MENGEVALUASI POLA REKRUITMEN KADER DEMI PRODUKTIVITAS PARTAI POLITIK , MUNGKINKAH ? Oleh Zainul Muluk, SS *)
Berangkat dari pengalaman sebagai pribadi warga Negara dan menjadi penyelenggara pemilu dari tingkat Kecamatan sampai dengan di tingkat kabupaten Kabupaten saat ini , ada asumsi atau paradigma berbeda yang sedikit lahir dari kegelisahan perspektif berpikir selama mengemban amanah sebagai penyelenggara di daerah terhadap penyelenggaraan pemilu yang baru saja berlalu dengan harapan semoga ini bisa di jadikan evaluasi kita bersama di masa yang akan datang. Dalam regulasi ke-Indonesia-an Partai Politik merupakan institusi yang diamanahkan oleh Negara untuk mempersiapkan calon Penentu Kebijakan di negeri ini. Karena untuk menjadi Presiden, Gubernur, Bupati, Walikota, anggota DPR dan DPRD semua harus melewati pintu Partai Politik. Maka idealnya, semua Partai politik memiliki format pengkaderan yang baku, berjenjang dan berkesinambungan terhadap anggotanya. Tidak ada istilah ujuk-ujuk langsung menjadi anggota atau pengurus Partai, tidak ada angin, tidak ada hujan tiba-tiba seseorang didaftar menjadi calon legislative, tiba-tiba diusung menjadi calon Bupati atau Gubernur tanpa ada sejarah pertalian sama sekali dengan Partai pengusungnya. Namun ironinya, jika kita mengamati fenomena yang ada, terkesan hampir semua Partai politik di Negeri ini, tidak menerapkan system pengkaderan bagi anggotanya. Indikasi itu terlihat jelas dalam beberapa fakta berikutini :
Pertama, sebagian besar calon Bupati, Walikota dan Gubernur di Indonesia bukanlah kader dari Partai yang mengusungnya, demikian pula dengan calon Anggota DPR dan DPRD pada setiap pemilu. Sebagian besar dari mereka sebetulnya bukan anggota partai, atau tidak pernah mengikuti kaderisasi di partai tiba-tiba diberikan kartu anggota tanpa ada hubungan emosional sama sekali dengan partai. Ada yang berlatar belakang TNI, POLRI, Birokrat, Pengusaha, Pengangguran, dan lain-lain.Padahal sebagai pemegang kunci pintu jalur kekuasaan, mustinya Partai Politik mempersiapkan regenerasi dari internal Partainya sendiri.Calon-calon orang hebat harusnya lahir dari Partai Politik.Setiap Partai Politik tidak boleh tidak, mereka musti punya cara khusus bagaimana mempersiapkan kader agar kapabilitasnya meningkat, bagaimana mengorbitkan kader yang dianggap cakap supaya dikenal khalayak. Sebagaimana di Negara-negara maju, kader partai yangakan diusung menjadi walikota atau Gubernur ditangani oleh mangemen khusus yang bertugas mengatur performa kandidat, bagaimana menjaga dan menaikkan elektabilitas figure yang dijagokan.Tapi di Indonesia, sangat jarang kita melihat calon-calon pemimpin daerah yang dibesarkan oleh Partai Politik sejak dari awal. Rata-rata tumbuh berkembang di institusi lain di luar Parpol. Nanti setelah mereka terpilih menjadi Bupati /Walikota atau Gubernur, barulah ditawari jadi Ketua atau Pembina oleh Partai pengusungnya.Polanya rata-rata seperti itu. Makanya Bupati, Walikota dan Gubernur jika tidak menjabat Ketua mereka pasti Pembina di salah satu Partai pengusungnya tapi itu terjadi setelah mereka terpilih. Tujuannya agar performa partai meningkat, karena diketuai atau dibina oleh pembesar.Seakan-akan Partai numpang tenar pada ketokohan Pemimpin daerah.
