Opini

Merawat Marwah Kesultanan Buton di Era Kekinian

Dengarkan

Merawat Marwah Kesultanan Buton di Era Kekinian
Oleh Amijaya Kamaluddin (Lakina Tobe-Tobe)

Tulisan saya ini mungkin agak terlambat namun lebih baik daripada tidak melakukannya. Saya akan Memulai dengan mengekspresikan ucapan “Selamat Ulan Tahun” saya, Kepada Ibu Permaisuri Yang Mulia, Hj. Wa Ode Maasra Manarfa. S.os. M.Si. yang ke 70 tahun. Perayaannya bertepatan dengan tanggal 6 November 2024, dan penyelenggaraannya di kediaman pribadi Yang Mulia Panutan dan pimpinan Kesultanan Buton. Bapak Yang di Pertuan Agung Ir. H. LM. Sjamsul Qamar, M.T., IPU, terpilih sebagai Sultan Buton ke- 41. Beliau menggantikan Sultan Buton ke-40, dr. H. LM Izat Manarfa, M.Sc yang mangkat 26 Maret 2024.

Dalam Perayaan ultah ke 70 kali ini ada yang berbeda, selama ini dirayakan perayaan ultah hanya dalam kerabat kecil, saudara dan sepupu, keponakan dengan penyajian yang hikmat, sederhana, namun kali ini perayaannya di hadiri seluruh perangkat Kesultanan Buton ke 41 dan secara kebetulan undangan perayaan tersebut dihadiri juga para tamu undangan majelis taklim ibu-ibi pengajian dari KKST Maluku Ambon. Perayaan berlangsung meriah dan juga persembahan lagu salawat majelis taklim dari Maluku Ambon.

Bagi saya pribadi, dihari yang sama pada ulang tahun ibu Permaisuri tanggal 6 Nopember 2024, saya mendapat kunjungan kehormatan utusan Sultan Buton ke 41, membawakan “Katuko” dari utusan Sultan Buton ke 41 dalam rangka untuk menjabat salah satu daerah wilaya kesultanan jaman dulu di sebut “Lakina Tobetobe”. peristiwa ini di laksanakan pada sore harinya menjelang petang jam 16.00, kehormatan dari Yang Mulia dipertuan Agung Sultan Ir. H. LM. Sjamsul Qamar, M.T., IPU. Adalah sebuah kehormatan yang tak terhingga karena secara tidak langsung saya mendapat anugrah untuk meneruskan amanat atau mandat dari leluhur, yang selama ini posisinya selalu kosong dan tidak di amanatkan kepada keturunan yang lainnya, karena bukan “Sivuluakana” (keturunan langsung) dalam bahasa buton.

Dalam tulisan ini sekilas menjelaskan bahwa Kesultanan Buton, yang terletak di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara, adalah salah satu kerajaan yang memiliki sejarah panjang dan kaya akan budaya. Meskipun zaman telah berubah dan modernisasi terus berlangsung, penting bagi kita, terutama Generasi Z, untuk merawat marwah dan warisan budaya Kesultanan Buton. Dalam esai ini, saya akan mengulas sedikit untuk mematangkan pemahaman saya dalam merawat marwah Kesultanan Buton di era kekinian dengan pandangan yang mudah dipahami dan relevan dengan kehidupan sehari-hari.

Diera ke kinian, kita sudah jarang membaca atau berdiskusi terkait budaya yang diwariskan dari masa kejayaan kerajaan atau kesultanan di masa lampau sehingga di pandang perlu untuk merawat marwah Kesultanan Buton sehingga dalam memahami sejarah dan budayanya mudah dilestarikan. Kesultanan Buton didirikan pada abad ke-16 dan telah menjadi pusat pemerintahan, perdagangan, serta kebudayaan di wilayah jazirah di kaki ujung tenggara pulau Sulawesi. Budaya Buton yang kaya akan tradisi, seni, dan nilai-nilai falsafah Buton yang dapat menjadi identitas bagi masyarakatnya, olehnya itu Generasi Z perlu menggali informasi tentang sejarah kesultanan ini melalui buku, dokumenter, atau sumber-sumber digital lainnya secara terus berkelanjutan.

