Muna Barat

Diisukan Terima Setoran Uang Pengelolaan Jonder, Ini Tanggapan Pemkab Mubar

Dengarkan

MUNA BARAT, DETIKSULTRA.COM – Pemerintah Kabupaten Muna Barat diisukan telah menerima setoran uang pemanfaatan alat pertanian yakni alat berat traktor (jonder) dari kelompok tani yang ada di desa Lalemba, Kecamatan Lawa.

Hal tersebut mengundang reaksi publik bahwa Pemkab Mubar telah melakukan pungutan liar (pungli).

Kelompok Tani Reformasi, Desa Lalemba, Kecamatan Lawa selaku pengelola jonder di Kecamatan Lawa menepis isu terkait dugaan penyetoran uang kepada pemerintah daerah.

Operator jonder, Amu Kamal mengaku, selama mengelola jonder, kelompok Tani Reformasi tidak pernah diminta untuk menyetor uang hasil pengelolaan jonder kepada Dinas Pertanian Mubar.

“Soal informasi setoran uang di dinas itu tidak benar. Kita hanya diminta laporan terkait kinerja kelompok tani dengan mengisi blanko setiap tiga bulan,” katanya pada Sabtu (3/6/2023)

Amu Kamal juga heran dengan informasi terkait setoran uang kepada dinas pertanian. Harusnya kata dia, sebelum menyampaikan informasi ke publik, oknum tersebut melakukan klarifikasi kepada pengelola sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan jonder di Kecamatan Lawa.

“Saya tidak tahu mereka ambil di mana informasi itu. Harusnya mereka tanya dulu kita sebagai pengelola. Apakah benar menyetor uang di dinas atau tidak,” katanya.

Amu Kamal mengaku bahwa alat tersebut rusak dan alatnya masih sementara dipesan. Ia juga mengaku selama ini tidak diperbaiki karena terkendala biaya. Biaya perawatan tidak mampu menutupi biaya kerusakan.

“Biaya kerusakan sekitar Rp4-5 juta lebih,” singkatnya.

Terkait pengelolaan jonder tersebut, Kepala Dinas Pertanian Mubar, Nestor Jono menyampaikan, jonder tersebut merupakan bantuan hibah dari pemerintah pusat kepada kelompok tani, melalui Dinas Pertanian Mubar.

Dinas pertanian tetap melakukan pembinaan kepada kelompok tani dan melaporkan kegiatan kelompok tani kepada pemerintah pusat sesuai standar operasional (SOP) yang berlaku.

“Jadi kita hanya mengawasi kerja para kelompok tani dalam mengelola. SOP yang berlaku dalam pengelolaan jonder tersebut yakni biaya sewa jonder per hektare sebesar Rp1,5 juta. Jumlah tersebut diperuntukkan untuk biaya bahan bakar sebesar 30 persen, biaya pemeliharaan 30 persen dan biaya jasa operator 40 persen,” katanya.

Selain itu, sebagai bentuk pengawasan, dinas pertanian juga memeriksa pembukuan kelompok tani serta memberikan blanko untuk diisi.

Mereka mengisi tentang lahan siapa yang digarap, atas nama siapa dan berapa luasannya, termasuk keluhan dan kendala di lapangan serta bagaimana kondisi alat tersebut.

“Blanko itu yang kami minta untuk disetor kepada kami, bukan setoran uang. Karena kami juga punya tanggung jawab di pusat. Setiap tahun kita diminta untuk melapor kepada pemerintah pusat. Kita laporkan nomor mesin, nomor rangka dan luas lahan yang diharap sebagai jaminan dan pertanggungjawaban, apakah Mubar masih bisa dibantu atau tidak,” katanya.

Dari hasil pengawasan tersebut, kata Jono, pihaknya juga memeriksa pembukuan kelompok tani setiap tahun. Banyak juga kelompok tani memiliki pembukuan di mana biaya perawatan tidak mencukupi biaya kerusakan mesin.

“Jadi gimana caranya mereka mau menyetor kepada pemda, sementara biaya perbaikan saja tidak mampu ditutupi,” katanya.

Terkait rusaknya jonder di Lalemba, kata Jono, pihaknya baru mengetahui bahwa jonder tersebut rusak parah. Olehnya itu, pihaknya langsung turun mengecek di lapangan untuk memastikan kondisi alat tersebut.

“Kesimpulannya kemarin, dinas pertanian dan Sekdes Lalemba sepakat untuk membantu kelompok tani untuk menyelamatkan alat sehingga bisa dimanfaatkan oleh masyarakat,” tutupnya.

Isu terkait adanya setoran uang dari pengelolaan jonder kepada Pemda Mubar berawal dari diskusi di salah satu Grup WhatsApp. Awalnya masyarakat menyoroti kondisi jonder di Desa Lalemba yang tidak bisa digunakan karena rusak.

Masyarakat meminta agar jonder tersebut segera diperbaiki sehingga bisa dimanfaatkan kembali oleh masyarakat karena sudah lebih satu tahun tidak kunjung diperbaiki.

Karena kondisinya demikian maka isunya semakin melebar sampai pada persoalan hasil pengelolaan jonder. Beberapa mulai mempertanyakan apakah jonder tersebut masuk sebagai aset pemda atau bukan. Kemudian membangun asumsi bahwa ada setoran uang kepada pemerintah daerah. (bds)

Reporter: La Ode Darlan
Editor: Biyan

Baca Juga

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button