Sempat Naik Penyidikan, Ini Alasan Kejari Hentikan Kasus Korupsi Kantor ESDM Sultra
KENDARI, DETIKSULTRA.COM – Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Kendari hentikan penyidikan kasus dugaan korupsi pembangunan kantor baru Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Sulawesi Tenggara (Sultra) dengan alokasi yang bersumber dari APBD tahun 2021 senilai Rp7,5 miliar.
Kasi Intelijen Kejari Kota Kendari, Bustanil N. Arifin menerangkan, penyidik tindak pidana khusus (Pidsus) menghentikan penyidikan karena tidak ditemukan kerugian negara.
Namun jauh sebelum itu, Kasi Intelijen Kejari Kota Kendari ini menjelaskan, awal mula kasus ini diungkap, dengan adanya laporan masyarakat ihwal pembangunan kantor ESDM Sultra yang tidak selesai dan tidak digunakan sebagaimana mestinya.
Berangkat dari laporan itu, Kepala Kejari Kota Kendari menerbitkan Surat Perintah (SP) Penyelidikan untuk menyelidiki ada atau tidaknya perbuatan melawan hukum pada kegiatan pembangunan dimaksud.
Dalam proses penyelidikan, tim penyidik melakukan pengumpulan bahan data dan keterangan (Pulbaket) dari berbagai sumber. Ditambah keterangan dari Inspektorat Sultra yang menjelaskan adanya keuangan negara yang tidak terbayar atas kegiatan yang dilaksanakan oleh CV Duta Morini Laksana.
“Atas adanya temuan tim penyelidik, selanjutnya dilakukan tindakan penyidikan untuk mengumpulkan bukti-bukti berdasarkan SP penyelidikan Kepala Kejari Kota Kendari,” ungkap dia, dalam rilis yang diterima awak media ini, Senin (12/8/2024).
Dengan adanya bukti awal, penyidik lalu melakukan pemeriksaan saksi-saksi, dengan menghadirkan Kepala Dinas ESDM Sultra, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) ESDM Sultra, Direktur CV. Duta Morini Laksana, BPKAD Sultra serta pihak-pihak terkait lainnya yang berjumlah 13 orang.
Selain itu tim penyidik juga melakukan kegiatan penggeledahan dan penyitaan beberapa dokumen yang nantinya akan dijadikan sebagai alat bukti surat maupun petunjuk dalam perkara a quo.
Dalam proses penyidikan ditemukan fakta hukum bahwa tidak dimanfaatkannya Kantor ESDM Sultra sebagaimana mestinya diakibatkan tidak mampunya APBD Sultra untuk menyelesaikan pembangunan. Sehingga pelaksanaan pembangunan dilakukan secara bertahap disesuaikan dengan kemapuan anggaran.
“Rencananya akan selesai dalam empat tahap pembangunan, dan pada pemeriksaan oleh tim penyidik masih dalam pembangunan tahap dua yang dianggarkan pada tahun anggaran 2021,” jelasnya.
Adanya keterlambatan penyelesaian kontrak pembangunan CV Duta Morini Laksana, dipicu keterlambatan bayar dari APBD yang tidak lancar. Sehingga berakibat pemutusan kontrak oleh PPK, akibat dinilai lalai atau tidak mampu melakukan pembayaran sesuai dengan progres pekerjaan.
Bahwa dari pemutusan kontrak dan keterlambatan pekerjaan tersebut mengakibatkan adanya jaminan uang muka, jaminan pelaksanaan dan denda yang harus dibayarkan kontraktor, yang saat itu telah melaksanakan kegiatan dengan progres fisik 50,04 persen.
Sedangkan dari realisasi pembayaran yang bersumber dari uang muka dan MC-1 baru mencapai 48,71 persen, sehingga pihak penyedia masih memiliki hak katas selosih realisasi fisik dan pembayaran sebesar 1,33 persen.
“Pihak penyedia juga telah membayarkan denda keterlambatan dan jaminan pelaksanaan ke kas daerah,” tuturnya.
Dengan keuangan negara yang tidak terbayarkan yang bersumber dari uang muka, jaminan pelaksanaan dan denda tersebut, tim penyidik melakukan gelar perkara di Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sultra pada 28 Mei 2024 lalu.
Yang mana dari hasil gelar perkara tersebut, terjadi perbuatan melawan hukum, namun perbuatan hukum dimaksud yaitu perbuatan melawan hukum perdata (Onrechtmatige Daad) dan bukan merupakan perbuatan melawan hukum dalam konsep pidana (wederrechtelijk).
Yang mana didukung dengan adanya keterangan ahli hukum pidana dari Universitas Hasanuddin (Unhas) Makassar yang juga berpendapat demikian. Selain itu, dari hasil perhitungan kerugian keuangan negara yang dilakukan oleh tim ahli dari Inspektorat Sultra menyimpulkan, tidak ditemukan adanya kerugian negara.
“Tidak ada kerugian keuangan negara akibat masih adanya hak penyedia atas prestasi pekerjaan fisik sebesar 50,04 persen, sedangkan realisasi pembayaran baru mencapai 48,71 persen. Sehingga berdasarkan hal-hal tersebut tim penyidik berpendapat untuk menghentikan penyidikan dalam perkara a quo,” pungkasnya. (bds)
Reporter: Sunarto
Editor: Biyan