Metro KendariOpini

PENYALAHGUNA NARKOTIKA, DIPENJARA ATAU DIREHABILITASI?

Dengarkan

KENDARI, DETIKSULTRA.COM – Pemasyarakatan memegang salah satu peranan yang sangat penting di dalam sistem peradilan pidana (SPP). Pemasyarakatan menjadi pihak yang selalu terdampak dari masalah terbesar dalam SPP Indonesia yang telah berlangsung selama bertahun-tahun yakni overcrowding rutan dan lapas. Per 19 Desember 2020 jumlah tahanan dan narapidana di seluruh Indonesia mencapai 228.537 orang dengan kapasitas sebesar 135.675 orang. Dengan demikian maka Lapas/Rutan di seluruh Indonesia telah mengalami overcrowding sebesar 59,37 %.

Jumlah tersebut termasuk di dalamnya adalah 91.715 orang (40,13%) kategori bandar dan 39.265 orang (17,18 %) kategori pengguna narkotika. Total keseluruhan, kasus narkotika mencapai 130.980 orang atau 57,31% dari total narapidana/tahanan di seluruh Indonesia (http://smslap.ditjenpas.go.id diakses 19 Desember 2020 pukul 20.53 Wita.

Overcapasity terjadi karena laju pertumbuhan penghuni lapas/rutan yang tidak sebanding dengan sarana hunian lapas/rutan. Persentase input narapidana/tahanan baru dan output narapidana sangat tidak seimbang. Selain itu faktor pendorong lainnya adalah faktor hukumnya itu sendiri. YLBHI menyatakan bahwa politik pemidanaan saat ini sangat tidak tepat sehingga setiap orang dapat dengan mudah masuk penjara. YLBHI bahkan mendesak DPR untuk segera mengesahkan RKUHP.

Overcrowding cenderung berimplikasi terhadap beberapa hal diantaranya rendahnya tingkat keamanan di lapas/rutan yang dapat memicu masalah lain seperti pelarian, kerusuhan dan tidak efektifnya proses pembinaan narapidana. Implikasi lainnya adalah tingginya pelanggaran yang terjadi di dalam lapas/rutan seperti perkelahian dan peredaran narkotika.

Secara teoritik dapat dijelaskan bahwa overcapasity dapat menimbulkan prisonisasi (prisonization). Sykes dengan pains of imprisonment theory menyatakan bahwa pada hakikatnya prisonisasi terbentuk sebagai respon terhadap masalah-masalah penyesuaian yang dimunculkan sebagai akibat pidana penjara itu sendiri dengan segala bentuk perampasan (deprivation). Beberapa bentuk prisonisasi antara lain terjadinya perampasan sesama napi, pencurian di dalam kamar hunian, perkelahian antar kelompok, perploncoan napi/tahanan baru, pengelompokkan berdasarkan kedaerahan, bahasa khusus yang sukar dimengerti petugas, homoseksual serta kode etik untuk saling melindungi rahasia sesama napi (Angkasa, 2010).

Selain itu, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai bahwa banyak faktor yang menjadi penyebab over kapasitas dimana salah satunya adalah terpidana kasus narkotika yang mendominasi jumlah narapidana/tahanan yang ada di Indonesia. Pendekatan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum terhadap terpidana kasus narkotika cenderung punitif atau lebih condong ke arah penjara (Kompas, 15/02/2020).

Faktor pendorong lain adalah masalah hukumnya itu sendiri. Terkait dengan penyalahgunaan narkotika, berbagai pihak mendesak pemerintah dan DPR untuk segera merampungkan Revisi Undang Undang (RUU) No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Revisi tersebut diperlukan karena payung hukum yang berlaku saat ini belum mampu menekan peredaran barang “haram” tersebut. Kepala Bidang Studi Hukum Pidana Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Miko Ginting mengatakan salah satu poin yang perlu direvisi yakni pasal 112 UU Narkotika.

Menurutnya, pemerintah dan DPR perlu menjelaskan lebih rinci dalam pasal tersebut. Sebab, pasal tersebut tidak membedakan antara penyalah guna dengan pengedar atau bandar narkotika. Padahal, menurut Miko, seharusnya pasal tersebut hanya berlaku bagi pengedar atau bandar narkotika. Sebab, pasal 112 UU Narkotika memuat frasa “memiliki, menyimpan, menguasai” narkotika. Karenanya, penyalahguna narkotika lebih tepat dijerat dengan pasal 127 UU Narkotika. Keberadaan unsur ‘memiliki, menyimpan, menguasai’ penyalahguna akan mudah dijerat pidana penjara.

Sebab, secara otomatis penyalahguna pasti memiliki, menyimpan atau menguasai narkotika. Meski unsur delik itu tidak memuat unsur mens area yaitu tujuan atau maksud jahat dari kepemilikan narkotika tersebut. Selengkapnya, pasal 112 ayat (1) UU Narkotika menyebutkan setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan narkotika golongan I dalam bentuk tanaman, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 800 juta dan paling banyak Rp 8 miliar.

