Hukum

Eks Wamen Hukum dan HAM Sebut Penundaan Pemilu 2024 Bentuk Pelecehan Konstitusi

Dengarkan

KENDARI, DETIKSULTRA.COM – Sejumlah petinggi partai politik (Parpol) bersuara mengusulkan penundaan Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2024 mendatang.

Seperti PKB, PAN dan beberapa partai koalisi lainnya turut mendukung dengan alibi, Indonesia tengah menghadapi pandemi Covid-19.

Secara bersamaan Indonesia tengah berjuang memulihkan ekonomi pasca pandemi, belum lagi keuangan negara yang kurang baik serta biaya Pemilu yang relatif tinggi.

Tentu wacana penundaan Pemilu ini menarik perhatian banyak orang di republik ini, salah satunya mantan (Eks) Wakil Menteri (Wamen) Hukum dan HAM, Deny Indrayana.

“Saya dengan cemas dan gusar mengikuti perkembangan politik-hukum konstitusi
di tanah air. Dalam hari-hari ini, partai-partai koalisi pemerintah menyatakan dukungannya bagi penundaan pemilu 2024,” ujar dia dalam keterangan persnya yang diterima Detiksultra.com, Senin (28/2/2022).

Menurut dia, penundaan pemilu berarti pula perpanjangan jabatan presiden dan parlemen serta kepala daerah. Tentunya ini adalah perkembangan yang memalukan, sekaligus membahayakan, karena itu harus ditanggapibdengan serius dan cepat.

Dia menyebutkan, wacana penundaan pemilu, adalah bentuk pelanggaran konstitusi yang telanjang alias pelecehan atas konstitusi (contempt of the constitution).

Dalam teori ketatanegaraan
pelanggaran atas konstitusi hanya dimungkinkan dalam situasi sangat darurat, hanya demi menyelamatkan
negara dari ancaman serius yang berpotensi menghilangkan negara.

Sejarah Indonesia mencatat,
pembubaran konstituante dan kembali ke UUD 1945, melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, sebagai salah satu pelanggaran konstitusi, yang akhirnya diakui menjadi sumber hukum bernegara yang sah dan berlaku.

Namun alasan pelanggaran konstitusi harus jelas untuk penyelamatan negara dan melindungi seluruh rakyat
Indonesia (fo the sake of the nation and the people).

Ukurannya adalah dampak dari tindakan pelanggarann konsitusi harus semata-mata demi menyelamatkan negara bangsa. Indikator penting lainnya adalah
pembatasan kekuasaan (limitation of power) dan penhormatan terhadap hak asasi manusia sebagai pilar
pilar utama dari prinsip konstitusionalisme.

Maka, dengan parameter demikian, menunda pemilu 2024, menambah masa jabatan presiden, memperpanjang masa jabatan parlemen, dan kepala daerah.

Ini merupakan potret pelanggaran
konstitusi yang berjamaah, karena lebih didasari pada dahaga atas kekuasaan semata (machtsstaat).

“Bukan berdasarkan perjuangan tegaknya negara hukum (rechtsstaat). Kalaupun prosedur perubahan konstitusi dilakukan, maka perubahan yang dilakukan dengan melanggar prinsip konstitusionalisme yang pondasi dasarnya adalah pembatasan kekuasaan, adalah batal demi
konstitusi itu sendiri (constitutionally invalid),” katanya.

Pada prinsipnya, konstitusi diubah untuk melegitimasi pelanggaran konstitusi, apalagi disalahgunakan untuk, memperbesar kekuasaan, yang justru seharusnya dibatasi oleh konstitusi itu sendiri.

Tidak boleh konstitusi disalahgunakan untuk memberikan legitimasi, atas
penumpukan kekuasaan yang sejatinya melanggar maksud dan tujuan hadirnya hukum dasar konstitusi itu sendiri.

“Kalau rencana pelecehan massal konstitusi ini terus dilanjutkan, maka kita sebagai anak bangsa harus berteriak lantang untuk menolaknya. Kita harus menyadarkan elit negeri bahwa konstitusi harus dihormati, bukan dilecehkan,” sebut Guru Besar Hukum Tata Negara.

Selain itu, Deny Indrayana juga menyoroti  Presiden Jokowi, sebagai kepala negara. Katanya Jokowi harus segera meluruskan
pelanggaran serius ini.

“Ini jika beliau (Jokowi, red) serius dengan sumpah jabatannya di atas Al Qur’an untuk
menjalankan konstitusi dengan selurus-urusnya, dan jika beliau tidak ingin dianggap sebagai bagian darinpelaku yang jusru mengorkestrasi pelanggaran konstitusi bernegara tersebut,” tegas dia.

Ia meminta, elemen masyarakat madani tidak boleh membiarkan kesalahan mendasar ini dan harus melakukan
konsolidasi dan penolakan keras.

“Jangan sampai kita terlambat, hingga yang melakukan pelurusan sejarah
adalah hukum alam-sunatllah,” tandasnya.

Reporter: Sunarto
Editor: J. Saki

Baca Juga

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button