberlanjutan sosial dan ekonomi tidak dapat dicapai dengan mengabaikan kebutuhan masyarakat. Hanya dengan menghadapi kenyataan dan berkomitmen untuk mencari solusi yang adil dan inklusif, kita dapat menciptakan masa depan yang lebih baik bagi semua pihak yang terlibat.
Pemagaran Pesisir Laut Adalah Permasalahan Yang Jelas
Pemagaran pesisir laut di PIK bertujuan untuk pengembangan kawasan yang lebih modern dan komersial. Namun, tindakan ini juga berdampak besar terhadap nelayan lokal yang kehilangan akses ke sumber daya laut mereka. Nelayan, yang selama ini bergantung pada hasil laut untuk mencukupi kebutuhan hidup, kini terpaksa menghadapi kenyataan pahit: mereka tidak bisa melaut lagi. Di sinilah masalahnya menjadi jelas. Namun, meskipun masalah ini sudah terlihat, respons dari pemerintah dan pengusaha sering kali tidak mencerminkan kesadaran akan dampak yang ditimbulkan.
Respon Yang Tidak Masuk Akal
Dalam konteks teori kuda mati, kita dapat melihat berbagai langkah yang diambil oleh pihak-pihak terkait yang tampaknya tidak masuk akal, alih-alih mencari solusi yang tepat. Berikut adalah beberapa contoh yang mencerminkan hal tersebut:
- Membeli Pelana Baru untuk Kuda Mati: Alih-alih mencari cara untuk mengatasi masalah pemagaran yang merugikan nelayan, pemerintah dan pengusaha sering kali lebih fokus pada pengembangan infrastruktur yang lebih canggih, tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap masyarakat lokal. Mereka berinvestasi dalam proyek-proyek besar, berharap bahwa pembangunan tersebut akan membawa manfaat, meskipun kenyataannya justru sebaliknya.
- Memberi Makan Kuda Mati: Dalam konteks ini, pemerintah dan pengusaha mencoba memberikan solusi sementara, seperti pelatihan keterampilan baru bagi nelayan, tanpa menyelesaikan masalah mendasar yang mereka hadapi. Meskipun pelatihan tersebut penting, hal itu tidak mengembalikan akses mereka ke laut yang telah hilang.
- Mengganti Penunggang: Sering kali, ketika terjadi konflik antara nelayan dan pengembang, pemerintah berusaha mengganti pemimpin atau pengurus yang dianggap bertanggung jawab atas masalah tersebut. Namun, ini tidak menyelesaikan masalah struktural yang ada. Pergantian pemimpin tidak akan mengubah kenyataan bahwa pemagaran telah menghilangkan sumber mata pencaharian nelayan.
- Mengadakan Pertemuan untuk Meningkatkan Kecepatan Kuda: Pemerintah dan pengusaha sering kali mengadakan pertemuan dan forum untuk membahas bagaimana cara meningkatkan perekonomian daerah tanpa melibatkan nelayan dalam keputusan tersebut. Mereka merumuskan strategi yang tidak mempertimbangkan kebutuhan dan hak nelayan, seolah-olah mereka tidak ada dalam perencanaan tersebut.
- Tim Peneliti yang Menghabiskan Waktu: Seperti dalam teori kuda mati, kita dapat melihat pembentukan tim khusus untuk meneliti dampak pemagaran. Mereka menghabiskan waktu berbulan-bulan menyusun laporan dan rekomendasi, padahal masalahnya sudah jelas: pemagaran tersebut merugikan nelayan. Namun, alih-alih mencari solusi konkret, mereka hanya menghasilkan dokumen yang tidak diindahkan.
- Perbandingan dengan Kuda Mati Lainnya: Ketika akhirnya tim peneliti mencapai kesimpulan bahwa pemagaran telah merugikan nelayan, mereka mulai membandingkan situasi ini dengan daerah lain yang juga mengalami masalah serupa. Mereka berusaha meyakinkan diri bahwa situasi di PIK tidak seburuk di tempat lain, sehingga mereka merasa tidak perlu mengambil tindakan nyata.
- Anggaran Tambahan untuk “Melatih” Kuda Mati: Pemerintah mengajukan anggaran tambahan untuk proyek-proyek yang tidak langsung menyelesaikan masalah. Misalnya, mereka mungkin mengusulkan pembangunan fasilitas baru untuk nelayan, tetapi tanpa memberikan akses kembali ke laut, semua itu menjadi sia-sia.
- Mengubah Definisi “Mati”: Dalam upaya untuk membenarkan tindakan mereka, pemerintah dan pengusaha mungkin mencoba mengubah definisi dari apa yang dianggap sebagai “dampak negatif” dari pemagaran. Mereka berusaha meyakinkan masyarakat bahwa pemagaran sebenarnya membawa manfaat jangka panjang, meskipun banyak nelayan yang kehilangan mata pencaharian mereka.
Dampak Sosial dan Ekonomi
Dampak dari pemagaran pesisir laut di PIK bukan hanya dirasakan oleh nelayan, tetapi juga oleh masyarakat sekitar. Kehilangan akses ke laut mengakibatkan penurunan pendapatan, meningkatnya kemiskinan, dan hilangnya budaya lokal yang telah ada selama bertahun-tahun. Masyarakat yang bergantung pada nelayan untuk kebutuhan sehari-hari juga merasakan dampak negatif. Ketidakpuasan dan ketidakadilan ini dapat memicu ketegangan sosial dan konflik yang lebih besar.
Solusi yang Harus Ditempuh
Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan pendekatan yang lebih realistis dan inklusif. Berikut adalah beberapa langkah yang bisa diambil:
- Dialog Terbuka: Pemerintah harus mengadakan dialog terbuka dengan nelayan dan masyarakat lokal untuk mendengarkan keluhan dan kebutuhan mereka. Ini adalah langkah awal yang penting untuk memahami dampak dari pemagaran.
- Penghentian Pemagaran: Sebelum melanjutkan proyek-proyek pembangunan, pemerintah perlu mempertimbangkan untuk menghentikan pemagaran hingga solusi yang adil dapat ditemukan. Ini akan memberikan ruang bagi nelayan untuk kembali melaut.
- Restorasi Akses ke Laut: Mencari cara untuk memulihkan akses nelayan ke laut, misalnya dengan merancang ulang proyek pemagaran yang tidak menghalangi jalur nelayan.
- Pemberdayaan Nelayan: Memberikan pelatihan dan dukungan kepada nelayan untuk diversifikasi sumber pendapatan mereka, tanpa mengabaikan hak mereka untuk melaut.
- Keterlibatan Masyarakat dalam Perencanaan: Melibatkan nelayan dan masyarakat lokal dalam proses perencanaan proyek pembangunan agar mereka memiliki suara dalam keputusan yang mempengaruhi hidup mereka.LAK
Terima kasih artikelnya untuk menjelaskan teori kuda mati dengan situasi empirik yang sangat relevan