Desa Kastura sesungguhnya wilayah yang memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi desa model dengan berbasis perkebunan dan peternakan di Kabupaten Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara.Ini yang menarik untuk dijadikan master plan pengembangan desa yang berjarak cukup jauh dari ibu kota Kabupaten Kolaka.
Persoalan jarak tempuh dan akses jalan ke desa tersebut saat ini dirasakan menjadi persoalan oleh siapa saja yang akan ke sana, jika tanpa tujuan jelas untuk apa dan manfaat yang diperoleh ketika orang-orang tanpa tujuan ke desa tersebut.Jarak yang cukup jauh, tentu akan menyita waktu sekaligus akan membosankan jika tak ada niat dan bekal pengetahuan untuk betah apalagi bermukim di desa terpencil itu.
Bergerak dari titik yang sulit itulah yang jadi menarik bagi saya.Meski hari ini tak ada yang bisa dipetik,olah dan jual, tapi saya bersama Kepala Desa Kastura, Haris K selalu optimis dan yakin bahwa apa yang dilakukan hari ini, akan menjadi kebaikan bagi warga masyarakat, khususnya warga Desa Kastura yang jumlahnya masih 680 jiwa.
Seminggu yang lalu saya kesana untuk pertama kalinya untuk melunaskan permintaan kepala desa bersama saudaranya yang mengharapkan saya untuk datang melihat denyut nafas warga desa yang bermukin di sana.Tak ada persiapan untuk kesana, dengan modal kendaraan roda dua dengan bahan bakar seadanya, akhirnya saya bisa menapak sampai kesana.Pertemuan pertama dengan Sang Kepala Desa bersama sejumlah tokoh masyarakat dan Bintara Pembina Desa (Babinsa), dari Kodim 1412 Kolaka, bernama Ma’ruf yang ditugaskan disana, merekalah yang menjadi sumber informasi soal dinamika dan kegiatan desa tersebut.
Dari kondisi peta topografi desa ini, berada di 30 m dpl, dikelilingi perbukitan dan pengunungan dengan kondisi curah hujan yang cukup menunjang untuk pengembangan sebagai desa yang berbasis pada sektor perkebunan dan peternakan.Berdasarkan data sedikitnya untuk intensitas curah hujan diangka 2000 mm, dari angka ini Desa Kastura termasuk daerah dengan curah hujan cukup tinggi pada bulan tertentu.Dengan pemanfaatan curah hujan yang cukup tinggi ini, tentunya akan jadi patokan bagi petani setempat untuk bercocok tanam.
Sejumlah titik yang saya kunjungi bersama Haris, Kades dua periode ini, masih terlihat begitu luas hamparan lahan kosong yang cukup potensial untuk dikembangkan menjadi lahan produktif dan bernilai ekonomis. Saya menangkap sebuah impian dan harapan dari seorang kepala desa yang tidak berpikir pragmatis dengan anggaran dana desa yang jumlah cukup besar 1 Milyar lebih.
Baginya dana sebesar ini tak pernah sedikitpun untuk disunat atau dipakai untuk kepentingan pribadinya.” Semua dana yang kita lihat terpajang tidak jauh dari kantor itu, Rp. 1.483.696.300. Kalau kita lihat dana sebesar itu, maka godaannya cukup besar untuk kita ambil diam-diam dengan cara muslihat dan akal salah.
“Saya berjanji pada diri saya sendiri, tak akan mengambil untuk dari dana tersebut’’ ujar Haris kepada penulis saat melihat lokasi embung desa yang akan dijadikan obyek wisata desa. Menurutnya, dana tersebut belum cukup untuk membangun sejumlah sarana dan fasilitas untuk masyarakat desanya. ‘’ Saya kadang harus putar otak untuk menggerakkan roda pemerintahan dan pembangunan, jika dana desa tidak mencukupi,’’ jelasnya sembari menghisap rokok kesukaannya.
Perjalanan saya ke Desa Kastura, yang masih berada di Wilayah Kecamatan Watubangga ini, seperti bertualang di alam bebas, sebagaimana yang sering saya lakukan sejak masih mahasiswa di Makasasar. Bagi saya perjalanan ke desa terpencil itu menjadi petualang yang sangat menarik,membuat pikiran jadi segar dan sejenak dapat melupakan sejenak masalah yang kerap kali jadi beban.Sepanjang perjalanan dari Kota Kolaka hingga memasuki pemukiman pedesaan di beberapa kecamatan yang saya lintasi, cukup jadi hiburan hati, sekaligus inspirasi.
Pemandangan sawah yang menghijau dapat kita jumpai sepanjang mata memandang saat berada tak jauh dari kantor Kecamatan Watubangga hingga di Desa Sumber Rejeki. Suguhan panorama alam desa tak akan dapat ternilai, bagi saya yang senang dunia fotografi, tentunya ini akan menjadi obyek yang tak terlewatkan.Dengan kamera handphone, saya mengabadikan beberapa spot yang cukup menarik dan akan mengundang orang-orang untuk berburu obyek foto-foto panorama alam di Sulawesi Tenggara.
Saya mengambil beberapa titik untuk dokumentasi perjalanan, sekaligus jadi obyek untuk saya lukis atau jadi sketsa.Meski ada keinginan untuk melukis secara langsung yang biasa dilakukan kawan pelukis di luar sana.
Yang pasti, selalu ada tujuan dari sebuah perjalan saya hingga saya menulis catatan perjalanan ini secara bersambung, paling tidak saya sudah melakukan hal sederhana untuk kemajuan sebuah daerah, apalagi desa itu sangan terpencil, nyaris tak ada jaringan internet dan untuk bertelepon seluler. Untuk bisa terhubung memang harus mencari tempat ketinggian yang ada signal seluler.