Ke-dua, mengamati Pemilu 2019 yang baru saja berlangsung, khusunya pada tahapan pendaftaran calon anggota DPRD, Kampanye serta Pendaftaran dan Pelatihan saksi Peserta pemilu di Bawaslu, Performa Partai Politik khususnya di Kabupaten Kolaka utara, tempat penulis berdomisili, sangat menyedihkan. Pada tahap pendaftaran calon anggota DPRD misalnya.Hampir semua LO (Liassion Officer) Partai kewalahan mengurus Calon legislatifnya, terutama untuk memenuhi persentase 30% keterwakilan Perempuan di setiap Daerah Pemilihan (Dapil).Terkesan setiap Parpol kekurangan stok calon. Dan ironinya, sebagian besar nama yang disodorkan sebetulnya orang asing bagi Partai. Orang-orang yang tidak pernah berkecimpung dalam Partai tiba-tiba namanya dicalonkan menjadi anggota DPRD, calon seperti ini otomatis tidak memiliki kepedulian atau rasa keterikatan yang kuat dengan partai pengusungnya.Dan akibat tidak dipersiapkannya kader yang jelas dari setiap Partai untuk dicalonkan menjadi anggota DPRD, akhirnya beberapa Partai Politik gagal memenuhi kuota calon di Dapil tertentu.Kondisi ini sangat disayangkan, sebab bukankah Pemilu itu merupakan panggung dari setiap Partai politik menunjukkan eksistensinya. Jarak dari Pemilu ke Pemilu 5 (lima) tahun, merupakan waktu yang sangat panjang bagi parpol untuk merekrut dan mempersiapkan kader-kader terbaiknya dalam merebut kursi di DPRD, sehingga rasanya “haram” bagi parpol kekurangan stok kader menjelang pemilu. Kondisi ini menimbulkan tanya bagi kita, “ngapain aja” selama 5 tahun ?Keadaan ini merupakan bukti nyata tidak adanya program kaderisasi yang jelas dari setiap Pengurus Partai Politik di daerah.Sehingga semuanya serba mendadak, atau “tiba masa tiba akal”.
[artikel number=3 tag=”politik,dprd”]
Fakta berikutnya, pada saat tahapan kampanye Pemilu 2019 kemarin, masa yang diberikan peserta pemilu untuk menawarkan visi, misi dan program kerjanya untuk meyakinkan pemilih sangatlah panjang, mulai Tanggal 13 September 2018 sampai dengan tanggal 13 April 2019 (kurang lebih 213 hari). Sedangkan metode berkampanye sangat bervariasi, peserta pemilu bebas memilih mana yang paling disukai. Pasal 275 Undang-undang 7 Tahun 2017 menetapkan 9 (Sembilan) metode kampanye bagi peserta pemilu: Pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka, penyebaran bahan kampanye pemilu, pemasangan alat peraga kampanye di tempat umum, kampanye di media social, iklan di media massa, rapat umum, debat pasangan calon dan kegiatan lain yang tidak melanggar larangan kampanye. Prinsip dari kampanye sesuai Pasal 5 Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 23 tahun 2018 tentang Kampanye Pemilu ada 3 (tiga), yaitu jujur, terbuka dan dialogis. Ha ini dimaksudkan sebagai wujud pendidikan politik bagi masyarakat dan untuk meningkatkan partisipasi pemilih dalam pemilu. Peserta Pemilu yang memilih metode kampanye Petemuan terbatas atau pertemuan tatap muka diwajibkan menyampaikan pemberitahuan kepada KPU yang ditembuskan kepada Bawaslu dan Kepolisian minimal satu hari sebelum kampanye dilaksanakan, dan Pihak Kepolisian mengeluarkan Surat Tanda Terima Pemberitahuan (STTP) kampanye sebelum kampanye dimulai. Faktanya, dari 9 metode kampanye yang ditentukan, hanya metode kampanye Penyebaran bahan kampanye dan alat peraga kampanye saja yang dipilih.Itupun bahan kampanye dan alat peraga kampanye yang dipasang tidak mencantumkan visi, misi dan program kerjanya.Dari 12 Partai politik yang memperebuktkan 25 kursi DPRD Kabupaten Kolaka Utara, tidak ada satupun yang memilih metode kampanye pertemuan tatap muka dan pertemuan terbatas.Padahal metode ini sangat menarik.Bila dikemas dengan kreatif, maka kampanye dengan pertemuan terbatas sangat efektif untuk mengumpulkan massa dan meyakinkan pemilih. Para caleg dari Partai yang melakukan kampanye bisa unjuk kemampuan dan wawasan, apalagi bila ada sesi tanya jawab, maka pemilih bisa mengukur bagaimana kualitas dari para caleg. Kalau hanya melihat balego, spanduk atau poster caleg yang terpasang di pinggir jalan dan tempat-tempat umum lainnya, pemilih hanya bisa tahu nama, nomor urut dan rupa caleg. Tapi dengan pertemuan tatap muka atau pertemuan terbatas, pemilih bisa melihat langsung wajah calon serta bisa menguji kualitas calon, dapat mengorek apa yang akan dilakukan untuk daerah pemilihannya sekiranya terpilih menjadi anggota DPRD. Caleg juga dapat mengutarakan visi, misi, program kerja yang menunjukkan keistimewaan partainya dibanding partai lain. Bagaimana keberpihakan partai terhadap nasib para petani, apa gagasan cemerlang partai terhadap isu-isu populis di daerah pemilihannya. Dengan kampanye model Partemuan terbatas, anggota partai juga dapat belajar banyak hal, tentang administrasi, memagerial, bagaimana mengemas sebuah event agar digemari masyarakat, pendek kata event kampanye bisa menjadi sarana bagi anggota untuk leluasa berkreatifitas. Tapi ini akan terjadi bila yang “nyaleg” itu benar-benar kader partai yang paham sejarah, ideology, asas, visi, misi, dan program kerja partainya. Dan itu semua musti digagas dan dirumuskan oleh partai terlebih dahulu sebelum turun berkampanye sehingga nampak perform di hadapan warga. Masyarakat bisa melihat kesiapan, kekompakan dan kualitas partai dan kadernya.Tidak ujuk-ujuk ketemu pemilih tanpa gagasan yang bisa ditawarkan.
