Opini

Aliran Sesat?

Dengarkan

Sesat dalam KBBI diartikan sebagai tidak melalui jalan yang benar, salah jalan, keliru, berbuat tidak senonoh, atau menyimpang dari kebenaran.

Lawan dari sesat adalah benar. Antara benar dan sesat terjalin interrelasi, dan kebenaran fungsional terhadap kesesatan. Pijakan memahami sesuatu itu sesat adalah mengetahui wujud yang benar. Tanpa pemahaman apa yang benar, mustahil mengetahui seseorang tersesat atau tidak.

Dalam konteks beragama, aliran sesat dideskripsikan sebagai paham, keyakinan yang disempalkan dari agama. Menyempal artinya bukan bagian atau berada di luar dari paham mainstream.

Dalam perkembangannya, acap kali suatu aliran yang sebelumnya kecil dan sempalan, kemudian membesar, menjadi mainstream. Sebaliknya arus utama menyusut menjadi sempalan seiring sejarah.

Artinya, suatu paham keislaman, dengan demikian, dianggap benar atau sesat, ukurannya tidak bersifat kualitatif secara konseptual, melainkan oleh jumlah pengikut. Kecil bakal dicap sempalan. Besar dan jadi bagian dari mainstream, akan disebut paham yang benar. Ukuran ini, tak beda dengan kontes Indonesian idol, pemenangnya ditentukan jumlah vote.

Istilah sesat dalam sejarah Islam, sejatinya adalah terma sosiologis, bukan teologis. Adalah kaum Khawarij di awal sejarah Islam, yang menggeser istilah sesat ini dari terma sosiologis menjadi terma teologis.

Sayyidina Ali dibunuh sebab dianggap sesat, karena melakukan tahkim dengan Mu’awiyah. Bagi kaum takfiri, hal itu berarti telah menegasikan hukum-hukum Tuhan yang absolut dan menggantinya dengan akal pikiran sendiri. Ali, meski dijamin Nabi akan menghuni sorga kelak, oleh mereka dianggap sesat. Betapa absurd.

Sejarah Islam pasca Nabi hingga kini adalah sejarah pertumpahan darah antar sesama muslim. Para sejarawan menulis, kala dinasti Abbasiyah menakluk dinasti Umayah, bukan hanya orang hidup, yang matipun ikut dibantai.

Kuburan mereka digali, tulang belulangnya dicincang. Kecuali makam Mu’awiyah, pendiri dinasti Umayah. Juga khalifah Umar bin Abdul Aziz yang bijak, yang menghapus ritual sabbu Ali—caci maki terhadap Ali dan keluarganya yang “wajib” diserukan para khatib khutbah Jum’at sejak Mu’awiyah berkuasa.

Di tanah air, Ahmadiyah dan Syi’ah yang jadi sempalan, terus saja dipersekusi atas dasar fatwa MUI sebagai representasi Islam mainstream, yang menyebut mereka sesat dan menyesatkan.

Terakhir, Ma’had al Zaytun diobok-obok. Saya terkejut menyaksikan tayangan di satu tv nasional, betapa agresifnya Ketua MUI Kiyai Cholil Nafis menyerang lawan debatnya, seorang dosen UIN dan menyebut paham yang dikembangkan al Zaytun sesat.

Apakah sesat yang dimaksud Kiyai Cholil masih dalam bingkai keanekaan paham keislaman yang niscaya, atau sudah masuk pada wilayah akidah yang tak bisa ditawar, saya tak tahu. Saya awam hingga bingung memahami substansi yang jadi titik tengkar mereka.

Terakhir, seorang Wakil Sekjen MUI tampil mewakili lembaganya di ILC. Lucunya, ia bahkan tak paham posisi beragama dalam konstitusi. Ia seolah menempatkan beragama sebagai kewajiban. Padahal konstitusi memosisikan beragama sebagai hak. Hak itu fakultatif, sementara kewajiban bersifat imperatif.

Saya kuatir, agresivitas MUI lantas menyeret negara ikut masuk, “membasmi” mereka yang dituduh berpaham heretik ini. Sikap Kepolisian yang meminta fatwa MUI guna menentukan status hukum al Zaytun, sungguh mencemaskan. Negara seolah hendak kembali ke era totaliterianisme. Negara lalu menjelma octopus, dengan tangan-tangannya yang panjang hingga bisa masuk ke ruang-ruang pribadi warga, lalu mendikte sektor yang paling privat dari individu: keyakinan.

Negara modern sebagaimana teori-teori yang dikembangkan Thomas Hobbes, bertujuan agar warganya yang plural tidak pecah. Tugas negara memastikan agar pelembagaan heterogenitas bangsa yang niscaya, menghadirkan social order yang akan menjamin terciptanya harmoni sosial.

Sementara negara abad pertengahan berciri monarki absolut, bertujuan untuk memastikan segenap warganya masuk sorga. Konsekuensinya, semua aliran yang dipandang heretik harus dibasmi, karena dianggap mengganggu akidah. Akibatnya, terjadi perang tak berkesudahan, tidak hanya antar agama, bahkan yang paling dahsyat justru terjadi antar aliran dalam satu agama. Betapa mengerikan.

Berkaca pada konstitusi, tujuan berbangsa dan bernegara kita adalah melindungi segenap warga dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Itu tujuan yang bersifat duniawi semua. Artinya, negara Indonesia yang dikehendaki para founding father adalah negara modern, bukan negara abad pertengahan.

Keyakinan bagi setiap orang tidak sama seperti memakai baju yang bisa ditukar pasang setiap saat, tapi dianut. Keyakinan lahir dari proses pergulatan piikiran sehingga tidak mungkin bisa dihalau dengan senjata sekalipun. Pikiran hanya bisa ditaklukkan oleh pikiran yang lebih baik.

Banyak yang menduga jika ada satu kebenaran yang diyakini, maka keanekaan harus dibasmi. Keragaman tak perlu, karena merepotkan serta menjengkelkan. Lalu kebenaran tunggal itulah yang harus disebarkan.

Kebenaran lantas ditawarkan bak barang jadi, yang given. Ia tak hadir sebagai buah pergulatan pikiran, dialektika yang panjang, serta proses trial dan error yang melelahkan. Dan manusia seolah robot, hanya bergerak berdasar remote control dari pabrik yang mendesain, hingga tak butuh otoaktivitas.

Saatnya berkaca pada Imam Syafi’i tentang relativitas kebenaran yang bisa dicapai manusia. Kata beliau, “Pendapat saya benar dan pendapat anda salah. Tapi mungkin saja pendapat andalah yang benar, dan pendapat saya salah.” Saya kira memang begitu!

Ahad Malam, 23 Juli ’23

Baca Juga

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button