kesbangpol sultra
Metro Kendari

Strategi Pembimbing Kemasyarakatan Dalam Mencegah Klien Pemasyarakatan Menjadi Residivis

Dengarkan

KENDARI, DETIKSULTRA.COM – Pada masa pandemi Covid-19 pemerintah melalui Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, mengeluarkan kebijakan asimilasi dan integrasi bagi narapidana dan anak. Penerapan kebijakan ini disertai dengan perangkat pengawasan bagi narapidana yang mendapat program tersebut. Pengawasan pelaksanaan asimilasi dan integrasi dilaksanakan oleh Balai Pemasyarakatan, dengan petugas pengawas yang disebut dengan Pembimbing Kemasyarakatan (PK).

Pengawasan tersebut dilaksanakan dengan cara mengamati dan menilai terhadap pelaksanaan program layanan, pembinaan dan pembimbingan klien pemasyarakatan yang dilakukan secara virtual (daring). Pengawasan ini bertujuan selain sebagai sarana pencegahan dan penanggulangan Covid-19, juga dimaksudkan agar klien pemasyarakatan tidak melakukan pelanggaran hukum kembali.

Pengawasan yang tidak terlaksana secara maksimal dapat mengakibatkan pelanggaran hukum kembali para pelaku tindak pidana (residivis). Apalagi dalam situasi pandemi pengulangan pelanggaran hukum menjadi sorotan masyarakat, karena menjadikan dampak ganda bagi masyarakat selain dari dampak pandemi.

Ada beberapa alasan yang menjadi penyebab narapidana kembali melakukan residivis. Diantaranya seperti dikemukakan oleh Agung Pambudi dalam Diponegoro Law Journal Volume 5 Nomor 3 Tahun 2016 bahwa faktor yang menjadi penyebab seseorang menjadi residivis adalah:

1). Faktor keluarga. Faktor keluarga menjadi salah satu alasan yang melatarbelakangi pengulangan tindak pidana yang dilakukan oleh narapidana residivis. Keadaan keluarga yang kurang peduli satu sama lain mengakibatkan rentannya anggota keluarga untuk kembali melakukan tindak pidana. Oleh karena hal tersebut, komunikasi yang intensif antara anggota keluarga perlu dikedepankan agar tercipta kondisi keluarga yang harmonis.

2). Faktor ekonomi. Faktor ekonomi menjadi faktor berikutnya yang menjadi alasan penggulangan tindak pidana yang dilakukan narapidana residivis. Dikarenakan keadaan ekonomi yang tidak memadai, dan tidak memiliki pekerjaan yang tetap maka membuat narapidana residivis kembali mengulangi tindak pidananya.

3). Faktor emosional. Tingkat emosional dan tempramental dalam diri narapidana residivis menjadi hal yang mempengaruhi narapidana residivis. Ketidakmampuan dalam mengontrol emosi menjadi faktor yang cukup merugikan karena apabila tidak terpacing emosinya, narapidana residivis tidak perlu melakukan tindak pidana lagi.
Lebih lanjut, dalam penelitiannya, Rusdianto Dwi Apriono, 2018 menyimpulkan bahwa faktor penyebab terjadinya residivis tindak pidana pencurian dapat dilihat dari dua faktor yaitu faktor lingkungan dan faktor ekonomi. Faktor lingkungan yang meliputi lingkungan keluarga, lingkungan pergaulan dan lingkungan masyarakat sedangkan faktor ekonomi dikarenakan karena kebutuhan ekonomi yang semakin meningkat dimana kebutuhan akan kehidupan mereka sulit terpenuhi, sehingga membuat mereka memeberanikan diri untuk kembali melakukan tindak pidana pencurian lagi.

Sedangkan Torkis F. Siregar, 2009 mengemukakan bahwa faktor-faktor penyebab timbulnya pengulangan tindak pidana/recidivis terdiri atas:
1) Stigmatisasi masyarakat, dalam lingkungan masyarakat perilaku orang yang tidak sesuai dengan norma atau tidak seharusnya dilakukan dikatakan sebagai prilaku yang menyimpang, dampak dari penyimpangan prilaku tersebut kemudian memunculkan berbagai akibat yaitu positif dan negatif. Akibat positif dari adanya hal tersebut selalu terjadi perubahan dan perkembangan dalam berbagai aspek sosial.

