Polres Kolaka Segera Gelar Perkara Kasus Penyerobotan Lahan Warga Kelurahan Anaiwoi

KOLAKA, DETIKSULTRA.COM – Penyidik Unit II Reserse Kriminal (Reskrim) Polres Kolaka, Sulawesi Tenggara (Sultra) menggelar penataan batas tanah atas kasus dugaan penyerobotan dan pengrusakan lahan warga di Kelurahan Anaiwoi, Kecamatan Tanggetada, Kolaka, Kamis (13/2/2025) kemarin.
Dalam agenda penataan batas tanah ini, penyidik menghadirkan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kolaka, pelapor serta para terlapor dugaan penyerobotan dan pengrusakan lahan. Dalam kesempatan itu, baik pelapor maupun terlapor, diberikan kesempatan untuk menunjukkan batas lahan yang mereka klaim. Survei Pemetaan Seksi I Kantor BPN Kolaka, Asmanto Sultan mengatakan, pihaknya sudah mengambil data penataan batas dari masing-masing pihak yang mengklaim lahan tersebut.
“Versinya ada dua yang diklaim, pemohon (pelapor) dan masyarakat (terlapor). Kami ukur penataan batasnya mereka, dimana mereka klaim (lahan),” ucap kepada awak media ini.
Selanjutnya, pasca penataan batas lahan dilakukan, BPN kemudian akan melihat posisi tanah yang diklaim oleh pelapor berdasarkan sertifikat atau Surat Hak Milik (SHM) tanah.
“Nanti kita dudukkan, di posisi sertifikat dimana, benarkah mereka klaim antara kedua belah pihak, dan kesimpulan dari agenda hari ini, kita akan panggil penggugat dan masyarakat (terlapor),” jelas Asmanto Sultan.
Sementara itu, Kasat Reskrim Polres Kolaka, Iptu Hastantya Bagas Saputra menerangkan, penataan batas ini,
adalah tindak lanjut dari laporan polisi yang dilayangkan oleh Abdul Latif tahun 2019 dan Hasrul La Aci 2024.
“Tadi sudah dilakukan identifikasi lapang dari Pak Imran (keluarga pelapor), dan masyarakat yang mana melakukan pekerjaan (menyerobot dan pengrusakan) di tanah ini,” tuturnya.
Lebih lanjut, mantan Sepri Kapolda Sultra ini menyebut, bahwa laporan dugaan penyerobotan dan pengrusakan lahan tersebut, masih dalam tahap penyelidikan. Kini pihaknya tinggal menunggu hasil penataan batas lahan dari BPN, untuk kemudian dilakukan gelar perkara.
“Selanjutnya kami menunggu hasil identifikasi lapang dari BPN, kita akan melakukan penyelidikan kembali dan nanti terakhir kita lakukan gelar perkara,” katanya.
Di tempat yang sama Darmin, kuasa hukum masyarakat sekaligus terlapor dalam kasus ini, menyoroti penerbitan sertifikat yang dikeluarkan BPN untuk pelapor pada tahun 2019. Pasalnya dalam proses pengurusan sertifikat, BPN sempat dihadang oleh para terlapor saat BPN turun melakukan pengembalian batas.
“Dengan alasan masih ada hak-hak orang lain di sini. Semestinya ketika terjadi persoalan di lapangan, BPN harus menangguhkan dulu prosesnya, jangan dulu ada proses penyertifikatan, karena masalah tanah ini belum selesai,” ucap Darmin.
Kendati demikian, Darmin mengakui, bahwa secara de facto pelapor kuasai lahan yang sementara disengketakan. Hanya saja, secara administrasi pengusulan hak milik pelapor dinilai cacat hukum, karena tidak ada surat dari Pemerintah Desa Popalia ataupun Kelurahan Anaiwoi dalam proses penerbitan sertifikat ke BPN. Untuk itu, ia bersama masyarakat yang diduga melakukan penyerobotan dan pengrusakan mempertanyakan proses pemberian legalitas terhadap lahan yang kini dikuasai pelapor.
“Makanya kami bertanya, kenapa bisa terbit sertifikat, apa yang menjadi dasar penerbitan sertifikat, tentunya harus ada alas hak yang awal,” jelasnya.
Olehnya itu untuk sementara pihaknya masih menunggu hasil penataan tanah dari BPN. Apabila sudah ketahui batas-batas lahan sesuai sertifikat yang dikeluarkan BPN, maka dirinya akan mengajukan gugatan pembatalan sertifikat.
Keluarga pelapor, Imran La Aci menerangkan, pernyataan Darmin mengenai penerbitan sertifikat karena tidak diawali dengan alas hak awal dianggap keliru. Pertama, ia menegaskan, bahwa mereka sudah memiliki legalitas yang dikeluarkan lemerintah Keluruhan Anaiwoi, sebagai syarat untuk penerbitan sertifikat.
“Tidak mungkin BPN menerbitkan SHM, jika tidak ada legalitas awal. Jadi kami anggap ini alibi atau pembenaran mereka untuk menyerobot dan merusak lahan kami,” ungkap Imran.
Kemudian kata dia, masyarakat yang datang menyerobot lahan milik keluarganya, bukan domisili Kelurahan Anaiwoi, melainkan domisili di Desa Popalia, sehingga timbul argumen dari penyerobot ini, penerbitan sertifikat di BPN cacat administrasi, lantaran Kades Popalia tidak pernah mengeluarkan SKT.
“Bagaimana Kades Popalia mau keluarkan SKT, sementara posisi lahan kami berada di wilayah Kelurahan Anoiwoi, ini kan lucu. Ditambah alasan lain mereka, katanya ini adalah tanah adat atau ulayat. Padahal Wakil Bupati Kolaka sebelumnya sudah mengatakan di Kecamatan Tanggetada tidak ada tanah ulayat,” urainya.
Selain itu, dalam kesempatan ini, Imran menduga bahwa Darmin adalah otak intelektual di balik penyerobotan dan pengrusakan yang dilakukan sekelompok masyarakat Popalia di lahan milik keluarganya. Karena sejak pelaporan dugaan penyerobotan dan pengrusakan lahan bergulir di tahun 2019 hingga saat ini, Darmin menyebut dirinya sebagai kuasa hukum dari masyarakat. Sementara Darmin diketahui baru menyelesaikan sumpah advokadnya. Belum lagi, selama masalah ini berproses, Darmin tidak pernah memperlihatkan atau menunjukkan kuasa yang diberikan oleh masyarakat untuk mendampingi mereka dalam menghadapi sengketa.
“Kami duga Darmin ini yang menggerakkan masyarakat untuk menyerobot dan merusak lahan kami yang sudah bersertifikat,” tukas Imran. (bds)
Reporter: Sunarto
Editor: Wulan