Politik

JaDI Sultra Soroti soal Tahapan Pemilu dan Pilkada 2024

Dengarkan

KENDARI, DETIKSULTRA.COM – Jadwal pemilihan umum (pemilu) dan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak se-Indonesia telah disepakati.

Pemerintah, penyelenggara (KPU, Bawaslu dan DKPP) serta Komisi II DPR RI menyepakati hajatan Pemilu (pilpres dan pileg) dilaksanakan 28 Februari 2024 dan pilkada 27 November di tahun yang sama.

Selain jadwal pemilu dan pilkada, pihak pengambil kebijakan juga menyepakati jika tahapan pemilu dan pilkada 2024 dimulai 25 bulan sebelum hari pemungutan suara.

Meski begitu, kesepakatan yang lahir dalam rapat koordinasi (Rakor) di gedung DPR RI pada 3 Juni 2021 ini menuai sorotan.

Salah satunya dari Jaringan Demokrasi (JaDI) Sulawesi Tenggara (Sultra). Hidayatullah, Ketua JaDI Sultra, mempertanyakan tahapan yang begitu panjang, yakni 25 bulan. Jadi asumsinya dimulai sejak 2022.

“Tahapan 25 bulan? kepanjangan dan berakibat pemborosan anggaran. Tahapan apa saja 25 bulan tersebut sesuai UU No. 7 tahun 2017? Kok kesannya membuat KPU dan Bawaslu cari-cari kerjaan karena nganggur selama tak ada pilkada di tahun 2022 dan 2023,” ujar dia kepada Detiksultra.com, Minggu (6/6/2021)

Sepaham dia, dalam prisip penyelengaraan pemilu bersifat efisien dan efektif, salah satunya tahapan dibuat sesingkat mungkin agar efektif dalam kerja-kerja penyelenggara pemilu dan efisien dalam menggunakan anggaran negara.

Itulah sebabnya Pemilu 2019 dan sebelumnya tahapan penting hanya menghabiskan waktu 12 bulan dan tahapan persiapan enam bulan. Jadi, keseluruhan hanya 18 bulan.

Kata Hidayatullah, menjadi bias kinerja dan bias anggaran ketika tahapan diperpanjang 25 bulan di KPU maka akan mengikut pula tahapan pengawasan oleh Bawaslu terhadap yang dikerjakan KPU. Begitupula akan berkonsekuensi di DKPP anggaran ikut naik karena akan ada kasus-kasus etik dalam tahapan panjang tersebut.

Melebihkan takaran yang sangat panjang dalam tahapan Pemilu 2024 hanya terkesan karena lembaga penyelenggara (KPU dan Bawaslu) sedang menganggur. Hal ini sangat tidak memilki sense of crisis di tengah rakyat sedang susah dalam situasi pandemi Covid-19.

Lebih lanjut, dia menuturkan cara DPR dan pengelenggara pemilu yang membuat tahapan panjang justru kontraproduktif dengan substansi pemilu itu sendiri. Di mana setiap saat rakyat akan disuguhkan hanya urusan pemilu.

“Coba bayangkan selama 25 bulan, 2 tahun  lebih rakyat dikupas-kipas lagi soal politik kepemiluan yang membuat kejenuhan itu sendiri,” ujarnya.

Jadi baiknya tahapan pemilu dan pilkada di tahun 2024 tetaplah dengan tahapan yang normal dan berprinsip efektif dan efisien agar berkepastian hukum. KPU dan Bawaslu juga  harus lebih mandiri agar membatasi diri dalam intervensi DPR dan pemerintah soal-soal manajemen dan tahapan kepemiluan.

“Sudah normal juga Pilkadanya di November 2024 jauh dengan Februari 2024, pemilunya selisih 10 bulan dan tahapan pilkada hanya 8 bulan,” ungkap Hidayatullah.

Mantan Ketua KPU Sultra ini juga menerangkan konsekuensi pemilu yang berbiaya tinggi dan pemborosan karena penyelenggara pemilu itu ada tiga lembaga dalam satu kesatuan penyelenggara yakni KPU, Bawaslu dan DKPP.

Ketika KPU tidak efektif dan efisien dalam menyusun tahapan baik persiapan dan tahapan penting maka akan berkonsekuensi pembengkakan kebutuhan program dan anggaran.

Konsekuensi keuangan ini akan melebar ke lembaga Bawaslu, disebabkan salah tugas Bawaslu adalah mengawasi segala tahapan dan program yang dikerjakan KPU.

Tentunya dalam pengawasan juga membutuhkan anggaran program pengawasan dan operasional yang tidak sedikit. Begitupula di DKPP ketika tahapan berjalan yang dilakukan KPU dan diawasi Bawaslu maka ada masalah etika akan ditangani DKPP. Tentu pula DKPP akan membutuhkan anggaran dalam sidang-sidang ajudikasinya.

Ia pun menambahkan, pemilu maupun pilkada akan berjalan efektif dan efisien ketika tahapan dan programnya tidak bertele-tele, tidak panjang, tidak melebihi takaran norma yang diatur dalam UU kepemiluan.

Alasan pun dituturkannya, mengapa pemilu dan pilkada dibuat serentak karena untuk mengefektifkan kinerja penyelengara, membuat rakyat lebih sederhana memahami pemilu dan pilkada dalam waktu tertentu. Bukan setiap saat hanya disuguhkan isu pemilu dan pilkada, serta meminimalisir pemborosan pada aspek penganggaran.

“Jadi tahapan yang panjang sampai dengan 25 bulan adalah kontraproduktif dengan semangat pemilu dan pilkada serentak dengan basis prisip pemilu yang efektif dan efisien,” pungkasnya. (bds*)

Reporter: Sunarto
Editor: J. Saki

Baca Juga

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button