Untuk sumber penerangan di Desa Kastura listrik masuk desa sudah sampai ke desa tersebut. Di belakang kantor Desa Kastura, memang berdiri tower internet desa setinggi kurang lebih 30 meter. Namun menurut kepala desa, belum dapat berfungsi dengan baik.
‘’Seharusnya dengan adanya internet desa ini, setidaknya dapat digunakan untuk menghubungkan desa ini dengan daerah lain, dalam berbagai urusan penting.Saya berharap nantinya akan berfunggsi dengan baik dengan biaya murah, agar dapat digunakan tidak hanya untuk kepentingan pengiriman data, laporan ke Kabupaten. Tapi juga digunakan oleh seluruh warga untuk mengembangkan potensi desa, termasuk membangun jaringan bisnis dari Desa Kastura ke Pasar yang ada di seluruh Indonesia,’’ jelas Kades Haris kepada penulis saat berdiri di atas bukit yang akan dikembangkan jadi lahan perkebunan pisang dan jeruk manis.
Usai makan siang di rumah kepala desa, saya diajak melihat sebuah masjid yang sementara dibangun secara swadaya oleh masyarakat dan sebuah sekolah Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).Dalam perjalanan menyusuri jalan desa yang licin dan berlumpur karena hujan gerimis,sedikit memaksa saya untuk menaikkan tarikan gas kendaraan yang saya gunakan untuk lolos dari jalur berlumpur itu.
Terlihat baju kemeja warna biru muda yang digunakan kepala desa basah dan terkena percikan tanah berlumpur dari roda ban motor saya, dia terpaksa harus menolak dari belakang karena motor saya terjebak di jalur berlumpur itu.Tak begitu jauh dari lokasi pembangunan masjid itu, saya diajak ke rumah Ketua LPM ( Lembaga Pemberdayaan Masyarakat) Desa Kastura, bernama Sumardi (51). Berkenalan dengan Ketua LPM Desa Kastura, saya mendapat cerita tentang pengalamannya sejak periode pertama Haris menjabat kepala desa hingga sekarang.
Terungkap rasa kekeluargaan dan kepedulian dari seorang kepala desa yang saya saksikan sendiri saat itu.Berikut saya tampilkan rekaman video saya bersama Ketua LPM Desa Kastura, Sumardi.Sengaja saya tampilkan agar semua orang dapat melihatnya secara utuh.Rasanya tak berlebihan untuk jadi catatan penting suatu ketika, bahkan dia akan jadi jejak digital yang akan saya pertanggungjawabkan bersama, Haris, Sang Kepala Desa Kastura yang punya jiwa visioner.
Sampai tulisan ini saya terbitkan di media sosial, jalinan komunikasi saya dengan kepala desa tak pernah putus untuk saling bertukar ilmu pengetahuan yang saya miliki tentang bagaimana desa harus berkembang terus dengan terobosan program yang kreatif, inovatif dan berkolaborasi dengan semua pemangku kepentingan yang ada saat ini. Memang, terasa ada beban yang harus dipikul oleh kepala desa untuk mencapai tujuan jangka panjang yang ingin diraih oleh kepala desa, sebagai manusia biasa yang tak lepas dari segala kekurangan dan kelebihan yang dia miliki saat ini.
Sebagai Kepala desa, dia sesungguhnya mencari orang untuk diajak untuk membuka sekat isolasi dari desa yang terpencil jadi desa yang dilirik oleh pemangku kebijakan tertinggi baik di tingkat Kabupaten, Provinsi hingga ke Pemerintah Pusat.
Saya tak punya banyak pilihan selain harus ikut terlibat membantunya secara tidak langsung, membantu tanpa harus terlibat secara structural dalam perangkat desanya. Dalam kesempatan itu, sebelum bertolak pulang dari Desa Kastura, Saya menyampaikan beberapa konsep dan gagasan untuk memuluskan rencananya agar dapat jadi desa model berbasis perkebunan dan peternakan di Kabupaten Kolaka, meski dengan sejumlah rintangan di depan mata. Sebuah kenyakinan dan niat baik itulah yang harus jadi kata kunci untuk mencapai harapan itu, begitu pernyataan yang saya lontarkan di hadapan Kepala Desa yang didampingi Ketua LPM Desa Kastura.
Butuh proses yang harus dilalui dengan penuh semangat membangun untuk kebaikan bersama.Pada titik ini saya mengacu pada konsep desa mandiri, yang mengandaikan adanya sebuah konstruksi pemikiran yang menempatkan “Desa” pada posisi subyek, organisasi sosial yang harus diberi kepercayaan penuh oleh “orang luar” untuk mengatur dirinya, dengan kekuatan dan modal yang ada pada dirinya konsep desa mandiri memang membutuhkan cara pandang yang lain tentang desa yang akan dikembangkan sebagai bagian yang terintegrasi.
Desa perlu dipandang sebagai entitas sosial (kolektif) yang memiliki karakter sosiologis, ekonomis, kultural, dan ekologis yang khas (spesifik) jika dibandingkan misalnya dengan “kota”. Cara pandang ini memandang bahwa desa merupakan tempat di mana kenyamanan, keharmonisan, kerukunan, kedamaian, dan ketenteraman, terjaga sehingga bukan harus bersifat stereotipe. Desa merupakan tempat di mana segala bentuk ketertinggalan berada. Cara pandang etik (orang luar) terhadap desa, dengan menempatkan kriteria kemajuan (sukses dan sejahtera) atas dasar nilai-nilai formal material, harus diuji dan disinkronkan dengan cara pandang emik (local view orang desa) yang memandang nilai-nilai material (materi) bukan segalanya. Semoga.
Penulis: Ridwan demmatadju Mantan jurnalis Senior Harian Kendari Pos, Kabupaten Kolaka