Menyikapi Keragaman Paham di Internal Islam
Saya ingin memberi sedikit catatan terhadap saling-silang yang cukup ramai di WAG kita dalam seminggu terakhir soal perbedaan pemikiran dan paham keagamaan yang terjadi di internal umat Islam. Maaf baru bisa “nimbrung” karena kesibukan yang tak bisa ditunda.
Sebagai misal, perdebatan soal poligami yang dipicu oleh pernyataan sikap politik PSI yang menolak poligami. Hemat saya kebanyakan mereka yang memberi tanggapan terhadap pernyataan itu salah kaprah karena budaya dipahami dan diposisikan sebagai bagian organik ajaran Islam.
Felix Siauw misalnya menyebut poligami sebagai ajaran yang bersumber dari Islam. Implikasinya, menolak poligami artinya menentang syariat. Dalam konteks bernegara, maka negara (pemerintah) dikatakan anti Islam (darul harb).
Padahal poligami tentu saja bukan ajaran yang bersumber dari Islam karena prakteknya sudah ada jauh sebelum datangnya Islam. Malahan raja-raja dan kaum bangsawan serta elite sosial lainnya di Romawi, Yunani, China, Arab dan di berbagai belahan dunia lainnya di masa pra Islam, membangun harem dengan puluhan isteri dan selir, bahkan ratusan.
Respon wahyu terhadap fenomena berpoligami itulah yang kemudian diabadikan dalam Alqur’an. Dan karena sifatnya yang boleh, maka ia bukan ajaran Islam. Ia cuma sesuatu yang boleh.
Jadi sama seperti makan, minum, jalan-jalan, belanja di mall, dan sebagainya yang bukan bersumber dari wahyu, tapi dari kebutuhan. Wahyu kemudian merespon dan mengatur moralitasnya: berpoligami silakan. Syaratnya harus adil. Jika kuatir tidak bisa berlaku adil, cukup satu saja.
Begitu juga dengan perang dan perbudakan. Itu fenomena sosial yang sudah ada sejak dahulu kala yang umurnya sama tuanya dengan umur manusia itu sendiri. Maka sudah pasti tidak bersumber dari Islam. Alqur’an hanya merespon fenomena tersebut dan mengatur adabnya.
Untuk perang misalnya, tidak boleh mengganggu apalagi membunuh mereka yang tidak terlibat perang seperti para manula, wanita dan anak-anak. Tidak boleh merusak rumah ibadah agama lain beserta pusat-pusat keilmuan mereka. Tidak boleh membunuhi ternak, merusak tanaman, dan sebagainya. Sedang menyangkut perbudakan, agar ada jaminan keadilan dan para budak tidak diperlakukan semena-mena.
Satu hal yang perlu digaris-bawahi, dalam kaidah ushul fiqih sesuatu yang sifatnya boleh, sangat mudah bergeser status hukumnya menjadi sunat, makruh bahkan wajib atau haram.
Berbeda dengan yang kualifikasi hukumnya wajib, untuk menjadi haram atau sebaliknya dari haram menjadi wajib, memiliki lompatan paradigmatik yg cukup jauh. Meskipun tetap saja dimungkinkan sepanjang illat yang mendasari legal reasoningnya telah berubah berdasarkan konteks sosial yang melatarinya. Babi juga alkohol yang haram untuk dikonsumsi, dalam konteks tertentu bisa menjadi halal.
Hal yang sama juga berlaku untuk praktek-praktek hudud seperti hukum qisas dan diyat. Itu praktek di Arab jauh sebelum Islam, jadi pasti tidak bersumber dari Islam. Wahyu kemudian merespon dan diabadikan dalam Alqur’an.
Maka mainstream ulama berpandangan, ijtihad fiqh yang benar tidak akan menyadur hukum kasus yang sama karena zamannya telah berubah, melainkan melakukan istinbath dan istiqra terhadap contoh kasus, nash serta konteks zaman di mana hukum itu hendak diterapkan, atau biasa disebut dengan metode pentasyrian dalam kaidah ushul. Ini yang dilakukan Umar bin Khatab dalam kasus penjara dan mut’ah.
