Pengamat Politik UMK: Pemilu Dipaksakan Ditunda, Gejolak Sosial dan Politik Tak Terelakan
KENDARI, DETIKSULTRA.COM – Usulan penundaan pemilihan umum (Pemilu) 2024 oleh beberapa petinggi partai koalisi pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), tengah menjadi sorotan banyak pihak
Tak terkecuali, Pengamat politik asal Universitas Muhamadiyah Kendari (UMK) Provinisi Sulawesi Tenggara (Sultra), Awaluddin Mar’uf.
Kata dia, wacana penundaan Pemilu baik Pilcaleg maupun Pilpres menunjukkan indikator kemunduran sistem demokrasi yang dianut Indonesia .
Sebab, syarat menjadi negara demokrasi adalah adanya Pemilu atau Pilpres yang reguler dilaksanakan secara tetap, sesuai diatur dalam undang-undang (UU).
“Presiden dan anggota parlemen (DPR) itu hanya diberikan kekuasaan berkala secara lima tahun. Untuk presiden dalam UU dibatasi hanya dapat menjabat dua periode. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya kekuasaan otoriter dan dinasti politik yang tidak sejalan dengan nilai demokrasi,” kata dia, Selasa (2/3/2022).
Terkait wacana penundaan Pemilu, tentu lanjut dia pasti endingnya terjadi amandemen atau perubahan UU. Ranah dan kewenangannya ada pada parlemen itu sendiri.
Tapi dalam pelaksanaannya, tidak semudah seperti membalikkan telapak tangan. Membutuhkan waktu dan syarat untuk melakukan amandemen, yang paling mendasar harus memenuhi syarat suara mayoritas suara dari anggota DPR.
Pengusulan amandemen minimal satu per tiga (1/3) anggota parlemen saat ini. Tentu akan diwarnai pro dan kontra. Namun yang jadi pertanyaan mendasar, siapa yang paling berkepentingan dalam wacana penundaan Pemilu, yang berakhir pada amendemen UU.
“Jika terjadi amendemen maka jabatan presiden dan anggota DPR akan diperpanjang. Pastinya yang mendorong adanya amandemen ini adalah oligarki yang menikmati keuntungan dan kekuasaan saat ini,” ungkap Awaluddin.
“Parpolnya memiliki kursi parlemen dan para menteri banyak menjadi bagian dari oligarki. Yang substansial adanya amendemen tidak lahir wacana akar rambut kepentingan rakyat mayoritas dan saya yakin akan mendapatkan perlawanan dari rakyat sipil yang tidak menginginkan ada amendemen,” sambung dia.
Jelas bagi dia, ini adalah kepentingan oligarki dan elit berkuasa saat ini. Khususnya bagaimana mengawal program IKN tetap berjalan. Mereka khawatir kalau ada pergantian presiden dan anggota DPR yang baru, kemungkinan besar program IKN tidak akan dilanjutkan.
Menurut Dosen Fisip UMK ini, penundaan Pemilu akan menghasilkan penguasa yang tidak legitimate atau tidak sah. Pasalnya presiden dan anggota DPR hanya diberikan kekuasaan kewenangan selama lima tahun.
Dari catatannya, belum ada negara demokrasi manapun yang melakukan penundaan Pemilu karena alasan keuangan. Ini hanya akal-akalan elit politik yang sedang menikmati kue kuasaan, ditengah sulitnya keuangan negara
“Sangat tidak rasional dengan alasan kekuangan negara. Sementara disisi lain, pemerintah tengah jor-joran untuk melaksanakan program IKN. Namun dipihak lain, Pemilu harus ditunda, hal ini sangat paradoks,” urainya.
Sehingga apabila usulan tersebut diamini pemerintah, maka bukan tidak mungkin bakal terjadi gejolak yang begitu luar biasa. Dan ini merugikan negara dan masyarakat Indonesia sendiri.
“Pemilu pipaksakan ditunda, gejolak sosial dan politik pasti tak terelakan. Sehingga masyarakat akan terbelah antara kontra dan pro. Ini perlu diwaspadai dan gelombang pasti akan besar menimbulkan dampak sosial yang negatif yang mengambil energi besar dan lama untuk memulihkannya,” Awaluddin memungkas.
Reporter: Sunarto
Editor: Via