Regional

Sehat Jasmani, Seperti Candu Mengabaikan Kesehatan Psikis Anak

Dengarkan

Menggapai hak anak untuk sehat, pertama-tama harus ada perubahan prilaku dari cara berpikir orang dewasa”.

Doktrinisasi budaya dan candu agama yang selalu menempatkan peran orang tua (dewasa) sebagai posisi lebih mulia, membuat luka batin dan psikis anak-anak lama terabaikan. Berdasarkan pengalaman, tak ada manusia yang hari ini langsung melukai dirinya ketika mengalami konflik atau suatu masalah, tanpa sebab. Tentu terdapat endapan emosi dan perkara yang tersimpan secara traumatis, hingga suatu saat meledak dan melahirkan tindakan yang emosional bahkan destruktif.

Doktrin budaya dari generasi lampau yang terbiasa melumrahkan pola asuh pada anak dengan cara kekerasan. “cengeng, kalau zaman mama dulu masih parah”, “dasar pelit!” dan semua kata-kalimat bijak versi orang dewasa seakan-akan berfungsi sebagai pabrik moral untuk anak kecil yang masih belum terlalu paham akan arti kata moral.

Saat itu pula, ketika orang tua lebih fokus pada kesehatan fisik dan jasmani karena takut akan kematian dan harapan awet muda, anak-anak justru menderita penyakit batin dari prilaku dan cara pikir orang tua.

Kesehatan fisik dan jasmani menjadi candu bagi kalangan orang dewasa untuk terus diajarkan kepada anak-anaknya, tanpa mempertimbangkan kondisi kesehatan psikis dan batin bagi anak yang bersangkutan.

Meski sudah banyak riset yang membuktikan bahwa kesehatan psikis/batin, selain memiliki problem tersendiri, terkadang juga dapat mempengaruhi kesehatan jasmani manusia saat ini.

Salah satunya riset yang dilakukan Edward E. Smith maupun C. Nathan Dewall mengenai gangguan psikosimatis dimana pikiran mempengaruhi tubuh hingga penyakit bermunculan.

Pada tahap pemikiran Lacanian, terdapat psiko-analisis stadium cermin atau fase imajiner, yang mana pada bayi 6 bulan, belum dapat mengidentifikasi tentang diri dengan lingkungannya. Pengertian akan dirinya didapatkan melului citra (imago), yakni sebuah metafora dari refleksi diri dari tatapan mata sang ibu, atau cerminan dari permukaan air.

Dalam fase imajiner itu sendiri, terjadi keterasingan pertama manusia saat lahir, ketika identitas diri dikonstitusikan oleh sesuatu yang eksternal dan asing terhadap diri sendiri. Itulah mengapa anak kecik disebut “rill” (nyata) dibanding orang dewasa. Pengalamanlah yang akan membentuk karakter, kesehatan batin seorang anak dalam menjalani dunianya.

Lantas dunia apa yang paling berpengaruh pada proses perjalanan anak kecil untuk dapat mengenal dunianya secara layak? Lingkungan keluarganya yang utama.

Saya menemui seorang Psikolog anak di Kota Kendari, bernama Nurhaeni Haeba yang menjelaskan bahwa proses tumbuh kembang anak sangatlah dipengaruhi oleh kondisi keluarganya, khususnya pada usia golden age (0 – 17 tahun).

“Seorang anak ketika lahir menerima pendidikan pembentukan karakter yang paling pertama dari keluarganya. Sejak itu anak akan berkembang membawa faktor genetik terutama terkait dengan perilaku mengenai lingkungannya dengan memperhatikan kondisi keluarganya,” paparnya, Kamis (20/2/2020).

Waktu menunjukkan pukul 10.15 Wita, saat itu saya berada ditengah kerumunan anak-anak SD yang sedang bermain celle dihalaman sekolah. Celle adalah permainan tradisional asal daerah Sultra yang konon berusia setengah abad yang silam. Kadang orang Kendari menyebutnya ‘selle’. Permainan ini butuh kecepatan dan perhitungan matang dari siswa. Para pemainnya harus mempertahankan sekeliling lingkaran permainan agar tidak dimasuki lawan yang menyerang.

