Opini

Kebenaran Baru Di Era Digital; “Persepsi Dan Framing” Sebagai Dasar Pembenaran Baru

Dengarkan

Kebenaran Baru Di Era Digital; “Persepsi Dan Framing”
Sebagai Dasar Pembenaran Baru
Oleh : DRLAKA

Ada video yang beredar di group” WA tentang pidatoatau orasi bapak Dahlan Iskan di salah satu forum diperguruan tinggi. Dalam pidatonya “mungkin “ dalam acara pengukuhan profesor kehormatan (HC) di salah satu perguruan tinggi di Jawa Barat, Pak Dahlan Iskan menyoroti fenomena menarik dalam perkembangan informatika di era digital saat ini. Ia mengangkat tema terkait adanya “Kebenaran Baru” yang menunjukkan pergeseran cara kita memahami dan menerima informasi. Dalam konteks ini, kebenaran tidak lagi hanya bersandar pada fakta, tetapi lebih kepada bagaimana informasi tersebut dipersepsikan dan dipresentasikan. Istilah “framing” menjadi kunci dalam memahami fenomena ini.

Secara umum kita perlu mendefinisikan apa itu Kebenaran, sebelum kita melangkah lebih jauh, penting untuk memahami apa yang dimaksud dengan kebenaran. Secara tradisional, kebenaran sering kali diartikan sebagai kesesuaian antara pernyataan dan fakta. Kebenaran ini bersifat objektif dan dapat diuji melalui bukti yang ada. Namun, dalam konteks digital saat ini, kebenaran mulai mengalami pergeseran. Ini lah yang dimaksudkan bahwa kebenaran yang dulu kita pedomani harus ada kesesuaian antara pernyataan dan fakta. Pemahaman ini sudah menjadi kuno dan klasik di era disrupsi digital yang semakin massif.

Kebenaran yang bersandar pada fakta adalah kebenaran yang dapat diverifikasi. Misalnya, pernyataan bahwa “air mendidih pada suhu 100 derajat Celsius di permukaan laut” adalah kebenaran yang dapat diuji dan dibuktikan. Dalam konteks ini, fakta adalah dasar dari kebenaran. Namun, dalam era informasi yang cepat dan dinamis, fakta-fakta ini sering kali dipertanyakan atau bahkan diabaikan.

Hal inilah dimaksudkan pak Dahlan Iskan dengan penjelasan di atas sesungguhnya berbeda lagi dengan “kebenaran baru” yang di persepsikan dan “Fram”. Kebenaran baru ini juga menjadi pokok kongklusi oleh Pak Dahlan Iskan, berfokus pada bagaimana persepsi membentuk kebenaran. Dalam dunia digital, dan kemajuan informasi dapat dengan mudah dimanipulasi dan disajikan sedemikian rupa sehingga membentuk persepsi tertentu. Framing adalah proses di mana suatu informasi disajikan dengan cara tertentu untuk mempengaruhi cara orang memahami dan menafsirkan informasi tersebut .

Contoh yang sering terjadi adalah dalam berita atau media sosial, di mana judul atau gambar yang menarik dapat menarik perhatian pembaca, meskipun isi sebenarnya tidak mencerminkan kebenaran yang utuh. Dalam hal ini, framing dapat menciptakan kebenaran baru yang tidak selalu berlandaskan fakta.

Kebenarun baru ini tentu memiliki dampak framing dalam era digital yang semakin tidak dapat di pisahkan antara kebenaran dengan basis fakta atau kebenaran dengan framing, yang paling parahnya lagi framing memiliki dampak yang signifikan terhadap cara kita menerima informasi. Di era digital, di mana informasi beredar dengan sangat cepat, orang cenderung lebih memperhatikan bagaimana informasi tersebut disajikan daripada memverifikasi kebenarannya. Ini dapat menyebabkan munculnya berbagai “kebenaran” yang saling bertentangan, tergantung pada bagaimana informasi tersebut dibingkai.

Salah satu contoh nyata dari dampak framing adalah dalam kampanye politik. Politisi atau tim kampanye sering kali menggunakan framing untuk mengarahkan opini publik. Misalnya, mereka dapat menyoroti aspek-aspek tertentu dari kebijakan mereka sambil mengabaikan aspek negatifnya. Hal ini menciptakan persepsi positif di kalangan pendukungnya, sementara lawan politik dapat menggunakan framing yang berbeda untuk mengekspos kelemahan yang sama.

Media sosial berperan besar dalam mempercepat proses framing ini. Platform seperti Twitter, Facebook, dan Instagram memungkinkan informasi untuk menyebar dengan cepat, sering kali tanpa verifikasi. Pengguna media sosial sering kali berbagi konten yang menarik perhatian, tanpa mempertimbangkan kebenaran dari informasi tersebut. Ini menciptakan lingkungan di mana kebenaran baru dapat muncul dan berkembang dengan cepat.

Salah satu contoh implementasi framing di era digital adalah tindakan para buzzer. Buzzer adalah individu atau kelompok yang dibayar untuk menyebarkan informasi atau opini tertentu di media sosial. Mereka sering kali menggunakan teknik framing untuk memanipulasi persepsi publik terhadap isu tertentu. Misalnya, sebuah isu yang kontroversial dapat dibingkai sebagai sesuatu yang positif atau negatif, tergantung pada kepentingan yang ingin dipromosikan.

Para buzzer dapat menciptakan narasi yang kuat dan mempengaruhi opini publik dengan cara yang tidak selalu berlandaskan pada fakta. Mereka dapat menciptakan “kebenaran” baru yang didukung oleh banyak orang, meskipun fakta yang mendasarinya mungkin tidak akurat.

Fenomena kebenaran baru yang diungkapkan oleh Pak Dahlan Iskan mengingatkan kita akan pentingnya memahami bagaimana informasi disajikan dan diterima di era digital. Kebenaran tidak lagi hanya bersandar pada fakta, tetapi juga pada bagaimana informasi tersebut dibingkai dan dipersepsikan. Dalam menghadapi tantangan ini, penting bagi masyarakat untuk mengembangkan keterampilan literasi media dan bagi platform media sosial untuk bertanggung jawab dalam moderasi konten. Dengan demikian, kita dapat menciptakan lingkungan informasi yang lebih sehat dan akurat.LAK

Baca Juga

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button