Kilas Balik Korupsi Jembatan Cirauci Butur, Dua Tersangka Divonis Bersalah, Pejabat Negara Tak Terlibat?
KENDARI, DETIKSULTRA.COM – Perkara korupsi pembangunan Jembatan Cirauci II di Buton Utara (Butur), Sulawesi Tenggara (Sultra) telah diputus Pengadilan Negeri (PN) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Kota Kendari. Hakim PN Tipikor Kota Kendari memvonis bersalah dua terdakwa, Terang Ukoras Sambiring sebagai Direktur CV Bela Anoa, dan Rahmat selaku peminjam bendera perusahaan (kontraktor pemenang proyek). Masing-masing divonis tiga tahun penjara, dikurangi masa kurungan, dan denda Rp100 juta subsider tiga bulan pidana badan.
Kedua terdakwa dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam proyek pembangunan Jembatan Cirauci II Butur, dengan pagu anggaran senilai Rp2,1 miliar, yang bersumber dari DIPA Dinas Sumber Daya Air (SDA) dan Bina Marga Sultra tahun anggaran 2021.
Awal Mula Mencuatnya Kasus Korupsi Jembatan Cirauci II Butur
Penyidik tindak pidana korupsi Kejati Sultra memulai penyelidikan atas dugaan korupsi proyek Jembatan Cirauci II Butur sekitar Oktober 2023 lalu. Sejumlah saksi, termasuk eks atau mantan Kadis SDA dan Bina Marga Sultra, Burhanuddin.
Setelah penyidik melakukan rangkaian pemeriksaan, tibalah pada penetapan tersangka. Kala itu, yang ditetapkan tersangka Direktur CV Bela Anoa, Terang Ukoras Sambiring dan Rahmat peminjam perusahaan.
Baca Juga : Kejati Sultra Tetapkan Dua Tersangka Korupsi Proyek di Dinas SDA dan Bina Marga Sultra
Setelah penetapan tersangka, penyidik kembali memanggil beberapa saksi untuk diperiksa sebagai saksi tersangka. Eks Kadis SDA dan Bina Marga, Burhanuddin turut terpanggil, bahkan dalam rentetan pemeriksaan, pasca penetapan tersangka, Burhanuddin diperiksa sebanyak dua kali.
Asisten Intelijen (Asintel) Kejati Sultra, Ade Hermawan menerangkan, kasus ini terungkap ketika pengerjaan proyek Jembatan Cirauci II tidak menunjukkan adanya progres pembangunan fisik.
Padahal, Dinas SDA dan Bina Marga Sultra telah mencairkan dana atau uang muka 30 persen dari pagu anggaran Rp2,1 miliar, jika ditunaikan sekitar Rp600 juta untuk pengerjaan proyek Jembatan Cirauci II Butur. Namun hingga waktu yang sudah ditentukan, tersangka tidak mampu menyelesaikan pekerjaan tersebut.
“Uang muka sudah dicairkan, tapi volume pekerjaan hanya sekian persen saja,” kata Ade Hermawan.
Meski beberapa kali memeriksa saksi, Kejati Sultra tak kunjung menetapkan tersangka baru, hingga kasus ini dilimpahkan ke Pengadilan Negeri (PN) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Kota Kandari.
Dalam sidang perkara korupsi Jembatan Cirauci II Butur, dilangsungkan di Pengadilan Negeri (PN) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Kota Kendari. Pada tanggal 30 April 2024 lalu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejati Sultra menghadirkan sepuluh saksi, termaksud Burhanuddin.
Burhanuddin dicecar beberapa pertanyaan baik dari Majelis Hakim PN Tipikor Kota Kandari, maupun kuasa hukum dari dua terdakwa, menyangkut kapasitasnya sebagai Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) di Dinas SDA dan Bina Marga Sultra pada tahun 2021.
Burhanuddin Diduga Turut Serta di Kasus Jembatan Cirauci II Butur
Dalam surat dakwaan kedua terdakwa, nomor PDS-05/RP-9/P.313/Ft.1/02/2024 dan PDS-4/RP-9/P.3.13/Ft.1/02/2024, tertanggal 24 Maret 2024 yang ditandatangani Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri (Kejari) Muna, Musrin, menunjukkan dugaan keterlibatan Burhanuddin, hingga menimbulkan kerugian negara. Dalam surat dakwaan itu, diterangkan pada 2021, Pemprov Sultra alokasikan anggaran pembangunan Jembatan Cirauci II Butur sebesar Rp2,1 miliar, yang melekat di Dinas SDA dan Bina Marga Sultra.
Baca Juga : Mantan Pj Bupati Bombana Burhanuddin Diperiksa di Sidang Korupsi Jembatan Cirauci II Butur
Dinas SDA dan Bina Marga Sultra, lalu meminta Biro Pengadaan Barang dan Jasa untuk melakukan proses lelang. Dari 46 perusahaan yang mendaftar, hanya empat perusahaan, termaksud CV Bela Anoa dianggap memenuhi kualifikasi.
