Antara Primordialisme Dan Harapan Masyarakat Indonesia
Pada Pilkada Serentak Di Sultra
Oleh: Amijaya Kamaluddin
Pemilihan Gubernur Sulawesi Tenggara tinggal menghitung hari layayaknya judul lagi KD yang sempat popular di akhir tahun 90an. Demikian juga dengan suasana perpolitikan kadadi sultra. Pilkada serentaksering kali mempertajam primordialisme yang selalunya menambah keragaman pernak Pernik suasana keakraban dalam berbangsa di tengah masyarakat Sultra.
Ada situasi yang cukup tajam dan menyolok dalam pilkada di Sultra tekait adanya rivalitas para kandidat calon Gubernur, Kemudian dengan hadirnya figur Calon kada Gubernur dari luar sulawesi tenggara dengan membawa seluruh potensi materi yang sangat besar guna mempengaruhi suara para pemilih melalui jualan sembako murah atau dengan iming iming, janji kemakmuran bagi masyarakat miskin supaya lebih sejahtra, disisi lain masyarakat yang memiliki kandidat putra daerah Asli sulawesi tenggara yang mencoba membangun narasi berbeda dengan mengajak masyarakat sultra supaya bersatu memilih pemimpinnya yang berasal dari putra daerah asli. Disinilah masih adanya harapan bagi orang asli daerah sultra memimpin daerahnya sendiri.
Analisis ini tidak sedang mendiskreditkan suku tertentu atau dalam pengertian sentimen pada orang pendatang, tetapi dalam urusan pilkada dalam pencarian pemimpin daerah dan calon siapa yang akan memimpin daerahnya sendiri, sangat tidak elok rasanya bila hal ini terjadi. Kemudian ada rasa kemerdekaan untuk memimpin negeri sendiri disultra nantinya dianggap putra daerah tidak mampu memimpin daerahnya sendiri, semua ini bukan untuk menjadikan alasan pertikaian tapi etikabilitas dalam berdemokrasi dalam pilkada serentak sebagai ajang untuk mencari bakat, memajukan putra daerah sendiri yang siap memimpin daerahnya, tidak lain makna yang kami ingin siratkan sedemikian itu.
Pilkada serentak merupakan momen penting dalam demokrasi di Indonesia, termasuk di Sulawesi Tenggara (Sultra). Momen ini bukan hanya sekadar pemilihan pemimpin, tetapi juga menjadi ajang pertarungan ideologi, identitas, dan harapan masyarakat. Namun, di balik hiruk-pikuknya politik, terdapat tantangan yang perlu dihadapi, terutama kaitannya dengan bentuk primordialisme dan keberadaan calon pemimpin dari luar daerah.
Menyadari sepenuhnya bahwa primordialisme adalah kecenderungan untuk mengutamakan identitas kelompok masyarakat setempat (Sultra), seperti suku, agama, atau daerah asal, dalam konteks politik di Sultra, di mana masyarakatnya sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kedaerahan, primordialisme sering kali menjadi faktor penentu dalam pemilihan pemimpin. Oleh karena itu ketika calon gubernur dari luar Sultra muncul dengan berbagai alas an dan janjinya tentu akan menimbulkan potensi kontra kultural yang dalam pemahaman Untington akan menimbulkan benturan kebudayaan apalagi saudara kita pendatang membawa sejumlah materi yang besar, masyarakat Sultra kemudian akan dihadapkan pada dilemma dimana, apakan memilih calon dari luar yang menawarkan janji kemakmuran atau mendukung calon putra daerah yang memahami kondisi lokal, juga tentu akan memakmurkan masyarakatnya.
Tidan ada yang salaha bagi siapa saju warga negara Indonesia untuk memajukan dirinya sebagai warga bangsa, akan tetapi bila calon gubernurnya merupakan Keturunan suku dan merupakan ketua umum organisasi kerukunan masyarakat tertentu dan bukan dari suku asalah daerah sultra setempat kemudian mencalonkan diri memimpin sebuah kabilah masuarakat sultra dimana dia berasal dari satu “bani” tertentu dengan aspirasi kesukuannya hanya berkisar 10 – 15 %, dari seluruh bani-bani yang ada di Sulawesi tenggara tentu kehadiran calon gubernur dari luar Sultra tersebut akan membawa dampak tertentu yang signifikan.