Sejenak saya ikut larut dalam keseruan permainan ini, teringat masa SD dulu, saya juga termasuk bintang dalam bermain celle.

Saya berada di SD 1 Kendari, untuk menemui seorang guru bernama bu guru Maryam yang mengajar di sekolah ini sejak 20 tahun silam. Dari suasana riuh-riangnya anak-anak bermain celle saat jam istrahat sekolah, saya lalu terjun dalam pembicaraan santai dengan ibu guru Maryam tentang kekuatan dan kesehatan anak ketika bermain celle.

“Anak-anak harus kuat secara mental dan fisik kalau mau main celle,” ungkapnya sedikit pamer,

“Bayangkan, ia harus menjaga area lingkaran dari lawan dibutuhkan kekuatan fisik dan mental yang tangguh,” ucapnya sambil tersenyum.

Namun tidak semua siswa yang bermain jenis permainan ini. Sebut saja namanya Dini, duduk dibangku kelas IV SD 1 Kendari. Lahir dari keluarga dengan latar belakang umumnya di Kota kendari. Ayahnya bekerja sebagai ASN dan ibu sebagai karyawan perusahaan swasta dengan pendapatan yang cukup.

Secara umum, berbagai kebutuhan sekolah Dini terpenuhi, uang pembayaran sekolah yang tidak pernah ‘nunggak, uang jajan cukup, bekal sarapan setiap hari, pakaian sekolah yang tidak nampak ‘dekil terlebih lagi sebagai anak perempuan.

Namun dalam kondisi keluarga yang idel seperti itupun, Dini harus menerima kenyataan bahwa kedua-orang tuanya sudah bercerai, sejak saat dirinya masih belum bisa memahami situasi tersebut.

Ayah dan Ibu sudah tidak serumah lagi sejak Dini kelas III lalu, kini setiap minggunya Dini harus berpindah-pindah ‘nginap. Hari ini tidur di rumah ibu, esok bisa jadi tidur di rumah ayah.

Berdasarkan keterangan salah seorang gurunya, Dini yang awalnya menjadi anak yang periang kini sudah menjadi penyendiri dan pendiam. Terkadang saat jam istrahat sekolahpun, ia terlihat lebih memilih tetap didalam kelas dibanding keluar bermain bersama teman-temannya yang lain. Bahkan sering ketika tiba jam belajar usai, ketika pulang sekolah, Dini tidak ada jemputan dari kedua orang tuanya.

“Saya pernah lihat anak itu sampai pukul 13.00 Wita belum pulang juga, saya tanya mana jempiutannya ‘nak? dijawab belum datang, sebagai guru tentu khawatir, lantas saya antarlah anak itu pulang,” ucapnya ketika ditemui di sekolah, Sabtu (22/2/2020).

Kekhawatiran para guru pun tidak usai sampai disitu, hal ini diperparah dengan nilai-nilai belajar Dini yang terus merosot belakangan ini, meskipun sebagai guru kelas, mereka melihat potensi kecerdasan dan kreatifitas dalam dirinya

“Kadang suatu waktu ia terlihat fokus dalam pembelajaran dibanding teman-temannya yang lain. Tapi belakangan sudah sering absen di kelas karena alasan sering sakit,” paparnya.

Keluarga adalah tempatnya untuk mengutarakan keluh kesah namun tidak demikian yang dirasakan Dini. Berlaku juga dengan lingkungan tempat tinggalnya yang berada diperumahan Elit terlihat sangat soliter, sehingga semakin membuatnya terlarut-larut dalam masalah keluarganya.

Kecukupan materi bukanlah segala sesuatu yang selalu dibutuhkan oleh seorang anak, dimana perlu ada kedekatan sosial yang dijalin. Berbeda dengan kondisi anak-anak yang hidup di perkampungan yang mengutamakan hubungan sosial keluarga maupun bertetangga.

Salah satunya kehidupan masyarakat kecil di perkampungan Bajo. Walaupun masyarakat yang hidup tak bergelimang harta akan tetapi anak-anak tumbuh dengan baik mengenal norma-norma dikehidupan bermasyarakat.