Berdasarkan syarat teknis yang ditentukan dalam dokumen lelang, maka calon penyedia jasa harus mempunyai kemampuan menyediakan peralatan utama, dalam melaksanakan pekerjaan (terlampir dalam surat dakwaan).
Terdakwa Terang Ukoras Sambiring yang menyadari tidak memiliki peralatan yang dimaksud, lalu melakukan perjanjian tertulis dengan beberapa pemilik alat untuk perihal sewa-menyewa alat, dan menggunakan dokumen perjanjian itu sebagai kelengkapan untuk memenuhi syarat teknis dalam proses lelang. Tetapi belakangan diketahui, CV Bela Anoa dalam pelaksanaannya tidak memiliki peralatan-peralatan seperti yang dimaksukkan dalam dokumen syarat teknis.
“Perbuatan tersebut bertentangan dengan ketentuan Pasal 17 ayat (1) Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah,” demikian tertulis dalam surat dakwaan terdakwa.
Mengetahui calon CV Bela Anoa sebagai calon rekanannya yang berpotensi menang lelang, tetapi tidak memiliki alat-alat utama untuk melaksanakan pekerjaan menemui, terdakwa Rahmat (Peminjam bendera perusahaan) menghubungi rekannya bernama Ono dan terdakwa Terang Ukoras Sambiring.
Ketiga bertemu disalah satu warkop di Kota Kendari pada Mei 2021, dengan maksud membahas soal pekerjaan Jembatan Cirauci II yang akan dikerjakan terdakwa Rahmat dengan menggunakan perusahaan CV Bela Anoa. Atas rencana itu, terdakwa Terang Ukoras Sambiring menyerahkan semua tanggung jawab ke terdakwa Rahmat.
Padahal, terdakwa Terang Ukoras Sambiring mengetahui dan dapat memastikan bahwa terdakwa Rahmat bukanlah penyedia jasa spesial jembatan, dan juga pengalihan pekerjaan dilakukan tanpa persetujuan Dinas SDA dan Bina Marga.
“Perbuatan tersebur bertentangan dengan ketentuan Pasal 53 ayat (1) dan (2) UU Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi,” demikian isi dalam surat dakwaan tersebut.
Hingga pada akhirnya, Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Dinas SDA dan Bina Marga Sultra menerbitkan surat penunjukan penyedia barang/jasa (SPPBJ), dan dilakukan penandatanganan kontrak pada 21 Mei 2021 dengan CV Bela Anoa.
Tapi ternyata terdakwa Direktur CV Bela Anoa mengarahkan terdakwa Rahmat untuk tampil menandatangani kontrak. Padahal, terdakwa juga mengetahui jika terdakwa Rahmat bukan pegawai atau pengurus CV Bela Anoa. Hal ini bertentangan dengan Permen PUPR Nomor 14 Tahun 2020 tentang Standar dan Pedoman Pengadaan Jasa Konstruksi.
Setelah dinyatakan CV Bela Anoa jadi pemenang tender, Rahmat dan Terang bersama-sama menyediakan kelengkapan dokumen jaminan uang muka 30 persen sebesar Rp612 juta melalui surat permohonan ke PPK pada 24 Juni 2021.
Atas dasar itu saksi Burhanuddin selaku Kepala Dinas SDA dan Bina Marga merangkap Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dan PPK memproses dan membayar uang muka 30 persen melalui BPD Sultra yang ditransfer ke rekening CV Bela Anoa. Terdakwa Rahmat kemudian memberikan fee perusahaan kepada terdakwa Terang senilai Rp50 juta dari sisa pencairan uang muka, setelah potong pajak.
Namun belakangan, uang muka yang dicairkan tersebut, tidak diperuntukkan untuk persiapan pembangunan Jembatan Cirauci II Butur, melainkan digunakan untuk kepentingan pribadi. Akibatnya membuat pekerjaan terlambat yang mestinya ditargetkankan mencapai 76,06 persen dari rencana awal, hanya 2,40 persen.
Diketahui bobot pengerjaan hanya 2,40 persen, CV Bela Anoa mendapat teguran selama tiga kali berturut-turut dari saksi Burhanuddin, dan melakukan rapat pembuktian sebanyak tiga kali untuk penyelesaian keterlambatan. Adapun alasan keterlambatan pengerjaan Jembatan Cirauci II Butur, dikarenakan peralatan yang kurang, pengambilan sampel lambat, kondisi cuaca dan lain sebagainya (terlampir), sehingga menyebabkan keterlambatan terus menerus.
“Berdasarkan syarat-syarat umum kontrak, dinyatakan kritis apabiladalam periode I, selisih pelaksanaan dengan rencana lebih besar 10 persen, penyedia jasa telah gagal pada uji coba ke-3. Seharusnya saksi Burhanuddin selaku PPK menerbitkan peringatan kontrak kritis III, dan dapat melakukan pemutusan kontrak secara sepihak, namun itu tidak dilakukannya (Saksi Burhanuddin),” demikian penjelasan yang dikutip dari surat dakwaan.