Masalah ikhtilat yang juga lagi ramai di media sosial belakangan ini, itu sama dengan masalah khilafiah lainnya. Hadis yang dikutip, oleh sebagian kalangan dianggap konteksnya bersifat khusus. Tetapi oleh kalangan berbeda, konteksnya dipandang bersifat umum. Bahkan bagi kalangan tertentu, hadis tersebut malahan dianggap bersifat mutlak.
Perbedaan semacam ini adalah masalah klasik saja, soal perbedaan tafsir dan pemahaman atas nash. Sebagai contoh, pertanyaan soal kodrat laki-laki dan perempuan, berbaur atau harus memisahkan diri?
Kalau kita mau berpikir bebas tanpa embel-embel, Alqur’an sesungguhnya telah menegaskan bahwa kita diciptakan sama dan sederajat, sehingga yang kodrati itu laki-laki dan perempuan harus berbaur, berinteraksi serta berbagi peran dan posisi dalam kehidupan sosial.
Tetapi oleh sebagian kalangan Islam, laki-laki dan perempuan harus dipisahkan secara tegas. Hanya laki-laki yang boleh berperan aktif di sektor publik. Perempuan cukup di wilayah domestik. Jadi kebalik kodratnya, dan percampuran di pasar, angkot, kapal laut, juga di kampus-kampus atau kantor misalnya, dianggap sebagai pengecualian.
Sekali lagi ini soal keragaman tafsir dan cara pandang terhadap nash yang terjadi pasca Nabi. Maka percaya bahwa laki-laki dan perempuan harus dipisah, ya rapopo. Percaya sebaliknya juga monggo. Tidak usah saling menyalahkan, apalagi saling mengkafirkan.
Masalah ikhtilat seperti cadar, jilbab, dan sebagainya dasarnya adalah perbedaan dalam penafsiran, sesuatu yang niscaya bagi umat yang hidup di era yang sudah sangat jauh dari masa hidup Nabi Saw.
Contoh paling dekat adalah pemakaian jubah, sorban, siwak serta berobat dengan cara bekam. Sebagian kalangan menganggap itu sunnah karena dipraktekkan Nabi dalam kehidupan sehari-hari.
Mereka lupa jika pakaian dan praktek semacam itu juga dilakukan oleh orang-orang Arab jauh sebelum Nabi, termasuk oleh Abu Jahal dan Abu Lahab, penentang Nabi nomor wahid.
Jadi mau pakai jubah serta sorban seperti orang Arab untuk shalat, silakan. Yang mau pakai batik made in Indonesia dipadu celana jeans, atau sarung yang muasalnya dari Birma dipadukan dengan baju koko dari China, bahkan jas seperti orang Barat, juga silakan.
Memahami Islam itu tidak cukup hanya dengan melihat fatwa-fatwa hukumnya semata. Apalagi hanya fatwa hukum dari sebagian ulama fiqh tertentu.
Tetapi harus dimulai dari hal yang paling esensial dalam beragama, yakni bagaimana memosisikan misi wahyu terhadap kehidupan umat manusia dan melihat Islam sebagai kelanjutan sejarah manusia, Alqur’an dan Islam vis a vis sejarah manusia. Ini poin penting dan fundamental namun kurang dipahami oleh banyak kalangan Islam.
Memahami hal tersebut sebenarnya sederhana. Wahyu itu datang bukan diperuntukkan untuk satu kaum tertentu saja, tapi untuk semua manusia, di semua masa dan tempat dengan latar sosialnya yang berbeda.
Karenanya, hal-hal menyangkut praktek tertentu yang spesifik dalam sejarah seperti niqab, burkha, dan sebagainya dengan gampang bisa diamati bahwa hal itu merujuk pada konteks sosial tertentu yang mendasari praktek-praktek semacam itu yang harus dipahami ketika membaca sejarah menyangkut hal tersebut.
