Opini

MEMPERTARUHKAN NETRALITAS APARATUR NEGARA DALAM PEMILU 2024

Dengarkan

Resiko terbesar yang dihadapi jika  aparatur negara digiring atau berpihak dalam Pemilihan Umum  (Pemilu 2024) kepada calon presiden ataupun partai tertentu akan menimbulkan  hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap  negara . Ini  penting di tengah  berbagai peristiwa yang  menjadi sorotan  publik akibat prilaku  aparatur negara ( Penyelenggara Pemilu, ASN, Polri, TNI dan Penyelenggaran negara lainnya) menjadi  bagian dari   calon tertentu  untuk mempengaruhi para pemilih  memilih calon presiden atau partai tertentu atau  memberikan pelayanan diskriminasi dalam pemilu 2024.

Munculnya  berbagai kasus yang diduga merupakan pelanggaran Pemilu antara lain : Pencoblosan surat suara di Taiwan, Pembagian susu oleh Gibran dalam kegiatan Car Fee Day di Jakarta, Pakta Integritas dari PJ Bupati Sorong  untuk memenangkan Capres  Ganjar, Dukungan Satpol PP kabupaten Garut ke Gibran, Pencopotan Baliho Ganjar di Bali, Simulasi Kertas Suara dengan hanya 2 Calon Presiden di Banteng dan Solo, Keterlibatan Menteri Perdagangan pembagian BLT atas nama Jokowi, Pembagian uang Gus Mifta dengan Gambar Prabowo di Pamekasan, Keterlibatan Babinsa mendata warga tidak mampu di Jakarta Utara, Pemukulan aparat TNI terhadap peserta kampanye Ganjar di Boyolali. Berbagai peristiwa tersebut  Bawaslu dianggap kurang tanggap memproses pelanggaran Pemilu tersebut.

Berbagai kasus di atas  menimbulkan  tanda tanya publik  akan  tugas dan fungsi dari Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang dianggap kurang cepat dalam merespon berbagai dugaan pelanggaran  pemilu. Kebanyakan  dugaan pelanggaran tersebut, didominasi oleh  aparatur negara  lalu  pribadi untuk pendukung Capres atau partai politik tertentu. Jika pelanggaran pemilu dibiarkan berlarut tanpa penegakan hukum oleh Bawaslu, maka  terlalu besar resiko  mempertaruhkan netralitas  aparatur negara dalam pemilu 2024.

Aparatur negara merupakan  alat kelengkapan negara, terutama meliputi bidang kelembagaan, ketatalaksanaan, dan kepegawaian, yang mempunyai tanggung jawab melaksanakan roda pemerintahan sehari-hari. Netralitas  aparatur negara dalam setiap momentum pemilihan umum maupun pemilihan kepala daerah menjadi batu ujian eksistensinya untuk tetap bersipat netral   menjalankan tugas dan fungsinya sebagai abdi negara  untuk melakukan  pelayanan publik  tanpa perlakuan memihak maupun diskriminsi.

Pengalaman sejarah menunjukkan bagaimana aparatur negara (ASN, TNI, Polri, Lembaga non Kementerian) harus digiring untuk melakukan monoloyalitas  terhadap partai tertentu  ketika dilakukan pemilihan umum. Ketika Orde lama berkuasa,  dahulu ASN dipaksa untuk memilih partai penguasa.

Orde Lama runtuh karena dianggap melenceng dari nilai-nilai Pancasila dan UUD 45,  dan muncullah Orde Baru.Orde Baru melakukan penyederhanaan partai politik  dengan  menciutkan menjadi 3 ada GOLKAR, PPP dan  PDI. Setiap momentum Pemilu  aparatur negara diwajibkan monoloyalitas dengan kewajiban  memilih partai Golkar . Sementara  ABRI (TNI  dan  Polisi) berada dalam  dikte kekuasaan.

Reformasi 1999  terjadi perubahan sistem politik, parpol harus mereformasi diri dan tidak boleh mengekang aparatur negara sehingga muncul lebih banyak partai baru. Ketika itu pemilu pertama kali dilakukan pada oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) bukan lagi oleh Kementerian Dalam Negeri  karena penyelenggara Pemilu  dilakukan   tidak netral  alias berpihak.

Resiko Ketidaknetralan Aparatur Negara dalam Pemilu

Adanya keberpihakan dan  tidak netralnya aparatur negara  dalam pelaksanaan Pemilu 2024 secara nyata akan  menimbulkan dampak  berupa  :

  1. Timbulnya Pelayanan Publik Diskriminasi

Pemilu sebagai  mekanisme konstitusional  yang dijamin oleh Undang-Undang Dasar 45 serta peraturan perundangan lainnya dengan asasnya yang  netral. Jika  aparatur negara  melanggarnya  dengan  memberi  prioritas dan keberpihakan pada calon tertentu baik Capres maupun Partai politik  maka akan menimbulkan pelayanan yang diskriminasi (membedakan perlakuan).

Menurut  Amzulian (Ketua Ombudsman Republik Indonesia), ada dua faktor yang menyebabkan diskriminasi pada pelayanan publik yaitu rendahnya kesadaran pelayanan publik terkait kesetaraan dalam perbedaan serta adanya regulasi yang secara eksplisit maupun implisit bersifat diskriminatif. Ombudsman berkomitmen melakukan pengawasan demi memastikan pelayanan publik yang nondiskriminatif

  1. Kepercayaan Masyarakat Menurun

Tidak netralnya aparatur negara  dalam  pemilu sehingga  berdampak pada pelayanan publik yang diskriminatif . Jika  hal ini terjadi  maka secara  perlahan dan pasti memberi dampak  kepada tingkat kepercayaan masyarakat  yang akan semakin menurun. Bahwa Pelayanan Publik diselenggarakan berdasarkan asas: a. kepentingan umum; b. kepastian hukum; c. kesamaan hak; d. keseimbangan hak dan kewajiban; e. keprofesionalan; f. partisipatif; g. persamaan perlakuan/tidak diskriminatif; h. keterbukaan; i. akuntabilitas; j. fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok rentan.

Dengan tidak netral berarti aparatur negara melanggar   Undang-Undang  Nomor  5 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.  Pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik  dalam hal ini aparatur negara.

  1. Hasil Pemilu Bisa Digugat

Ketidaknetralan dalam  menjalakan  pemilu menjadi celah terjadinya ketidakpuasan  peserta pemilu sehingga membuka ruang terjadinya gugatan hasil pemilu. Ketika terjadi  proses gugatan maka peluang terjadinya berbagai dampak ekonomi, politik dan hukum menjadi sesuatu yang nyata  mengganggu keberlangsungan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Ketika  hukum putusan sudah diambil dan pihak penggugat dikalahkan dengan pihak tergugat ( terlapor  ketidaknetralan) dipastikan rasa luka  akan tetap tidak terobati dengan berbagai  bukti empirik  pelanggaran di lapangan sehingga diperlukan waktu agar  stabilitas  pemerintahan  cepat normal kembali.

Untuk  mendapatkan legitimasi  pemilu 2024  yang baik, maka aparatur negara  khusunya penyelenggara Pemilu harus netral dalam   proses dan pelaksanaan Pemilu. Harus  dipastikan proses persiapan penyelenggaraan pemilu di semua lini dan level telah berjalan dengan adil, jujur, transparan, dan akuntabel dan  tidak berpihak. Dengan demikian keberlangsungan dan kesinambungan perjalanan bangsa Indonesia menuju Indonesia Emas pada tahun 2045 bisa  menjadi kenyataan

Oleh Hasbullah Fudail (Alumni Kebijakan Publik UI)

Baca Juga

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button