KENDARI, DETIKSULTRA.COM – Bidang Pembangunan Energi, Migas dan Minerba PB HMI, Muhamad Ikram Palesa menyoroti kebijakan Menteri ESDM RI, Arifin Tasrif.
Dalam kebijakannya, Menteri Arifin Tasrif mencabut Keputusan Menteri (Kepmen) ESDM Nomor 261 K/30/MEM/2019.
Di dalamnya mengatur sanksi terhadap produksi batu bara yang tak memenuhi persentase minimal penjualan batu bara untuk kepentingan dalam negeri alias Domestic Market Obligation (DMO) sebesar 25 persen dari rencana jumlah produksi batu bara yang disetujui oleh menteri atau gubernur sesuai dengan kewenangannya.
Tentunya para pemegang izin usaha pertambangan (IUP) dan PKP2B tidak memenuhi persentase minimal penjualan batu bara akan dikenakan kewajiban pembayaran kompensasi terhadap sejumlah kekurangan penjualan batu bara dalam rangka pemenuhan kebutuhan dalam negeri.
Menurutnya, pemerintah terlalu gegabah dalam mengeluarkan keputusan Kepmen ESDM. Sementara secara volume, realisasi DMO pada 2020 hanya menyentuh angka 132 juta ton, lebih rendah dari rencana yang ditetapkan sebesar 155 juta ton.
“Boleh jadi saat ini produsen batu bara tengah merayakan jaminan masa depan ekspor yang gemilang di tahun ini. Naiknya harga jual diyakini bakal membangkitkan gairah para pengusaha di sektor ini,” kata dia kepada Detiksultra.com, Kamis (29/7/2021).
Bayangkan saja, selain harga jual batu bara yang melonjak naik, para produsen ini juga telah dibebaskan dari sanksi produksi batu bara yang tak memenuhi DMO.
Dengan sikap seperti in, negara seolah-olah lemah di hadapan para pengusaha tambang.
Ia pun menduga pihak produsen batu bara berupaya monopoli arus produksi agar nampak lesu tidak mencapai target DMO akibat pandemi Covid-19 untuk mengejar kebijakan relaksasi dan penghapusan sanksi produksi batu bara yang tidak memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Sehingga ketika perusahaan tersebut lebih memilih ekspor ketimbang memenuhi kebutuhan dalam negeri, tidak ada lagi sanksi yang menanti.
“Mungkin skenarionya begini, produksi dibuat turun karena pandemi, kemudian minta pemerintah hapus sanksi ketika target DMO tidak terpenuhi, kemudian dikabulkan dengan komitmen harus penuhi pasokan dalam negeri. Tapi ketika perusahaan lebih memilih ekspor karena harga jual tinggi, yang mau penuhi DMO siapa, mau ambil uang dari mana ? Sekali lagi ini adalah bisnis. Jika ada keuntungan besar tanpa sanksi, maka dapat dipastikan itu dibangun tidak gratis,” jelas Ikram.
Sementara itu, lelaki kelahiran Konawe ini menilai bahwa dengan lonjakan ekspor batu bara akibat harga jual luar negeri tinggi, dapat memicu lajunya aktivitas ilegal para penjarah batu bara.
Dengan demikian penerimaan pajak negera akan terbegal. Selain itu kondisi ini juga bisa berdampak pada minimnya ketertarikan perusahaan batu bara untuk memenuhi kebutuhan negeri misal PLN dan industri lainnya.
Karena ekspor batu bara nilainya lebih menjanjikan. Sehingga pihaknya menganjurkan pemerintah untuk tetap mengatur sanksi terkait ketidakpatuhan produsen dalam memenuhi kebutuhan batu bara dalam negeri serta membatasi pemberian kuota ekspor untuk perusahaan.
Sebab tambah dia, demi menjamin pemenuhan kebutuhan batubara dalam negeri PB HMI merekomendasikan pemerintah untuk segera mengambil langkah strategis.
Pertama, pemerintah harus berani membatasi kuota ekspor perusahaan batu bara demi menjamin pasokan dalam negeri.
Kedua, pemerintah harus menjamin penerapan HBA menyesuaikan siklus harga jual luar negeri, memaksimalkan pengawasan atas penerapan HBA untuk menghindari monopoli dan kekhawatiran para pengusaha batu bara soal harga jual dalam negeri.
“Terakhir, pemerintah harus segera membentuk satgas pemberantasan tambang ilegal demi menjaga cadangan energi, mineral dan batu bara Indonesia,” katanya. (bds*)
Reporter: Sunarto
Editor: J. Saki