Kolaka

Praktisi Hukum Sebut Setiap SPB Yang Diterbitkan Syahbandar Telah Sesuai Prosedur

Dengarkan

KENDARI, DETIKSULTRA.COM – Penerbitan  surat persetujuan berlayar (SPB) dari Syahbandar melalui permohonan yang dimohonkan perusahaan keagenan kapal yang di tunjuk salah satu perusahaan tambang yang ada di Kolaka Utara (Kolut) dinilai menabrak aturan, mencuak ditengah publik.

Pasalnya Syabandar melalui perwakilannya wilayah kerja (Wilker) Kolaka Utara dalam menerbitkan SPB ke perusahaan dimaksud, diduga tak memiliki izin terminal khusus (tersus) dan tidak memiliki izin terminal untuk kepentingan sendiri (TUKS).

Akan hal itu, Praktisi Hukum Sulawesi Tenggara (Sultra), DR.HC. Supriadi SH,.MH.Ph.D saat ditemui di Kendari turut menyikapi perihal dugaan konspirasi yang diarahkan ke Syahbandar untuk wilayah Kolaka dan Kolaka Utara.

Berdasarkan aturan, Supriadi mengatakan SPB tersebut dapat di terbitkan oleh wilayah kerja (wilker) Kolaka Utara yang adalah bagian dari wilayah kewenangan Kantor Unit Penyelengara Pelabuhan (KUPP) atau Syahbandar Kelas III Kolaka.

Kewenangan wilker Kolaka Utara untuk dapat penerbitan SPB di wilayah itu, dasar pertimbangan demi percepatan pelayanan untuk menghindari demorage atau kerugian. Ditambah secara kewilayahan, wilker Kolaka Utara memiliki tugas dan wewenang berdasarkan cakupan wilayah perairan yang sudah ditentukan.

Supriadi menjelaskan, dasar untuk menerbitkan SPB itu diatur dalam Permenhub nomor 82 tahun 2014. Permohonan penerbitan SPB tersebut dimohonkan oleh perusahaan keagenan kapal.

Pada prinsipnya persyaratan penerbitan SPB yaitu harus melakukan lapor tiba, daftar awak kapal, daftar muat (munifest) dari pelabuhan asal, daftar pemeriksaan kapal, kemudian surat pernyataan nahkoda (master seling deelaration), daftar awak kapal dan sertifikat dokumen keselamatan pengawakan minimum, surat persetujuan muatan geladak (jika ada muatan diatas geladak), bukti surat perintah kerja pandu (SPK) bagi kapal> 500MT.

Lalu syarat lainnya, bukti pembayaran pendapatan negara bukan pajak (PBNP) dan bukti pembayaran jasa kepelabuhanan. Bukti pembayaran jasa labuh dari otoritas pelabuhan.

Laporan keadatangan dan keberangkatan kapal dari bidang lalu lintas angkutan laut dan usaha kepelabuhanan memurandum dokumen atau surat-surat kapal, daftar muatan kapal, bukti rencana pemuatan dan perhitungan stabilitas.

Apabila syarat yang dimaksud terpenuhi tidak ada alasan pembenar oleh pihak KUPP tidak menerbitkan SPB, sebab demi terhindar dari Undang-Undang nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Katanya

Kembali dijelaskanya, sesuai pada pasal 219 ayat (1) UU nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, diatur bahwa setiap kapal yang berlayar wajib memiliki SPB.

Syahbandar adalah pejabat pemerintah
dipelabuhan yang diangkat oleh Menteri dan memiliki kewenangan tertinggi untuk menjalankan dan melakukan pengawasan terhadap dipenuhinya ketentuan terutama menyangkut penjaminan keselamatan dan keamanan pelayaran.

Jadi apabila misalnya asal barangnya itu diduga ilegal, karena diperoleh dari hasil pelanggaran hukum berarti mengacu ke UU No. 3 tahun 2020 perubahan dari UU No.4 tahun 2009, jika tersusnya bermasalah maka mengacu pada PM 20 tahun 2017 yang tidak ada hubungan hukumnya dengan ke Syahbandaran yang mengacu pada UU No.17 Tahun 2008 tentang pelayaran dan PM No.82 tahun 2014 tentang syarat penerbitan SPB.

“Dua hal yang terpenting terkait Syabandar yakni menyangkut jaminan keselamatan dan kemanan pelayaran,” jelas Supriadi.

Lebih lanjut, Dosen Hukum Unsultra Kendari ini membeberkan KUPP boleh tidak menerbitkan SPB apabila menyangkut daftar muat yang draf tongkangnya terlalu berlebihan.

Kemudian dokumen kapalnya tidak layak laut alias tidak jelas, sehingga dianggap tidak menjamin keamanan dan keselamatan diperairan.

“Ataukah menanyangkut soal cuaca. Syabandar bisa tidak menerbitkan SPB kalau cuaca itu tidak menjaminkan keamanan  keselamatan kapal atau apabila ada putusan dari pengadilan, karena tugas dan fungsi KUPP kewenangannya di bibir pantai, diluar dari itu menyangkut soal daratan itu tersendiri,” jelas dia jangan di gabung-gabungkan.

Ia kembali menerangkan, seperti yang dijelaskan dalam pasal 339 ayat (1) UU nomor 17 tahun 2008 tentang pelayaran. Setiap pemamfaatan garis pantai untuk melakukan kegiatan tanbat kapal dan bongkar muat barang diluar kegiatan di pelabuhan, tarsus, TUKS, wajib memiliki izin.

Untuk ketentuan pidananya terdapat di pasal 297 ayat (2) dikenakan jika beroperasi tanpa izin.

“Tapi yang disanksikan adalah pemilik tersus, kan begitu,” imbuh Dosen Hukum di salah satu universitas di Kendari.

Ditempat terpisah, Gubernur Lumbung Informasi Rakyat (Lira) Sultra, Karmin jika melihat pergerakan mahasiswa kemarin, harusnya mereka terlebih dahulu kaji terkait persoalan yang harus dikritik tidak tabrak kiri kanan.

Sebab, dalam penegakan hukum tidak semudah membalikan telapak tangan, sebab disitu ada proses. Tentunya mahasiswa yang menggelar aksi demonstrasi menginginkan agar diproses oleh APH.

“Dalam proses penegakan hukum tentu ada kajian, telaah dan ekspos. Kalau kami dari Lira mengritik satu persoalan harus betul-betul, matang tidak asal bunyi harus  dan harus by data,” ucap Karmin.

Sehingga dalam proses kebebasan berpendapat ini, ia menginginkan kepada mahasiswa ketika melakukan pergerakan mengritik pemerintah maupun disektor pertambangan yang marak disuarakan saat ini, harus benar-benar yang subtansi.

“Jangan hanya dengar dipinggir jalan lalu berteriak, yang dirugikankan orang lain. Itu yang kita harapkan. Artinya kita mengkritik sesuai data yang ada jangan mengada-ngada,” tandasnya.

Reporter: Sunarto
Editor: Via

Baca Juga

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button