Sedangkan, pasal 127 ayat (1) UU Narkotika menyebutkan setiap orang penyalahguna narkotika golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun. Kemudian, pengguna narkotika golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun. Terakhir, pengguna narkotika golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun. Kemudian, pasal 127 ayat (3) UU Narkotika menyebutkan jika penyalahguna narkoba terbukti hanya menjadi korban, maka individu terkait wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial sesuai isi dari undang-undang tersebut. Bila membandingkan pasal-pasal tersebut, seharusnya terdapat perlakuan berbeda antara pengedar dan penyalahguna narkotika. Kondisi tersebut berakibat penyalahguna narkotika tidak memiliki kesempatan memulihkan ketergantungannya.

Dengan tidak pulihnya ketergantungan tersebut, berpotensi penyalahguna menggunakan/memakai narkotika kembali di dalam penjara. Akibatnya, praktik jual beli narkotika semakin subur, bahkan di dalam penjara sekalipun. Selain itu, UU Narkotika lebih mengedepankan penjatuhan sanksi pidana penjara yang menimbulkan permasalahan lain yaitu daya tampung penjara yang saat ini sudah melebihi kapasitas (over kapasitas). Penjara yang penuh menyebabkan terganggunya kondisi kesehatan bagi warga binaan dan petugas penjara. Selain itu, sesaknya penjara juga berpotensi tingginya konflik di dalam penjara.

Semangat untuk tidak melulu memenjarakan pelaku penyalahgunaan narkoba melainkan melakukan rehabilitasi telah muncul dalam sistem hukum Indonesia. Hal itu tercantum dalam Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 04 Tahun 2010 dan SEMA Nomor 04 Tahun 2010. Dalam surat edaran tersebut, Mahkamah Agung menetapkan lima kualifikasi pelaku penyalahgunaan, korban penyalahgunaan, dan pecandu narkotika yang dapat ditempatkan di rehabilitasi.

1). penangkapan terhadap terdakwa dilakukan secara tertangkap tangan. 2). pada saat tertangkap tangan tersebut ditemukan barang bukti pemakaian 1 hari narkotika dengan jenis dan bobot tertentu. 3). mengharuskan terbitnya surat uji laboratorium dengan hasil pemeriksaan positif menggunakan narkotika atas permintaan penyidik. 4). diperlukan surat keterangan dari dokter jiwa/psikiater pemerintah yang ditunjuk oleh hakim. 5). tidak terdapat bukti bahwa yang bersangkutan terlibat dalam peredaran gelap narkotika.

SEMA juga merinci jenis dan bobot pemakaian narkotika selama sehari sebagai berikut: 1). kelompok metamphetamine (shabu) : 1 gram, 2). kelompok MDMA (ekstasi) : 2,4 gram atau sama dengan 8 butir, 3). kelompok heroin : 1,8 gram, 4). kelompok kokain : 1,8 gram, 5). kelompok ganja : 5 gram, 6). daun koka : 5 gram, 7). meskalin : 5 gram, 8). kelompok psilosybin : 3 gram, 9). kelompok LSD (d-lysergic acid diethylamide) : 2 gram, 10). kelompok PCP (phencylidine) : 3 gram, 11). kelompok fentanil : 1 gram, 12). kelompok metadon : 0,5 gram, 13). kelompok morfin : 1,8 gram, 14). kelompok petidin : 0,96 gram, 15). kelompok kodein : 72 gram, 16). kelompok bufrenorfin : 32 mg.

Senada dengan hal tersebut, Kejaksaan Agung juga menerbitkan Surat Edaran Jaksa Agung (SEJA) NO. B-601/E/EJP/02/2013 tentang Penempatan Pecandu dan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial. Surat edaran tersebut diterbitkan dalam rangka menyamakan persepsi dalam penerapan SEJA RI No. SE-002/A/JA/02/2013 tentang Penempatan Korban Penyalahgunaan Narkotika ke lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial.

Dalam SEJA tersebut disebutkan pasal-pasal dalam Bab IX UU Narkotika menegaskan bahwa pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Ketentuan tersebut telah dijabarkan di dalam PP No. 25 Tahun 2011 tentang Pelaksanaan Wajib Lapor Pecandu Narkotika.

Mencermati fakta dan pendapat tersebut di atas maka seyogyanya penegak hukum lebih mengedepankan proses rehabilitasi terhadap penyalahguna narkotika dibanding penjatuhan sanksi pidana. Di negara-negara lain seperti Portugal yang lebih mengedepankan proses rehabilitasi justru mampu menekan peredaran narkotika. Jika hal tersebut dapat diterapkan di Indonesia maka akan dapat menekan laju penambahan penghuni lapas/rutan yang juga akan berimbas pada penghematan anggaran negara.

Penulis : Sitti Nuryani, SH , Pembimbing Kemasyarakatan Muda Pada Balai Pemasyarakatan Kelas II Kendari

Baca Juga

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button