Metro Kendari

Tolak RUU Kesehatan, PPNI Sultra Minta UU Lama Tidak Dihapus

Dengarkan

KENDARI, DETIKSULTRA.COM – Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Sulawesi Tenggara (Sultra), menjadi salah satu dari lima organisasi tenaga medis yang turun menggelar aksi damai di Kantor DPRD Sultra, Senin (8/5/2023). Sekertaris PPNI Sultra, Sapril mengatakan,
PPNI merupakan organisasi profesi perawat yang sudah tersebar di 34 provinsi, 514 kabupaten/kota dan lebih dari 6.000 kepengurusan komisariat serta mempunyai anggota sebesar 800 ribu.

Sapril menyebut, perawat yang sampai hari ini terus menerus membantu pemerintah dalam mengawal dan meningkatkan profesionalisme perawat serta kesejahteraan anggotanya. PPNI sebagai organisasi profesi yang mewadahi tenaga kesahatan terbesar dan vital dalam sistem kesehatan menyikapi perkembangan terakhir dalam bidang kesehatan terkait pro kontra Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan Omnimbus Law.

Pihaknya menganggap, pembahasan yang dilakukan pemerintah pusat melalui Komisi IX DPR RI dianggap tidak transparan, tergesa-gesa dan tidak sesuai ketentuan pembuatan undang-undang yang berlaku.

“Pembahasan RUU ini jelas akan berdampak kontradiktif pada norma
yang disusun dan tidak terakomodirnya kepentingan publik, serta jika dilihat dari materinya sedikit banyak akan sangat mempengaruhi dan merugikan perjalanan profesi perawat kedepan,” ujarnya.

Menurutnya, PPNI sangat mendukung terhadap perubahan sistem kesehatan di Indonesia ke arah yang lebih baik. Namun perlu digarisbawahi substansi RUU ini justru akan menjadi kontra produktif dengan tujuan awal.

Pertama, substansi RUU tersebut berpotensi menghilangkan sistem yang sudah mulai terbangun baik dengan mencabut beberapa UU yang masih sangat relevan dan justru keberadaan UU tersebut untuk menunjang perbaikan sistem kesehatan, antara lain adalah UU Nomor 38 Tahun 2014 tentang Keperawatan.

Mencabut UU Keperawatan dengan tidak mensubstitusi norma-norma esensial yang sangat dibutuhkan profesi perawat akan mengembalikan posisi perawat kepada kondisi 30 tahun silam dalam sistem kesehatan. Sebagaimana tertuang dalam naskah akademik dan konsideran yang menjadi latar belakang UU Nomor 38 Tahun 2014 untuk menjamin penyelenggaraan pelayanan keperawatan yang bertanggung jawab, akuntabel, bermutu, aman, dan terjangkau serta dilakukan oleh perawat yang memiliki kompetensi, kerwenangan, etik, dan moral tinggi.

Tujuan tersebut tergambar dalam batang tubuh UU Keperawatan dan peraturan pelaksanaan yang sudah sebagian besar terbit dan jika dilihat adalah bukan hanya
kepentingan perawat tetapi lebih besar kepentingan masyarakat.

“Pencabutan UU Keperawatan akan serta merta mendegradasi profesi perawat Indonesia yang saat ini berkembang untuk kompetisi global dan meletakkan profesi perawat pada kondisi tidak penting dalam
pengembangan profesi yang kuat serta berpotensi menimbulkan masalah, konflik yuridis, konflik sosial profesi, dan ketidakseimbangan sistem pelayanan kesehatan,” urainya.

Kedua, lanjut Sapril, dalam draf RUU Kesahatan ini masih tampak tidak sungguh-sungguh untuk mereformasi sistem kesehatan khususnya sumber daya kesehatan masih diskriminatif dalam pengaturannya. RUU Kesehatan menjabarkan tentang kualifikasi suumber daya kesehatan dengan berbagai aspeknya adalah tenaga medis dan tenaga kesehatan. Hal ini akan menimbulkan persoalan tersendiri di kemudian hari dengan adanya turunan regulasi dan kebijakan yang berbeda dari sisi porsi dan prioritas sebagaimanajauh sebelum penataan sistem kesehatan di Indonesia melalui UU Profesi masing-masing.

Pembedaan tersebut menyebabkan adanya ketidaksetaraan dalam pelayanan dan juga akan menyebabkan hambatan dalam koordinasi dan kolaborasi. Saat ini yang sedang dikembangkan di dunia
adalah interkolaborasi dalam pelayanan kesehatan dimana seluruh sumber daya kesehatan harus berfokus kepada pasien atau klien yang pada akhirnya menjadi pelayanan yang lebih efektif dan berkualitas bagi masyarakat.

Ketiga, dengan RUU Kesehatan ini, ada potensi mengurangi peran masyarakat madani dalam khasanah kesehatan di Indonesia yaitu organisasi profesi. Organisasi profesi adalah wadah masyarakat ilmiah bagi yang seprofesi dan
sebagai wahana menyalurkan aspirasi anggota kepada pemangku kepentingan agar terjadi peningkatan
profesionalisme dan kondisi kerja yang baik bagi sebuah profesi.

Dijelaskannya, PPNI selama ini konsisten dan terus menerus mendukung pemerintah dalam berkontribusi
meningkatkan kompetensi profesionalnya dan juga mengadvokasi kesejahteraan agar para perawat dapat lebih tenang menjalankan kewajiban dan perannya sebagai profesi pemberi pelayanan kepada
masyarakat.

“Jikalau perawat lebih nyaman dan tenang dalam melaksanakan profesinya maka
dampaknya ialah kebaikan pelayanan kepada masyarakat,” tuturnya.

Keempat, RUU Kesehatan juga berpotensi memberi kemudahan perawat asing bekerja di Indonesia yang mengikuti kebijakan investasi. Jika barrier teknis tidak ketat maka akan menjadi ancaman karena mempersempit kesempatan kerja lulusan perguruan tinggi keperawatan di Indonesia, khususnya di Sultra.

Berkaca dari data, jumlah lulusan
perguruan tinggi keperawatan di Indonesia sudah mencapai 65.000-75.000 per tahun.
Dari semua hal tersebut di atas, yang sangat esensial menjadi suara perawat seluruh Indonesia adalah hilangnya kebanggaan sebagai profesi karena landasan profesinya dicabut.

Bandingkan dengan profesi
Insinyur, advokat, notaris, psikologi yang memiliki UU tersendiri, secara universal, di
setiap negara telah ada UU Keperawatan tersendiri yang menjadi acuan
pengembangan dan penyelenggaraan profesi perawat.

“Maka dengan ini, PPNI secara tegas menyatakan menolak substansi RUU Kesehatan yang nyata-nyata mendegradasi profesi perawat
Indonesia. Untuk itu, PPNI mendesak pihak-pihak yang berkompeten melakukan pelurusan atas RUU Kesehatan
OBL. Kami ingin UU Keperawatan Nomor 38 Tahun 2014 tidak dicabut dan tetap diberlakukan sebagaimana mestinya,” tukasnya. (bds)

Reporter: Sunarto
Editor: Wulan

Baca Juga

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button