Pemilu 2019, Orang Gila Memilih?
Oleh : La Ode M. Hasmin, SH., MH
Hak Asasi Manusia dalam Pemilu
Diskursus tentang pemenuhan hak asasi manusia terus mewarnai berbagai bidang kehidupan bernegara, tidak terkecuali soal hak pilih didalam pemilihan umum (Pemilu). Mengawali pembicaraan soal itu, maka penting untuk mendudukkannya dalam non derogble right. Secara konseptual, non derogble right adalah hak asasi manusia (HAM) yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Indonesia sebagai negara konstitusional, non derogble right telah diatur secara limitatif pada ketentuan Pasal 28I (ayat 1) UUD tahun 1945, yang meliputi: hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun.
Memperjelas “dalam keadaan apapun”, maka penjelasan Pasal 4 UU/ 39 tahun 1999 tentang HAM menyatakan hal ini termasuk dalam keadaan perang, sengketa bersenjata, dan atau keadaan darurat. Pertanyaan yang mengemuka adalah apakah hak pilih termasuk non derogble right?
Menjawab persoalan ini, maka penting untuk mengajukan dua hal berkaitan dengan hak pilih yakni hak terdaftar sebagai pemilih dan hak memilih. Berdasarkan Pasal 4 PKPU 11 tahun 2018, secara subtantif hak memilih diperoleh tatkala terdaftar sebagai pemilih dengan syarat genap berumur 17 tahun, sudah kawin atau pernah kawin, tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya, tidak sedang dicabut oleh pengadilan, memiliki KTP elektronik atau surat keterangan dari capil, serta tidak sementara menjadi anggota TNI dan Polri.
Khusus pada ketentuan mengenai tidak sedang terganggu jiwa/ingatannya sehingga tidak memenuhi syarat sebagai pemilih, harus dibuktikan dengan surat keterangan dokter.
Dengan demikian, pada prinsipnya hak pilih bukan merupakan non derogable right artinya pada keadaan tertentu seseorang bisa saja tidak dapat memilih karena tidak terdaftar sebagai pemilih akibat tidak terpenuhinya syarat yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan.
Polemik Terhadap Penderita Gangguan Jiwa/Ingatan
Konstruksi pasal 4 ayat (3) PKPU 11/Tahun 2018 terkait syarat sedang terganggu jiwa/ingatannya sehingga tidak memenuhi syarat sebagai pemilih, harus dibuktikan dengan surat keterangan dokter. Apabila klausul pasal ini dimaknai secara elementer, maka secara logika sulit untuk diterima ketika orang dengan gangguan jiwa/ingatan justru diberi beban tambahan untuk menunjukan atau membuktikan kepada penyelenggara Pemilu bahwa dia tidak berhak didaftar. Dengan kata lain, tidaklah mungkin seseorang yang ingin didaftar justru diminta menunjukkan bukti bahwa dia tidak memenuhi syarat untuk didaftar.
Perdebatan yang muncul di ruang publik sesungguhnya adalah soal tidak adanya kesamaan persepsi mengenai sedang terganggu jiwa/ingatannya yang pada akhirnya hal ini pula menimbulkan kerancuan tatkala seseorang akan didaftar sebagai pemilih. Mahkamah Konstitusi melalui putusan 135/PUU-X11/2015 telah melakukan pembelahan persepsi pada gangguan jiwa/ingatan dari perspektif medis yang dikaitkan dengan waktu/ durasi terjadinya yakni gangguan jiwa/ingatan yang bersifat permanen atau kronis dan bersifat sementara, tidak permanen atau episodik.
Adanya postulasi diatas, maka seseorang yang mengalami gangguan jiwa/ingatan yang besifat sementara harus tetap didaftar sebagai pemilih sedangkan yang bersifat permanen yang dicirikan dengan hidup menggelandang, makan sembarangan, bersifat asosial bahkan tidak mengenal keberadaan dirinya sudah tentu tidak perlu didaftar.
Selanjutnya, apabila gangguan jiwa/ingatan yang dimaksud oleh PKPU 11/Tahun 2018 di atas menunjuk pada gangguan jiwa yang bersifat permanen maka tidak perlu lagi menambahkan norma hukum berupa surat keterangan dari dokter untuk membuktikan seseorang sedang terganggu jiwa/ingatannya karena pada prakteknya selama ini juga tidak pernah didaftar lagi sebagai pemilih.
KPU Mesti Waspada
KPU sebagai penyelenggara mesti lebih waspada terkait adanya gagasan untuk mengadakan TPS di Rumah sakit jiwa (RSJ). Masyarakat luas mesti mengetahui ini secara komprehensif agar tidak tercipta wacana pada Pemilu 2019 orang gila akan memilih. Di RSJ kita akan menemui banyak model baik orang yang tidak terganggu jiwa/ingatannya yang bersifat permanen maupun sementara sehingga dengan konstruksi PKPU 11/Tahun 2018 maka KPU harus menyediakan sarana dan prasarana untuk membuktikan seseorang sedang terganggu jiwa/ingatannya sebagai pemilih, paling tidak fasilitas yang harus dipenuhi adalah dokter ahli kejiwaan pada saat akan didaftar termasuk jika menggunakan KTP elektronik atau surat keterangan domisili dari capil pada saat memasuki TPS untuk menggunakan hak memilihnya.
Namun jika dirunut lebih jauh, terkait keberadaan TPS di RSJ sesungguhnya bukan untuk melayani para pasien tetapi para petugas yang tidak sempat untuk kembali ke wilayah domisili yang bersangkutan karena sedang bertugas, hal ini dapat ditemui misalnya pada pelaksanaan Pemilu tahun 2014 melalui Surat Edaran KPU Nomor 395/KPU/V/2014 tertanggal 6 Mei 2014 yang pada poin 3 menyebutkan, KPU/KIP Kabupaten/Kota dapat membentuk TPS di Rumah sakit jiwa, panti sosial, dan pelabuhan udara internasional khusus pegawai yang bertugas dengan cara mendaftarkan pemilih tersebut ke dalam daftar pemilih tetap dengan memperhatikan kesiapan dan ketersediaan petugas menjadi anggota KPPS serta efektifitas dan efisiensi dari segi anggaran.
Apabila pada Pemilu 2019 keberadaan TPS di RSJ tidak lagi hanya ditujukan untuk petugas, maka Pemilu kita semakin mengedepankan terpenuhinya hak pilih warga negara, namun yang paling penting berilah kepada dua orang secarik kertas yang anda telah tuliskan pertanyaan ini : Apakah dia mengerti akan adanya pilihan yang akan diberikan; apakah dia mampu menyatakan pilihannya; apakah dia memiliki alasan untuk memilih; apakah dia mengerti kosekuensi pilihannya? Suruhlah mereka untuk memperbincangkan anda dengan pertanyaan itu !!! **