Lantas mengapa metode ini tidak dilakukan oleh satupun Parpol yang ada di daerah kabupaten, karena Pengurus Partai dan calegnya tidak pernah duduk bersama merumuskan langkah-langkah strategisnya bagaimana memenangkan pemilihan. Sehingga baik caleg maupun pengurus Parpol sama sekali tidak punya gagasan yang secara sederhana bisa diterima akal sehat pemilih bagaimana memajukan daerah pemilihannya. Apa yang harus partai tawarkan kepada pemilih sehingga mengesankan bahwa sebetulnya setiap Partai punya solusi terhadap permasalahan-permasalahan umum warga di daerah pemilihannya. Karena hal ini tidak dilakukan partai, akibatnyaantara partai yang satu dengan partai yang lain sama sekali tidak ada keistimewaannyadimata pemilih. Sikap para caleg yang lebih senang bergerilya mencari suara dengan cara senyap-senyap dan nafsi-nafsi, yang tiba-tiba hadir di tengah-tengah pemilih tanpa gagasan sama sekali, akhirnya membuat pola pikir warga jadi rusak, kolot, karena masa kampanye tidak dimanfaatkan partai untuk mengedukasi pemilih. Karena kehadirannya tidak mengesankan sebagai calon anggota dewan yang berkualitas sehingga kesan yang ditunjukkan kepada pemilih tidak lebih dari sekedar orang yang haus dukungan rakyat dan rela membeli dengan harga berapapun.Karena yang membentuk, caleg itu sendiri.Dipandanglah semua caleg itu sebagai ATM berjalan yang jika tak membagi uang tidak dapat suara. Padahal secara psykologi massa, kita dapat merebut sympati pemilih, asalkan kita punya gagasan yang masuk akal terhadap isu populis yang menjadi keresahan umum warga di suatu daerah pemilihan. Jika hal ini bisa dipetakan tinggal kita kemas dan menawarkannya pada momen yang tepat kepada khalayak. Sekiranya semua Partai memikirkan itu, maka akan nampaklah warna partai yang berbeda-beda, warga akan tercerahkan dan akan menentukan pilihan berdasarkan solusi yang ditawarkan partai. Karena sesungguhnya segmentasi pemilih itu jelas.Ada masyarakat petani, pedagang, pengawa negeri sipil, honorer, nelayan, petani sawah, petani kebun, peternak, yang masalahnya tentu berbeda-beda.Partai seharusnya menjadikan ini sebagai bahan kajian untuk menemukan gagasan yang tepat untuk ditawarkan kepada setiap segmen pemilih yang ada. Sehingga orang-orang partai itu terlihat lebih cerdas daripada masayarakat kebanyakan, mengesankan bahwa caleg itu paham dengan persoalan warga yang akan diwakilinya. Maraknya money politik jelang pemilu menegaskan tidak adanya gagasan partai yang bisa ditawarkan kepada pemilih sehingga yang ditawarkan uang.Caleg yang terpilih tanpa bagi-bagi uang itu bukan a history di negeri ini, ada di setiap daerah, meskipun jumlahnya tidak banyak.orang yang memang terpilih karena benar-benar dipandang sosok yang akan memberi manfaat besar ketimbang yang lain jika duduk di kursi dewan itu nyata ada, namun gaungnya kalah dari isu maraknya politik uang.