Soal Islam itu apa, jawabannya juga sederhana. Muhammad itu bukan manusia setengah Dewa seperti Hercules dalam mitologi Yunani, atau penjelmaan Tuhan di bumi sebagaimana persepsi umat Nasrani terhadap eksistensi Isa al-Masih (Yesus).
Muhammad adalah manusia biasa seperti manusia pada umumnya. Bedanya, karena sebagai Rasul, beliau menerima risalah kenabian (nubuwah atau prophecy).
Prophecy adalah adalah misi khusus, merupakan kasus yang terjadi disetiap kurun waktu tertentu sepanjang rangkaian sejarah umat manusia.
Inti pokok dari seluruh prophecy yang disampaikan para Nabi dari Adam sampai Muhammad, bahwa kehidupan manusia di alam semesta tidak kekal. Bahwa ada kiamat di mana setelahnya seluruh umat manusia akan dibangkitkan kembali untuk dihisab.
Alqur’an (dan kitab suci lainnya) datang hanya untuk menegaskan keyakinan itu yang sebenarnya telah diyakini umat manusia sejak dahulu kala, jauh sebelum kedatangan Nabi Muhammad Saw.
Alqur’an menegaskan bahwa untuk setiap kaum ada nubuwah yang memberi peringatan akan hal itu. Dan dalam konteks Mekah dan Madinah dimana risalah kenabiannya berlaku hingga akhir zaman, penerima nubuwah itu adalah Muhammad bin Abdullah yang kebenaran risalahnya bisa dibuktikan dengan universalitas Alqur’an.
Alhasil, munculnya ragam tafsir dan perbedaan paham keagamaan yang terjadi pasca Nabi Saw adalah keniscayaan. Adalah sunnatullah yang harus diterima dengan sikap terbuka dan rendah hati.
Tentu saja setiap orang dalam menjalankan perintah agama, pasti akan berpegang pada apa yang diyakini berdasarkan pemahaman subyektif masing-masing terhadap teks.
Sikap demikian memang sudah seharusnya, dan tidak boleh dihalang-halangi. Sebab, bagaimana mungkin keyakinan subyektif masing-masing orang harus digugat?
Meski demikian, sikap seperti itu harus pula disertai kesadaran bahwa pencapaian kebenaran oleh manusia bersifat nisbi, tidak memiliki derajat kebenaran yang final-absolut. Sebab kebenaran hakiki hanyalah milik Allah, derajat yang mustahil dicapai manusia.
Esensi tauhid adalah memutlakkan Allah dan menisbihkan apapun selain Dia, termasuk paham dan pandangan keagamaan yang merupakan interpretasi subyektif yang bersifat sangat personal dari masing-masing orang terhadap wahyu.
Kesadaran tauhid atas kemutlakan Allah akan membawa konsekuensi kenisbian kebenaran yang mungkin dicapai manusia yang bermuara pada sikap tawadhu, saling menghargai perbedaan paham dan mazhab keislaman masing-masing sembari membuka pintu dialog selebar-lebarnya bagi terciptanya dialektika pemikiran dalam rangka memperkaya pemahaman, pendalaman dan penghayatan dalam beragama.
Dengan hadirnya kesadaran relativisme internal di kalangan umat Islam, perbedaan paham dan mazhab keislaman akan menjadi rahmat. Bukan sebaliknya, menjadi sumber perpecahan yang destruktif.
Sebab hanya dengan menghadirkan kesadaran relativisme internal ini, ukhuwah islamiyah yang selama ini diagung-agungkan dan disucikan, menjadi mungkin untuk diwujudkan. Dan tidak sekadar jadi retorika usang dan basi. Yang klise lagi utopis. Wallahu a’lam bi al-shawab.
Oleh: Zainal Arifin Ryha