Sehingga dapat mengasah kreativitas manusia untuk mengatasinya, sedangkan dampak negatif dari penyimpangan prilaku menjurus kepada pelanggaran hukum kemudian menimbulkan ancaman ketenangan lingkungan sekitar atau mengganggu ketertiban masyarakat, yang mana kerap menimbulkan respon tertentu bagi masyarakat yang merasa terganggu atau terancam ketenangannya.

2) Dampak dari prisonisasi, dalam kaitannya dengan sistem pemasyarakatan, masalah prisonisasi bukanlah hal yang baru, dimana prisonisasi sendiri diartikan sebagai proses terjadinya pengaruh negatif (buruk) yang diakibatkan sistem nilai yang berlaku dalam budaya penjara. Dindin Sudirman, 2006 mengemukakan bahwa pada saat dicetuskannya sistem pemasyarakatan oleh Sahardjo pada tahun 1963.

Salah satu asumsi yang dikemukakan adalah bahwa Negara tidak berhak membuat orang lebih buruk atau jahat pada saat sebelum dan dipenjara, asumsi ini secara langsung menunjukkan adanya pengakuan bahwa tindakan pemenjaraan secara potensial dapat menimbulkan dampak negatif, sebagaimana yang dinyatakan dalam Poin 53, Implementation The Standard Minimum Rules For The Treatment Of Prisoners (Implementasi SMR) yang berbunyi ;“ Tujuan-tujuan pembinaan dalam rangka pemasyarakatan cenderung berbelok ke arah yang menyimpang, karena terpengaruh kekuatan-kekuatan yang merusak yang terdapat di dalam hubungan para penghuni.

Levinson dalam encyclopedia of crime, 1994 mengemukakan bahwa terapat dua faktor yang umunya terdapat pada diri narapidana dan dapat mempengaruhi munculnya residivisme yakni faktor statis dan faktor dinamis. Faktor statis merupakan karakteristik individu yang umunya tidak berubah setelah mereka menjalani hukuman seperti status sosial ekonomi dan kemampuan intelektual yang rendah. Sedangkan faktor dinamis merupakan kondisi yang mungkin dapat berubah setelah pelaku kejahatan keluar dari penjara seperti hubungan dengan orang terdekat serta lingkungan pergaulan dan pertemanan.

Sedangkan Adrianus Meliala dalam Anggi Anggraeni, 2010, mengemukakan bahwa pelaku residivis umumnya merupakan orang-orang yang tidak berani bertanggung jawab, berkompetisi dan hidup dengan proses yaitu orang yang tidak termotivasi tidak percaya pada kemampuan diri sendiri untuk meraih kesuksesan lebih tinggi dengan tidak melanggar hukum meskipun banyak menghadapi hambatan dalam prosesnya.

Pembimbing Kemasyarakatan sebagai aparat penegak hukum yang menjadi “ujung tombak pemasyarakatan” harus memahami faktor-faktor tersebut di atas secara cermat sehingga tugasnya sebagai pengawas dan pembimbing dapat berhasil dimana salah satu indikator keberhasilan pembimbingan dan pengawasan yang dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan adalah mencegah klien pemasyarakatan menjadi residivis.

Terlebih lagi, di tengah pandemi seperti sekarang ini, pengawasan dan pembimbingan klien pemasyarakatan harus dilakukan secara daring dengan mengoptimalkan sarana berbasis teknologi informasi dengan cara menghubungi klien menggunakan media telepon/SMS/whatsaap/video call (Surat Edaran Direktur Jenderal Pemasyarakatan Nomor PAS-516.PK.01.04.06 TAHUN 2020). Untuk tercapainya tujuan pembimbingan dan pengawasan klien pemasyarakatan maka diperlukan langkah-langkah strategis Pembimbing Kemasyarakatan.

