Opini

Kurikulum Merdeka di Tengah Prahara Mutu Guru

Dengarkan

Spirit perubahan dalam juntrung pendidikan nasional terus bergulir. Baru-baru ini, pemerintah melelalui Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi meluncurkan kurikulum Merdeka Belajar yang diklaim sebagai Kurikulum yang dinamis dan adaptip terhadap eksistensi learning loss yang terjadi selama pandemi covid-19.

Menurut Mendikbudristek Nadiem Makarim, Kurikulum Merdeka dikembangkan sebagai kerangka kurikulum yang lebih fleksibel, sekaligus berfokus pada materi esensial dan pengembangan karakter dan kompetensi murid. Karakteristik utama dari kurikulum ini yang mendukung pemulihan pembelajaran antara lain adalah pembelajaran berbasis projek untuk pengembangan soft skills dan karakter sesuai profil Pelajar Pancasila, fokus pada materi esensial sehingga ada waktu cukup untuk pembelajaran yang mendalam bagi kompetensi dasar seperti literasi dan numerasi, serta  fleksibilitas bagi guru untuk melakukan pembelajaran yang terdiferensiasi sesuai dengan kemampuan peserta didik dan melakukan penyesuaian dengan kontek lokal.

Sebagai suatu instrumen fundamental, perubahan kurikulum dalam suatu sistem pendidikan adalah sebuah keharusan yang memang mesti dilakukan. Kita tahu bahwa pendidikan harus bersifat dinamis sesuai perkembangan zaman sehingga kurikulum pun sebagai jantung pendidikan mau tidak mau harus ikut berubah.  Jika kurikulum tidak berubah, itu berarti kita tidak mengikuti perkembangan zaman. Artinya, kita bakal semakin katrok dan tertinggal dengan bangsa-bangsa lain.

Dalam konteks pendidikan nasional, momentum ini bukan kali pertama pemerintah melakukan perubahan kurikulum. Tentu, ini juga bukan kali pertama guru mengalami keresahan dan kegelisahan akibat perubahan kurikulum. Sejak Indonesia merdeka pada 1945 hingga 2022 atau sudah sekira 69 tahun, pemerintah pusat melalui Kemendikbud telah melakukan pergantian kurikulum sebanyak 13 kali. Mulai kurikulum tahun 1947 yang disebut rencana pelajaran yang dirinci dalam Rencana Pelajaran Terurai, Kurikulum Rencana Pelajaran 1950, Kurikulum Rencana Pelajaran 1958, dan Kurikulum Pelajaran 1964.

Berjalan beberapa dekade, muncul kurikulum terpadu pertama di Indonesia yakni Kurikulum 1968. Setelah itu, kurikulum kembali diubah menjadi Kurikulum 1975 yang konon bertujuan membentuk manusia Indonesia untuk pembangunan nasional di berbagai bidang. Kurikulum 1975 ini muncul sebagai tuntutan Tap MPR Nomor IV/MPR/1973.

Tak berhenti sampai di situ, tahun 1984 hadir Kurikulum Cara Belajar Siswa Aktif (KCBSA) yang berjalan selama kurang lebih satu dekade. Berjalan beberapa tahun, kembali muncul kurikulum anyar yakni Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Selanjutnya, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Kurikulum 2013. Terakhir, Kurikulum Darurat, Kurikulum Prototipe, dan Kurikulum Merdeka.

Dalam praktik pendidikan, guru merupakan komponen yang sangat fundamental. Meskipun kurikulum merupakan instrumen penting dalam sistem pendidikan, namun gurulah yang menjadi determinan kunci dalam menyukseskan tujuan pendidikan nasional. Guru merupakan komponen fundamental yang akan menentukan keberhasilan suatu kurikulum. Jika guru sebagai ujung tombak pendidikan memiliki kompetensi yang mumpuni, maka sekompleks apapapun kurikulum, akan dapat diimplementasikan dengan baik di kelas. Sebaliknya, sebaik apapapun kurikulum yang ditetapkan oleh pemerintah, namun kualitas guru tidak memadai, maka harapan untuk menyukseskan tujuan pendidikan hanya akan menjadi angan-angan belaka. Oleh karena itu, keputusan pemerintah untuk mengubah kurikulum sebagai upaya perbaikan pendidikan harus bergerak simultan dengan upaya peningkatan kualitas dan kompetensi guru.

Kita perlu mengakui dengan ikhlas, secara faktual pendidikan nasional kita saat ini tengah mengalami kelumpuhan karena mutu guru yang rendah. Hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) dari tahun 2012 hingga 2015 menunjukkan sekitar 81 persen guru di Indonesia memperoleh nilai di bawah standar minimum. Data lain juga dilaporkan oleh UNESCO dalam Global Education Monitoring (GEM) Report 2016 yang merilis bahwa pendidikan di Indonesia berada peringkat ke-10 dari 14 negara berkembang. Adapun komponen mutu guru menempati urutan ke-14 dari 14 negara berkembang di dunia. Sementara itu, The Right to Education Index (RTEI) juga merilis bahwa hanya 46 persen guru sekolah dasar dan 39 persen guru sekolah menengah di Indonesia yang dianggap terlatih dengan baik pada tahun 2018.

Hendaknya sosok seorang guru selaku panglima perang dalam menyukseskan kurikulum harus menjadi perhatian penting semua pihak. Guru menjadi juru kunci untuk menyingkap tabir pendidikan yang berkualitas. Jika guru telah memiliki kualifikasi sebagai guru profesional, tuntutan kurikulum bagaimanapun tentu akan dapat dipenuhinya. Guru profesional bak seorang chef ahli, ia dapat membuat masakan apa pun dengan rasa yang sungguh nikmat dan lezat sepanjang bahan dan peralatannya tersedia. Bahkan, seorang chef ahli juga mampu membuat masakan yang sungguh nikmat meski bahan dan peralatannya terbatas. Pola pikir inilah yang seharusnya terpatri di benak pengambil kebijakan, berupaya mencetak chef-chef pendidikan yang berkualitas sehingga dapat menelurkan peserta didik yang mampu menjawab tantangan peradaban.

 

Oleh: Ady Akbar
(Mahasiswa Program Doktoral UPI Bandung)

Baca Juga

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button