Pilkada Serentak Dan Upaya Sosiologis Masyarakat Dalam Meraih Kesejahtraan
Pilkada Serentak Dan Upaya Sosiologis Masyarakat
Dalam Meraih Kesejahtraan
Oleh : DRLAK
Pilkada serentak merupakan momentum penting dalam sistem demokrasi Indonesia. Akan tetapi dalam pelaksanaannya, terdapat berbagai dinamika sosial yang mempengaruhi interaksi antara masyarakat dan calon kandidat pemimpinnya. Salah satu fenomena yang mencolok adalah adanya harapan masyarakat, terutama dari kalangan masyarakat menengah ke bawah, akan selalu diwarnai transaksi imbal balik dari dukungan yang mereka berikan kepada calon. Hal ini menciptakan suatu siklus di mana politik menjadi transaksi bisnis antara kandidat dan rakyat pemilih.
Perlu kami garis bawahi terkait harapan imbalbalik masyarakat yang dimaksud.
Masyarakat menengah ke bawah sering kali merasa terpinggirkan dalam proses politik. Ketika mereka memberikan dukungan kepada calon, ada harapan bahwa dukungan tersebut akan diimbangi dengan sesuatu yang nyata, seperti bantuan sosial, proyek pembangunan, atau bahkan uang. Harapan ini muncul karena pengalaman masa lalu, di mana banyak kandidat yang berjanji untuk memberikan imbal balik setelah terpilih. Misalnya, dalam beberapa daerah, masyarakat sering kali mendapatkan bantuan langsung tunai (BLT) atau proyek infrastruktur sebagai bentuk balas jasa setelah pemilihan.
Harapan ini dapat dimaklumi, mengingat kondisi ekonomi yang sulit dan ketidakpastian yang dihadapi oleh masyarakat. Dalam konteks ini, politik menjadi sarana untuk mencapai kesejahteraan, dan masyarakat merasa berhak untuk mendapatkan imbal balik dari dukungan yang mereka berikan.
Penegasan lainnya terkait adanya transaksi bayar membayar dalam Politik pilkada selama ini. Fenomena transaksi bayar membayar dalam politik lokal selama ini semakin menguat. Calon-calon yang ingin memenangkan pilkada sering kali menggunakan berbagai cara untuk menarik dukungan, termasuk memberikan uang atau barang kepada masyarakat. Hal ini menciptakan persepsi bahwa dukungan politik adalah barang dagangan yang dapat dibeli. Misalnya, dalam beberapa kasus, calon memberikan uang tunai kepada pemilih atau membagikan sembako menjelang pemilihan pilpres kemarin.
Praktik ini tidak hanya melibatkan calon, tetapi juga tim sukses dan relawan yang bekerja untuk memenangkan kandidat. Mereka sering kali diberi insentif untuk menggerakkan massa, dan ini menambah beban biaya bagi kandidat. Dengan biaya yang tinggi untuk kampanye, banyak calon yang terpaksa melakukan hal-hal yang tidak etis demi meraih suara.
Bila melihat dari sisi para kandidat calon maka biaya kampanye dalam pilkada angsung akan memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk memilih pemimpin secara langsung. Namun, sistem ini juga membawa konsekuensi, terutama dalam hal biaya. Biaya kampanye yang tinggi menjadi salah satu tantangan terbesar bagi calon. Mereka harus mengeluarkan uang untuk berbagai keperluan, mulai dari iklan, APK pemilu, transportasi, hingga biaya operasional tim sukses yang jau lebih berdimensional.
Biaya yang tinggi ini sering kali membuat kandidat merasa terjebak dalam lingkaran setan. Setelah terpilih, mereka merasa perlu untuk “mengembalikan” modal yang telah dikeluarkan selama kampanye. Hal ini dapat menyebabkan kandidat berfokus pada kepentingan bisnis dan mengabaikan tanggung jawab mereka terhadap rakyat. Dalam banyak kasus, hal ini mengarah pada korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.
Bisa kita mengambil perbandingan apakah ada pengarunya biaya politik terhadap fokus pada Rakyat, tapi ini berdasar pada hasil amatan selama ini. Ketika biaya politik menjadi sangat tinggi, fokus kandidat terhadap kepentingan masyarakat dapat terganggu. Mereka lebih cenderung untuk berpikir tentang bagaimana cara mengembalikan modal dan mendapatkan keuntungan dari posisi mereka. Ini menciptakan jarak antara pemimpin dan rakyat, di mana pemimpin lebih terlihat sebagai pengusaha daripada kepentingan pelayan kepada masyarakat publik.
Sebagai contoh, beberapa kepala daerah yang terpilih dengan biaya tinggi sering kali terlibat dalam proyek-proyek yang menguntungkan secara finansial bagi mereka, tetapi tidak memberikan manfaat jangka panjang bagi masyarakat. Proyek infrastruktur yang dibangun sering kali tidak sesuai dengan kebutuhan masyarakat, dan lebih banyak berfokus pada keuntungan pribadi. Apa dampaknya?. Dari fenomena diatas juga berdampak pada partisipasi politik masyarakat. Ketika masyarakat merasa bahwa dukungan mereka hanya akan dibalas dengan imbalan materi, mereka mungkin kehilangan kepercayaan pada proses politik.
Hal ini dapat menyebabkan apatisme politik, di mana masyarakat enggan untuk terlibat dalam pemilihan umum karena merasa suara mereka tidak akan berarti. Sebaliknya, jika masyarakat melihat bahwa pemimpin yang terpilih benar-benar peduli dan memberikan kontribusi positif bagi komunitas, partisipasi politik dapat meningkat. Oleh karena itu, penting bagi calon pemimpin untuk membangun hubungan yang baik dengan masyarakat dan menunjukkan komitmen mereka terhadap kesejahteraan rakyat.
Tidak berlebihan kiranya bila memberikan solusi untuk mengatasi asalah ini, diperlukan reformasi dalam sistem politik dan pemilihan umum. Ada beberapa poin yang dapat diambil antara lain, terkait Edukasi Politik, edukasi ini dapat dilakukan melalui berbagai media dan organisasi masyarakat sipil. Yang berikut adalah kebijakan dana kampanye, regulasi biaya Kampanye ini oleh pemerintah perlu meregulasi secara serius, mengatur dan membatasi biaya kampanye untuk mencegah praktik korupsi dan transaksi yang tidak etis. Ini juga dapat menciptakan persaingan yang lebih sehat di antara calon.
Adanya transparansi dan akuntabilitas dari setiap kandidat peserta pemilu mak calon pemimpin diharuskan untuk melaporkan penggunaan dana kampanye dan proyek yang mereka jalankan. Ini akan membantu masyarakat untuk mengawasi dan menilai kinerja mereka setelah terpilih. Dari sinilah kita dapat melihat dorongan partisipasi masyarakat, mereka harus diajak untuk terlibat dalam proses politik, tidak hanya saat pemilihan, tetapi juga dalam perencanaan dan pelaksanaan program-program pembangunan.LAK