Langkah-langkah yang dapat dilakukan oleh PK antara lain sebagai berikut:

  1. Perencanaan, terdiri atas rencana program bimbingan dan pengawasan yang telah disetujui oleh TPP Bapas sehingga PK dapat memastikan bahwa setiap klien telah dibuatkan rencana pembimbingan dan program pengawasan yang tepat sehingga pengawasan yang akan dilakukan menjadi terarah
  2. Menetapkan strategi dan metode yang tepat dalam pelaksanaan pembimbingan dan pengawasan, melalui observasi keadaan klien dan lingkungan sekitarnya termasuk pihak-pihak yang terlibat yang dilaksanakan secara daring serta melakukan koordinasi untuk memastikan bahwa pihak-pihak terkait dapat melaksanakan peran dan fungsinya.
  3. Menetapkan target pembimbingan dan pengawasan yang menjadi dasar pengeluaran narapidana dan anak melalui asimilasi rumah dan integrasi yakni agar mereka tetap berada di rumah, melakukan protocol pencegahan Covid-19 melalui gerakan 3M serta tidak melanggar syarat dan ketentuan asimilasi dan integrasi baik syarat umum maupun syarat khusus.
  4. Melaksanakan pengawasan secara daring, yakni dengan memastikan keberadaan klien di rumah, memastikan program bimbingan dapat terlaksana serta memastikan hubungan klien dengan keluarga dan lingkungan dalam keadaan baik serta klien dalam keadaan sehat.

Sedangkan beberapa strategi dan metode tepat yang dapat dilakukan oleh Pembimbing Kemasyarakatan meliputi:

  1. Melakukan asesmen resiko dan kriminogenik terhadap narapidana/anak pidana sebelum diberikan program asimilasi/integrasi. Dengan dilakukannya asesmen maka Pembimbing Kemasyarakatan mempunyai gambaran tentang resiko pengulangan tindak pidana yang akan dilakukan oleh klien pemasyarakatan. Pembimbing Kemasyarakatan juga dapat mengidentifikasi faktor-faktor apa saja yang dapat menjadi penyebab klien akan kembali melakukan pengulangan tindak pidana.

Jika faktor penyebabnya telah teridentifikasi maka akan dapat diberikan solusi pencegahannya. Dengan menerapkan strategi tersebut maka Pembimbing Kemasyarakatan telah melakukan upaya preventif seseorang menjadi residivis dari faktor ekonomi dan/atau faktor emosional.

  1. Melakukan komunikasi yang intensif dengan keluarga inti klien pemasyarakatan. Keluarga inti yang dimaksud adalah orang yang paling berpengaruh bagi klien seperti isteri/suami, orangtua/anak maupun atasan/orang yang mempekerjakan klien. Nasehat dan wejangan dari orang terdekat klien kemungkinan besar akan lebih mudah dituruti atau didengarkan oleh klien. Dengan menerapkan strategi tersebut maka Pembimbing Kemasyarakatan telah melakukan upaya preventif seseorang menjadi residivis dari faktor keluarga.
  2. Melakukan koordinasi dengan stakeholder terkait yakni kepolisian terdekat dan pemerintah setempat (Lurah/RT/RW). Dengan demikian maka pengawasan akan terlaksana tidak hanya oleh Pembimbing Kemasyarakatan namun juga oleh aparat pemerintah setempat. Informasi akan perilaku dan aktifitas klien akan mudah diketahui oleh Pembimbing Kemasyarakatan jika kordinasi tersebut dapat berjalan dengan baik. Stakeholder terkait dapat menmberikan pemahaman terhadap masyarakat sehingga masyarakat dapat menerima dengan baik dan memberikan perlakukan yang wajar terhadap “eks narapidana”. Dengan menerapkan strategi tersebut maka Pembimbing Kemasyarakatan telah melakukan upaya preventif seseorang menjadi residivis dari faktor stigmatisasi masyarakat.
  3. Pembimbing Kemasyarakatan harus melakukan sebanyak dan seintens mungkin komunikasi dengan klien. Komunikasi antara klien pemasyarakatan dengan Pembimbing Kemasyarakatan seyogyanya tidak hanya terjadi setiap sebulan sekali bagi klien integrasi atau seminggu sekali bagi klien asimilasi rumah.

Penulis: Sitti Nuryani, SH, Pembimbing Kemasyarakatan Muda Pada Balai Pemasyarakatan Kelas II Kendari

Baca Juga

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button

AJP ASLI Pilwali Kendari 2024