Makna Ruang WC sebagai Ruang Kesetaraan
Suka atau tidak, iklan telah jadi bagian hidup kita. Ia memiliki sejuta siasat menggempur ruang hidup selama keseharian. Ia sudah tak punya rasa malu tampil sebagai jaket koran atau menyelinap di televisi. Ia juga hadir dalam rupa-rupa manifestasi sensorik, visual, rasa, bau, suara hingga sentuhan. Gawatnya kita mulai membiasan diri dengan hal ini.
Iklan reklame berbeda dengan iklan lain yang bermain di ruang privat. Iklan reklame bermain pada ruang publik. Kita mungkin bisa mematikan TV atau menutup majalah jika jenuh dengan iklan-iklan didalamnya. Namun iklan reklame di ruang publik bersifat “memaksa”. Karena berbicara di ruang publik, otomatis ini menyangkut perihal “ruang demokrasi”.
Kita menginginkan ruang publik yang seharusnya menjadi milik bersama, bukan digunakan untuk segelintir pihak industri periklanan. Minimnya keberadaan ruang publik akibat modernitas, berbanding terbalik dengan ganasnya dunia periklanan, padahal kita ingin menjadi individu yang merdeka bukan sebagai konsumen yang terpaksa.
[artikel number=3 tag=”opini,kendari”]
Sebagai rimba reklame, ruang publik kini tidak hanya disodorkan pada reklame bentuk baliho, billboard, neonbox, poster, spanduk, dsb. Keberadaan reklame-reklame jenis baru justru sudah memasuki ruang privat. Ia bisa merespon ruang dengan melapisi, memperbarui, menghias atau menghibur.
Pertama, reklame mural, adalah tehnik mengecat rumah/usaha warga dengan gambar berupa produk. Cara ini terhitung ekonomis dari pengiklan karena lebih murah, tanpa dikenai pajak periklanan dari pemerintah kota. Biasanya terdapat di Warung Kopi (warkop), rumah warga, kios dan toko. Penentuannya ruang berdasarkan titik strategis penglihatan para pengguna jalan. Tentu tak sulit, karena rata-rata usaha kita, didasarkan dengan pertimbangan lokasi strategis.
Kedua, reklame warung rokok & kios pulsa pinggir jalan, jika reklame mural berdasarkan pertimbangan titik strategis, jenis ikkan ini lebih bersifat sporadis, ibarat kulit kacang. Tersebar diseluruh kecamatan-kelurahan kota Kendari hingga ke pelosok perbatasan kota.
Ketiga, reklame nama usaha, berupa plang/spanduk bergambar yang bidang terluasnya mencantumkan logo atau slogan produk dengan backround warna resmi produk. Ini adalah tehnik gabungan antara titik strategis dan sporadis. Maka terwujudlah pemandangan ganjil dengan nama-nama tempat usaha yang kurang dipikirkan secara matang seperti “Toko Dahlan”, Warung Alin”, “Sate Kambing” atau “Warung Coto”.
Pada akhirnya ekonomi kapitalis membentuk kota sebagai representasi kekuatan ekonomis. Dengan bangunan infrastruktur yang memungkinkan tingginya mobilitas dalam transaksi, hingga menuntut kehadirannya bukan hanya di ruang publik, namun masuk kedalam ruang paling pribadi.
Belajar dari catatan “Publik dan Reklame Jakarta” terbitan ruangrupa, budaya konsumerisme membentuk warga kota sebagai flaneur (karakter manusia urban-modern) Yakni manusia yang mencoba kembali mendefinisikan kemanusiaanya karena dinamika mesin-mesin besar kapitalisme. (Ilumination: Essays an Reflection -Walter Benjamin)
Karena berbagai macam inovasi reklame membuat kata “publik” berubah menjadi “konsumen”, maka disinilah letaknya lahir demokratisasi baru, sebagai suara alternatif dari hegemoni periklanan.
Adalah iklan “sedot WC” sebagai hasil gerilya terhadap dominasi kapitalis di seluruh ruang.
Jika para kapitalis menggunakan ruang kota sebagai bukti eksistensi, maka Iklan sedot WC menjadikan ruang kota sebagai satu-satunya ruang yang dapat diakses.
Iklan sedot WC merupakan bentuk kesetaraan yang paling hakiki dari skat-skat kelas bentukan kapitalisme. Semua warga kota tetap “buang air besar” (BAB), tak ada perbedaan dan keraguan akan hal itu.
Warga kota adalah manusia yang memerlukan kenyamanan hidup. Dalam moment pribadi seperti saat buang air besar, kita berhak mendapatkan jaminan kenyamanan. Kloset yang bersih, terang dan sehat dengan air yang mengalir bahkan jika perlu ditambah dengan tisu dan sabun wangi.
Tak ada moment sakral yang sebanding saat berada di ruang WC. Jika kunci pintu ruang WC rusak, kita bahkan meminta tolong kepada seseorang untuk menjaga-pintu dari luar, meskipun orang itu tidak dikenali. Dengan raga yang bebas, tekhnik jalan kepiting bisa dilakukan andaikan keberadaan gayung membatasi gerak jiwa yang terbatas.
BAB dan WC adalah representase moment kontemplasi manusia urban-kontemporer. Didalam WC manusia dapat memisahkan diri sejenak dari tanggung jawab dan peran sebagai warga kota, mahluk ekonomi dan objek kekuasaan.
Moment kontemplasi dengan memisahkan diri dari serangan kapitalisme dan praktek ekonomi, karena iklan ruang kota dipenuhi aparatus ideologi yang terus-terus mengingatkan kita akan realitas banal kaum kapitalis – membeli, tunduk, jadi teratur -.
Iklan sedot WC juga merupakan representase ideal untuk menjelaskan kemana hilangnya ruang publik dari wacana kota. Entah mereka sedang BAB di WC atau wacana publik itu sendirilah yang digelontorkan masuk lewat kloset menuju septictank yang abadi.
Jika membayangkan ruang publik yang bersih dari gempuran iklan sangat sulit tercapai. Mungkin sudah waktunya kita perlu membayangkan keberadaan ruang WC bersama. Agar bersih, kita harus memulai segalanya dari WC, membuang airnya dan membersihkan WC itu kembali sebelum orang lain menggunakannya.
Dengan demikian, karakter flaneur yang kita bayangkan menjadi, seseorang yang merokok dan meng-update-status facebook saat buang air besar. yang lebih menyukai air mengalir dibanding gulungan tisu, yang merasa mendapatkan info diskon sedot WC dari kertas foto-kopian pinggir jalan, yang menganggap musik dalam volume maksimal sebagai semangat pagi, yang merasa sikap tepat waktu adalah berlebihan, menganggap perenungan sebagai tanda kebingungan, dan memandang pertanyaan kritis sebagai bentuk kebodohan.
Jadi iklan yang paling esensial tampil dihadapan kita saat ini, seharusnya adalah iklan “sedot WC”, tak perlu ada iklan lain,
Penulis : Kia
Aktivitas : Pegiat Media dan Pecinta Alam
Email : [email protected]