Mereka bermain, mengenal lingkungan sosial, mengenal alam dan tentunya yang paling penting menjalin hubungan dan kebersamaan dengan orang lain.

Salah satu sosok yang memiliki daya tarik tersendiri yaitu, Hamsar (8th), anak Bajo yang tinggal bersama kedua orang tuanya di Kelurahan Bungkutoko, Kecamatan Abeli, Sultra. Ayahnya seorang nelayan yang menggantungkan hidup dari hembusan angin dan arus samudera untuk mencari ikan di lautan. Ibunya juga sebagai nelayan yang biasa mencari kerang-kerangan di sekitar bibir pantai kawasan perairan luar Teluk Kendari.

Suku Bajo adalah suku yang otentik dengan laut. Daratan terlalu sesak dengan pembangunan infrastruktur yang menghimpit mereka jadi terpinggirkan. Sementara lautan terlalu luas untuk dikuasai secara individualis. Bukan pilihan untuk menjadi orang Bajo namun garis-tanganlah yang memilih mereka menjadi orang Bajo.

Bersama teman-teman lainya sesama suku Bajo, Hamsar juga ‘harus’ sekolah. Ketika jam sekolah usai, Hamsar bersama teman-temannya yang lain lebih memilih laut untuk bermain. Kadang juga ia membantu bapaknya untuk merajut kail yang terlihat usang termakan usia, atau sekedar menambal rembesan kebocoran perahu (body batang) yang selama ini dipakai untuk melaut.

Secara mata pelajaran, nilai Hamsar jauh merosot dibanding anak-anak lain yang sekolah di Kota Kendari. Uniknya, Hamsar tidak terkesan acuh dengan nilai pelajaran disekolah. Menurutnya bukan cuma dirinya yang ‘bodoh’ dikelas, tapi teman-temanya yang lain juga begitu.

Meski demikian khusus di sekolah atau di lingkungan pesisir, Hamsar terkenal sebagai anak yang tangguh dan periang. Meski lahir sebagai anak Bajo yang secara ekonomi tidak berkecukupan, namun Hamsar mengaku tidak pernah kelaparan untuk makan.

Saya menemuinya ketika jam pelajaran sekolah usai. bukannya langsung pulang ke rumah, Hamsar menambah jam pelajaran di kelas dengan bermain dan mencari kepiting karang di pinggir pantai bersama teman-temannya sambil tertawa membahas hal-hal remeh yang dianggap lucu.

Ekosistem laut telah menjadi sekolah bagi Hamsar untuk belajar demi masa depan. Meski ayahnya bercita-cita agar Hamsar tidak menjadi nelayan seperti dirinya, namun Hamsar hanya bisa tersipu malu melihat kedatanganku.

Menurut ibunya, sejak kecil Hamsar termasuk anak yang jarang sakit, kawasan pesisir menjadikan mereka termasuk ‘kebal’ terhadap ancaman penyakit.

“Hamsar itu jadi sakit jika dilarang bermain di laut, begitu pula dengan bapaknya, jadi sakit jika tidak melaut,” kata ibunya

“iya sakit kepala, tidak ada uang kalau tidak melaut.” Sambung ayahnya sambil tertawa

Bibir pantai adalah batas pemisah bagi Hamsar dan keluarganya dari ancaman penyakit yang banyak terjadi di era sekatang ini. bibir pantai berupa kawasan pesisir yang memisahkan satu bagian ke bagian yang lain. Tegas, karena tercantum diatas buku peta dunia yang banyak terdapat dalam mata pelajaran Geografi di sekolah.

Secara psikis garis pemisah itulah yang melindungi Hamsar dan anak-anak suku bajo lainnya dapat tumbuh dengan sehat, seiring dengan perjalanan waktu. Batas pemisah itu pula yang menjaga dan melindungi Hamsar sekeluarga, dari derasnya pola hidup yang tidak sehat, berpotensi menyebarkan penyakit saat ini, meskipun genus semua penyakit virus, bakteri berasal dari hewan, namun laut menjadi laboratori alam bagi suku Bajo untuk terus beradaptasi dari berbagai ancaman penyakit.

Reporter: Gery

Baca Juga

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button