Apalagi bisa di artikan kehadirannya datang melakukan ekspansi dengan membawa seluruh kekuatan, finansial yang besar, maka calon ini tentu akan mampu menarik perhatian masyarakat melalui program-program yang menggiurkan, seperti sembako murah dan janji-janji kemakmuran dalam mengentaskan kemiskinan. Taktik ini memang sering kali sangat efektif, terutama bagi masyarakat yang berada dalam kondisi ekonomi sulit alias miskin. Namun, di sisi lain, hal ini juga menimbulkan pertanyaan mengenai komitmen calon tersebut terhadap pembangunan daerah dan kesejahteraan masyarakat Sultra secara berkelanjutan.
Sebagai masyarakat yang menyadari adanya ketimpangan dan di tengah kuatnya persaingan para kandidat calon gubernur, maka calon putra daerah akan bahu membahu berusaha membangun narasi yang berbeda untuk mengatakan Putra daerah juga siap berdiri dikaki sendiri untuk membangun daerahnya sendiri dan tidak perlu menunggu bantuan uluran tangan dari orang luar yang datang memmimpin. Kandidat calon gubernur tentu mengajak masyarakat sultra untuk memilih pemimpin yang berasal dari Sultra, dengan harapan bahwa pemimpin lokal asal sultra lebih memahami kebutuhan dan aspirasi masyarakat. Narasi ini mengedepankan rasa kebanggaan akan identitas lokal dan keyakinan bahwa orang asli Sultra memiliki kapasitas untuk memimpin dan memajukan daerahnya.
Ada kondis keprihatinan dan dilemma dalam pilkada serentak dan fenomena pemilu kada disultra sangat dapat kita sadari bahwa dilema dan ketegangan dimasyarakat menjelang 27 November 2024 sebagai hari pemilihan akan sangat meng harubiru hal ini dapat menciptakan ketegangan baru dalam masyarakat, di satu sisi ada harapan untuk melihat putra daerah yang akan memimpin daerah sultra dan membawa perubahan positif. Di sisi lain, ada ketakutan bahwa memilih pemimpin dari luar daerah sultra yang keduanya akan mengakibatkan marginalisasi putra daerah asli Sultra dan menghilangkan kesempatan bagi putra daerah untuk berkontribusi dalam pembangunan daerah.
Masyarakat sering kali terjebak dalam sentimen primordialisme, di mana mereka merasa lebih nyaman memilih calon yang memiliki latar belakang yang sama dengan mereka. Namun, hal ini juga bisa menjadi bumerang jika calon tersebut tidak memiliki kompetensi yang memadai. Sebaliknya, memilih calon dari luar daerah yang memiliki sumber daya dan pengalaman bisa menjadi pilihan yang lebih rasional, meskipun ada risiko kehilangan identitas lokal.
Dalam demokrasi seperti di Indonesia saat ini perlu pula kitasandarkan sepenuhnya untuk mengedepankan etikabilitas dalam pilkada disultra, hal ini penting untuk menyadari bahwa pemilihan pemimpin seharusnya membuka ruang untuk memberi kesempatan kepada putra daerah, mana kala tidak ada pemimpin yang maju dan layak baru pada asal daerah tertentu, tetapi juga pada kompetensi, integritas, dan visi yang jelas untuk masa depan Sultra. Masyarakat perlu mendorong diskusi yang konstruktif tentang kriteria pemimpin yang ideal, tanpa terjebak dalam sentimen primordialisme yang sempit.
Pilkada seharusnya menjadi ajang untuk memajukan putra daerah yang memiliki kapasitas dan komitmen untuk memimpin. Ini bukan hanya tentang siapa yang berasal dari mana, tetapi tentang siapa yang memiliki visi dan misi yang jelas untuk kemajuan daerah. Masyarakat perlu kritis dalam menilai calon pemimpin, baik dari luar maupun dalam daerah. Dengan demikian, Pilkada bukan hanya soal memilih pemimpin, tetapi juga soal membangun kesadaran kolektif dan harapan untuk masa depan yang lebih baik bagi Sulawesi Tenggara.