Dengan kita memahami latar belakang dan identitas kebutonan, maka sejarah kita dapat di apresiasi guna menghargai dan mencintai warisan budaya. Misalnya, kita bisa belajar tentang sistem pemerintahan kesultanan Buton yang bersumber dari UUD nya yang bernama “Martabat Tujuh”, adat istiadat, dan seni tradisional seperti seni tari, seni music (Gambus), Seni perang (Tarian Mangaru) yang ada juga Silat Balaba dan kerajinan tangan dari jaman Perunggu yang menjadi ciri khas souvenir khas Buton.

Hal lain juga adalah terkait dengan semakin langkanya generasi muda menggunakan Bahasa daerah yang sangat beragam jenisnya ada kurang lebih 40 bahasa seperti bahawa Wolio, Bahasa Kaledupa (Wakatobi), Bahasa Tobetobe (yang mulai Punah) Bahasa Ciacia dan Bahasa kaongkongkea (Laporo) Bahasa Katubengke (Lipu) dan lainnya Bahasa Pancana. Sebagaimana diketahui bahwa bahasa adalah salah satu aspek penting dalam budaya. Bahasa daerah Buton yang banyak di gunakan luas adalah Bahasa wolio karena memiliki kekayaan kosa kata yang banyak dan menjadi Bahasa pemerintahan kesultanan Buton yang semakin menipis pemakaiannya di kalangan masyarakat. Terkhusus pada Generasi Z sesungguhnya pada merekalah sebagai penerus yang dapat berperan aktif dalam mempelajari dan menggunakan bahasa Buton sehingga dalam kehidupan sehari-hari misalnya, kita bisa mulai dengan mengajarkan kosakata sederhana kepada teman-teman atau keluarga.(Perlu diusahakan Kamus Bahasa Buton)

Selain itu, sastra sebagai bentuk ekspresi masyarakat budaya kedaerahan juga perlu diperhatikan dan di bukanya ruang berekspresi bagi masyarakatnya untuk menunjang dan menopang keberlangsungan kebudayaan sastra Buton. Banyak cerita rakyat dan puisi yang mengandung nilai-nilai moral dan kearifan lokal. Dengan menjadikan menulis sebagai ruang ekspresis atau menceritakan kembali kisah-kisah jaman keemas an kesultanan Buton (Tulatula morikana tabeana mancuana bemo sausaua), dengan membuka ruang ekspresi bagi generasi Z maka cita rasa dalam menjaga keberlangsungan dalam ekspresi bentuk kegiatan maka kita dapat menjaga agar warisan sastra Buton tetap hidup di kalangan generasi muda.

Salah satu cara efektif untuk merawat marwah Kesultanan Buton adalah dengan aktif menghadiri acara budaya dan festival yang diselenggarakan di daerah, sudah ada hanya saja kurang banyak dan tidak massif. Pemerintah sudah banyak membantu dan mengupayakannya misalnya, festival seni pulo makasar dan menghadiri festival budaya Buton yang sering diadakan namun belum terkoneksi dengan jadwal agenda nasional terutama agenda budaya yang sering di dinas pariwisata lakukan, atau mengadakan sendiri kegiatan dan masuk menjadi kalender wisata nasional bahkan dumia yang dapat menjadi ajang untuk mengenal lebih dekat tradisi dan kebudayaan kesultanan Buton.

Melalui acara-acara seperti diatas, Generasi Z dapat berinteraksi langsung dengan para seniman, pengrajin, dan masyarakat lokal. Selain itu, kita juga dapat belajar tentang berbagai jenis seni pertunjukan, seperti tari tradisional, musik, dan pameran kerajinan. Dengan berpartisipasi dalam acara tersebut, kita turut menjaga dan melestarikan budaya Buton.LAK

Baca Juga

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button