Opini

Kritik Adalah Solusi Pembebasan Dari Mabuk Doktrinisasi

Dengarkan

KENDARI, DETIKSULTRA.COM – Foto diatas adalah Muh. Sadli Saleh. Jurnalis di Buton Tengah yang saat ini menjalani proses persidangan di Pengadilan Negeri Pasar Wajo Sultra, sebagai terdakwa dugaan pelanggaran Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE)

Tulisannya di sebuah media daring berjudul “Abrakadabra: Simpang Lima Labungkari disulap Menjadi Simpang Empat” pada 10 Juli 2019 lalu, dipandang sebagai sebuah kritik yang dapat mencemarkan nama baik Bupati Buton Tengah, Samahuddin.

Pelaporan ini menambah daftar panjang pelaporan jurnalis dengan menggunakan UU ITE di Sultra, setelah sebelumnya Fadly Aksar (zonasultra.com) dan Wiwid Abid Abadi (okesultra.com) pernah dilaporkan ke polisi oleh seorang caleg 2019 lalu.

Entah sampai kapan penggunaan pasal karet hasil negosiasi pemerintah dan DPR (pasal 27 ayat 3 dalam UU ITE) akan terus memangsa kemerdekaan publik untuk bersuara dan berpendapat kritis.

Ungkapan negara ini adalah negara hukum, adalah kalimat yang rapuh bagi kaum malas pikir.

Ketika segala hal yang menyangkut percakapan publik dibawah ke ranah hukum, maka sesungguhnya kita menuju totalitarianisme, menyingkirkan ruang percakapan demokratis yang seharusnya tumbuh.

Berpikir kritis artinya bercakap pada ruang dialogis berdasarkan argumen, bukan pasrah pada fundamen teologis atau fanatisme kultural, terlebih lagi mengatas-namakan hukum.

Ironisnya bagi Pemkab Buton Tengah, kritik, tidak dianggap sebagai suatu hal yang konstruktif melainkan sebagai ancaman pembangunan. Padahal kritik adalah upaya untuk mengevaluasi mandat yang diberikan pada proses electoral lalu, sebagai pertanggung-jawaban kepada rakyat.

Dengan demikian mereka yang menolak kritik adalah mereka yang menolak demokrasi. Kritik pada roda pemerintahan adalah sarana kebebasan, karena hanya melalui kritik masyarakat dapat keluar dari “mabukdoktrinisasi.

Berada ditahun berapakah kita saat ini? Apakah tahun 2020 atau lebih terasa seperti 1984 ala Orwellian?

Menyeret sebuah karya jurnalistik ke ‘meja hijau‘ adalah sebuah bentuk doktrinisasi ala Orwellian (1984) dibawah kepempinan sang Big Brother, yang ingin mengendalikan kebenaran dan kebohongan publik.

Novel 1984 ala George Orwell dengan pasangan wajibnya, Animal Farm memberi kesan bahwa kekuasaan totaliter tidak harus berwajah garang dengan senjata. Layaknya tokoh penguasa – Big Brother di Insoc dan Babi Napoleon di Manor Farm – yang selalu menanamkan kebenaran absolut versi penguasa.

Dalam 1984, Winston Smith selalu diawasi oleh The Big Brother sementara dalam hukum di Animal Farm, semua binatang adalah setara, namun seberapa binatangkah lebih setara dibanding yang lainnya?

Redaksi

Baca Juga

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button