Kapitalistik Asuransi dan Minimnya Literasi Publik
Bisnis finansial adalah sebuah bisnis kentungan. Dunia finansial adalah dunia tempat para pemilik modal memiliki peluang untuk mengatur dan menempatkan modalnya dengan tujuan tunggal memperoleh keuntungan (profit).
Dalam sistem kapitalistik klasik, nilai lebih atau keuntungan usaha didapati melalui proses transformasi modal awal menjadi komoditas.
Nilai lebih didapatkan dari “waktu lebih” dan “kerja lebih” dari kaum proletar. Inilah yang dituntut oleh “kelompok kiri” bahwa nilai lebih tersebut seharusnya milik para pekerja bukan milik pemodal (borjuis).
Kapitalisme klasik mengandaikan suatu “modal” yang ditanamkan dalam proses produksi di pabrik akan menghasilkan komoditas. Ketika komoditas dijual, akan ada nilai-lebih yang merupakan objektivikasi dari waktu-lebih dan kerja-lebih buruh di dalam komoditas.
Tetapi dalam bisnis finansial seperti asuransi, ada sesuatu yang terpotong ketika “modal-uang” tanpa melalui proses produksi (komoditas) langsung diharapkan menjadi modal akhir + keuntungan.
Baca Juga :
Manusia dalam hal ini kaum proletar hanya berfungsi sebagai grafik, angka yang mendukung dalam capaian visi misi usaha asuransi, meskipun dengan embel-embel sebagai BUMN.
Inilah yang dikatakan Costas Lapavitsas, seorang profesor ekonomi di School of Oriental and African Studies (SOAS) University of London, sebagai dunia tempat keuntungan didapatkan tanpa memproduksi (profiting without producing).
Rendahnya literasi publik dalam memahami bisnis finansial memperparah definisi publik tentang asuransi itu sendiri.
Asuransi dengan dalih investasi yang menggiurkan menghasilkan “racun” yang dapat menyesatkan dikemudian hari. Padahal dalam asuransi juga ada proteksi yang menyangkut jaminan Kesehatan, Ketenaga-kerjaan hingga Kematian.
Sekarang tinggal meningkatkan pemahaman publik tentang pentingnya asuransi agar dapat membangun perekonomian rakyat, sekaligus membantah pemikiran Marxisme yang mengatakan kapitalisme adalah irasional dan akan hancur dengan sendirinya.
Kita berharap tak ada lagi kasus Jiwasraya, Asabri yang mengandalkan dana talangan dari pemerintah (bail-out), yang ujung- ujungnya hanya mempermainkan nalar publik.