Fakta selanjutnya, pada saat pendaftaran saksi peserta Pemilu di Bawaslu kabupaten Kolaka Utara. terhitung sampai 3 kali perpanjangan pendaftaran, hanya 1 Partai yang dapat menyetor nama saksi sebanyak jumlah TPS yang ada di Kolaka utara, sementara yang lain ada yang sampai 90% ada yang 70 % bahkan ada yang hanya 15 % saja TPS yang ada nama saksinya, selebihnya kosong. LO benar-benar kelimpungan berkejaran dengan waktu, mencari siapa saja yang bisa didaftarkan. Ini menunjukkan bahwa Partai politik benar-benar kekurangan orang, tidak punya kader atau simpatisan yang memang merasa bertanggungjawab terhadap kepentingan-kepentingan partai. Tidak berhenti sampai di situ, dari keseluruhan nama yang didaftar sebagai saksi untuk mengikuti pelatihan di bawaslu, pada waktu pelatihan berlangsung, hanya sekitar 43 % saja yang hadir dalam pelatihan padahal panitia sudah menyediakan semua fasilitas pelatihan, mulai dari gedung sampai konsumsinya. Kenyataan ini sungguh sangat disayangkan, di tengah pesta demokrasi akan digelar, Partai politik malah tidak punya saksi yang bisa mewakilinya di TPS, padahal keberadaan saksi di TPS sangat menentukan kualitas proses dan hasil Pemilu itu sendiri.
Fakta-fakta yang penulis kemukakan adalah sebuah ironi demokrasi yang sangat berpengaruh terhadap pola pikir warga, menentukan kualitas wakil rakyat yang duduk di kursi legislative serta pemimpin Negara dan daerah yang melaksanakan pemerintahan.Keadaan tersebut menentukan karakter bangsa dari generasi ke generasi. Sehingga menurut penulis, sudah saatnya Partai politik berbenah, merubah paradigmanya pada arah yang lebih positif dengan merumuskan dan menerapkan format pengkaderan yang baku, berjenjang dan berkesinambungan sebagaimana organisasi-organisasi mahasiswa, ada namanya Basic training, Intermediate dan edvance, agar Partai politik kondusif sebagai tempat berproses, tempat yang kondusif meningkatkan wawasan serta managerial dan representative untuk memantapkan kapasitas individu sehingga siap menerima amanah dan tanggung jawab yang lebih besar. Maka Partai politik tidak boleh fakum meskipun tidak ada Pemilu.Harus ada program kerja yang bermanfaat untuk pengembangan anggota dan kemaslahatan warga, sehingga Masayarakat merasakan kehadiran Partai Politik bukan hanya pada saat jelang pemilu atau pilkada.
Model kaderisasi sebetulnya tidak hanya satu bentuk, bukan hanya dengan ceramah, diskusi atau simulasi di dalam ruangan. Jika seseorang telah melewati pelatihan dalam ruangan dan resmi menjadi anggota Partai, maka di follow up dengan memberikan tanggungjawab menyelesaikan suatu pekerjaan, dilibatkan dalam kepanitiaan atau even-even tertentu sehingga teruji kemampuannya, teridentifikasi kecakapannya, dan terlihat kemahirannya. Dari proses training di ruangan maupun di lapangan, potensi setiap anggota terekspose. Akan nampak kualitas anggota, mana yang hanya pandai bicara tapi payah dalam kerja, akan terlihat siapa yang bicara dan kerjanya sepadan, terlihat mana yang lihai dalam mengatur dan memanage setiap urusan agar cepat tuntas, dan lain-lain. Bila kegiatan Partai berkesinambungan, niscaya anggota partaipun menjadi orang yang terlatih sehingga akhirnya siap diberi tanggungjawab yang lebih berat dan skop urusan yang lebih luas. Tapi jika setelah pengurus dilantik, setelah itu menunggu Pilkada atau Pemilu berikutnya baru ngumpul tanpa program kerja yang jelas, niscaya tidak ada kaderisasi dan regenerasi di tubuh Partai Politik, melainkan hanya merekrut pengurus musiman untuk urus Pemilu atau Pilkada dengan kepentingan-kepentingan yang tidak elegan tanpa kepedulian dan rasa memiliki pada partai.Penulis adalah Anggota Bawaslu Kabupaten Kolaka Utara Kordinator Divisi Sumber Daya Manusia *)