BI Sultra Dorong Implementasi Ekonomi Hijau untuk Ekonomi yang Berkelanjutan
KENDARI, DETIKSULTRA.COM – Fenomena cuaca ekstrem akibat perubahan iklim mulai menunjukkan dampak nyata yang merusak di berbagai negara di dunia.
Di Indonesia, beberapa kasus cuaca ekstrem serius yang telah terjadi adalah polusi udara dan air yang terjadi terutama di kota-kota besar, penurunan kualitas dan
kuantitas hutan alam, serta kenaikan permukaan air laut.
Merespons hal tersebut, Bank Indonesia (BI) Sulawesi Tenggara (Sultra) melakukan pengembangan ekonomi hijau, yang merupakan sistem perekonomian yang memiliki fokus terhadap keberlanjutan lingkungan.
Kepala Kantor Perwakilan Wilayah (KPw) BI Sultra Doni Saptadijaya mengatakan, isu ekonomi hijau telah banyak dibahas dan menjadi salah satu isu prioritas Indonesia pada Presidensi G20.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah mengarahkan industri melakukan transisi ke energi hijau agar kelestarian hutan diperhatikan lebih seksama, dan mendorong sektor -sektor ekonomi yang berkelanjutan dengan skema insentif dan disinsentif untuk berinvestasi dalam proyek ekonomi hijau.
“Isu ekonomi hijau sangat relevan untuk dibahas di Sultra,” kata dia, Kamis (25/8/2022).
Menurutnya, sektor primer yang berbasis Sumber Daya Alam (SDA) masih menjadi kontributor utama ekonomi di Sultra, mulai dari sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan yang rerata berkontribusi sebesar 23,82 persen pada ekonomi Sultra.
Kemudian diikuti oleh lapangan
usaha pertambangan dan penggalian dengan pangsa sebesar 18,12 persen.
Keberlangsungan lapangan usaha pertanian dan pertambangan tersebut perlu dijaga.
Salah satunya melalui implementasi prinsip ekonomi hijau. Salah satu komoditas unggulan nasional yang ada di Sultra adalah nikel.
“Berdasarkan data yang kami himpun dari Kementerian ESDM, Sultra diperkirakan memiliki cadangan nikel terbesar di Indonesia dengan total cadangan sebesar 28,87 juta ton nikel atau setara dengan 1,87 miliar ton bijih nikel,” sebut dia.
Dari sisi hulu, industri pertambangan Sultra menunjukkan kontribusi yang cukup konsisten sepanjang tahun dengan jumlah pelaku usaha tambang yang terus meningkat dan menjadi yang terbanyak di
Indonesia yakni sekitar 157 pelaku usaha.
Sementara dari sisi hilir sektor industri pengolahan nikel di Sultra, saat ini terlihat cukup ekspansif seiring berlangsungnya investasi di sektor tersebut.
Meskipun memiliki potensi yang besar, sektor tambang dan industri pengolahan nikel dinilai kurang berkelanjutan, mengingat tingginya emisi dalam kegiatan
pertambangan dan pengolahan nikel, serta jumlah eksploitasi bahan mentah
yang belum sepenuhnya proporsional dengan mempertimbangkan
cadangannya.
“Atas dasar itu, kita perlu mendorong sektor ekonomi hijau agar tercipta pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan,” jelas Doni.
Selain itu, sektor pertanian juga perlu didorong untuk dapat lebih
mengimplementasikan praktik pertanian yang berkelanjutan. Sehingga dapat
terus menjadi sektor penggerak di Sultra.
Upaya tersebut perlu didukung dengan kebijakan yang mendukung keberlanjutan lingkungan. Pelestarian hutan dan penggunaan energi hijau perlu terus didorong terutama bagi industri yang melakukan eksplorasi SDA agar selalu memperhatikan aspek kelestarian lingkungan.
Demi tercapainya pembangunan hijau, tambah Doni kini pihaknya sedang
mengembangkan beberapa instrument finansial untuk mendorong green
financing antara lain adalah SBK Hijau, Green Repo dan Green Derivative.
Pengembangan instrument finansial itu akan terfokus pada asset pada
kategori Environmental, Social, Government (ESG). Lebih jauh dia bilang, dari sisi moneter, BI kini dalam tahap riset pengembangan obligasi hijau
sebagai underlying pada proses moneter berupa green bond dan SukBI Inklusif
dan tidak menutup kemungkinan pengembangan instrumen moneter lainnya. (bds)
Reporter: Sunarto
Editor: J. Saki