Selanjutnya, jelang berakhirnya kontrak pekerjaan Jembatan Cirauci II Butur pada 17 Oktober 2021, terdakwa Terang ajukan permohonan perpanjangan pelaksanaan pekerjaan selama 57 hari kalender, terhitung sampai 13 Desember 2021.
Saksi Burhanuddin lalu memerintahkan panitia peneliti pelaksanaan kontrak untuk melaksanakan evaluasi. Berdasarkan hasil evaluasi panitia, adendum kontrak atau perpanjangan pelaksanaan pekerjaan ditandatangani saksi Burhanuddin.
Tetapi lagi-lagi, hingga masa berakhirnya perpanjangan 57 kalender juga tidak dapat diselesaikan, dan progres volume fisik pekerjaan masih sama dengan sebelum dilakukan adendum kontrak dan kembali dilakukan pengecekan ulang bobot pekerjaan hasilnya hanya sebesar 2,23 persen, dari rencana 100 persen.
Dengan berkenaan CV Bela Anoa tidak dapat menyelesaikan pekerjaan, maka saksi Burhanuddin memutus kontrak dan meminta klaim jaminan pencairan sebesar Rp102 juta, ditujukkan ke PT Asuransi Rama Satria Wibawa agar disetorkan ke kas umum daerah Pemprov Sultra.
Namun, ternyata permintaan pencairan tersebut tidak dipenuhi, melainkan ditanggapi dengan surat, yang isinya surat teguran CV Bela Anoa dari Dinas SDA dan Bina Marga belum diterima PT Asuransi Rama Satria Wibawa, dan surat dianggap kadarluarsa sehingga pengajuan klaim CV Bela Anoa tidak ditindaklanjuti karena tidak prosedural.
Perbuatan kedua terdakwa pun, dianggap telah merugikan keuangan negara sebesar Rp647 juta, sebagaimana laporan hasil audit perhitungan kerugian negara oleh auditor Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sultra tertanggal 14 Januari 2024.
Dengan demikian dalam dakwan primair disebutkan perbuatan terdakwa Terang Ukoras Sembiring bersama-sama dengan terdakwa Rahmat dan saksi Burhanuddin sebagaimana tersebut diatas, diatur dan diancam dengan pidana dalam Pasal 2 ayat (1) jo pasal 18 ayat (1) huruf b UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Trindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubaban Atas UU RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
Sementara dakwaan subsidair, menyebut terdakwa Terang Ukoras Sembiring bersama-sama dengan terdakwa Rahmat dan saksi Burhanuddin sebagaimana disebutkan dalam dakwaan primair di atas, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan perbuatan, dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya, karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara.
Kajati Sultra Soal Dugaan Keterlibatan Burhanuddin
Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Sultra, Hendro Dewanto menyikapi soal dugaan keterlibatan eks Kadis SDA dan Bina Marga, sekaligus eks Bupati Pj Bombana, Burhanuddin ,di perkara korupsi Jembatan Cirauci II Butur. Kajati Sultra yang baru menjabat beberapa bulan ini menyatakan, untuk saat ini, penyidik masih mempelajari dugaan keterlibatan Burhanuddin, berdasarkan konstruksi kasusnya.
“Masih kita pelajari, karena saya sih melihatnya konstruksi perkaranya, nanti kita lihat lagi, apakah memang ada fakta-fakta yang mengarah kesana. Karena dia selaku KPA kalau tidak salah,” kata dia, seusai berkunjung ke Kantor PWI Sultra, Rabu (17/07/2024) lalu.
Melihat fakta kasusnya, kata dia, Calon Bupati Bombana tersebut sudah beberapa kali memberikan peringatan kepada kontraktor untuk menyelesaikan pekerjaannya. Tetapi, teguran dari Burhanuddin justru tidak diindahkan oleh kontraktor proyek pembangunan Jembatan Cirauci II Butur sampai masa kontrak selesai.
“Tetapi dalam faktanya, saya hanya melihat bahwa dia (Burhanuddin), sudah mengingatkan, dan ada beberapa peringatan,” tutur Hendro Dewanto.
Saat ditanya, apakah memungkinkan dalam kasus korupsi tidak melibatkan penyelenggara negara (pejabat), ia dengan tegas mengatakan, dimungkinkan.
Hanya saja, ia tidak menerangkan secara gamblang alasan-alasan apa saja yang kemudian menjadi acuan hukum, sehingga seorang pejabat tidak terlibat dalam kasus korupsi.
“Mungkin, mungkin, karena apa kita lihat saja unsurnya, karena dalam pasal itu setiap orang,” tukasnya. (ads)
Reporter: Sunarto
Editor: Wulan